Universalitas Musik dan Martabat Bangsa

4,889 kali dibaca

Hari kedua di  Belanda, Jumat, 13 September 2019, merupakan jadwal pertama Ki Ageng Ganjur melaksanakan workshop. Mulanya kami agak pesimis saat akan memulai workshop musik tradisional Indonesia di event pasar rakyat Pandora, Den Haag. Rasa pesimis muncul karena kami memberikan workshop musik tradsional di kalangan masyarakat Eropa yang modern.

Saat para kru mempersiapkan alat-alat musik, para pengunjung melihat apa yang kami pasang dengan tatapan aneh. Ada yang heran dan penasaran. Namun ada juga yang berbinar senang karena disuguhi alat musik yang dulu pernah mereka lihat dan dengar namun. Mereka melihat saron, kecapi, suling, dan kendang seperti melihat masa lalu yang telah terkubur waktu.

Advertisements

Suasana gedung de Broodfabriek di Rijkswijk Den Haag yang menjadi tempat pelaksanaan event Pandora sudah mulai ramai. Para pengunjung mulai berdatangan secara bergelombang. Para orang tua yang sudah lanjut usia berdatangan dengan pasangan. Beberapa pasangan muda mengajak anak-anak dan pasangannya. Bahkan, anak-anak muda juga secara berkelompok datang dengan teman sebaya. Mereka bukan saja orang-orang Indonesia, tapi juga orang Eropa yang menjadi pasangan hidup orang Indonesia dan anak-anak muda Eropa.

Untuk menarik perhatian pengunjung, para musisi Ki Ageng Ganjur yang berkolaborasi dengan Iman Jombot segera memainkan musik. Di luar dugaan, begitu musik dimainkan, perhatian pengunjung langsung tertuju pada stand workshop Ki Ageng Ganjur yang letaknya persis di samping pintu masuk. Mereka mulai terbawa alunan musik kecapi dan kendang yang dirangkai dengan suara seruling dan saron. Beberapa di antaranya mulai bergerak mengikuti irama meski terlihat masih malu-malu.

Suasana menjadi semakin meriah ketika Hastuti, vokalis Ki Ageng Ganjur dan Mell Shandy, sang lady rocker Indonesia mulai membawakan lagu tradisional, mulai dari Es Lilin, Caping Gunung, Imagin-nya John Lennon, sampai lagu dangdut dan campur sari. Sontak, suasana berubah. Seperti membangunkan orang tidur, tanpa dikomando para pengunjung langsung turun joget bersama. memenuhi lantai yang ada di depan stand workshop. Para lansia, anak muda, sampai anak kecil semua berjoget.

Melihat suasana yang makin meriah dengan antusiame pengunjung yang tinggi, rasa pesimisme kami langsung lenyap. Setelah larut dalam kegembiaraan bersama, kami mengajak pengunjung untuk berlatih menabuh gamelan dan memainkan alat musik tradisional yang ada. Di luar dugaan, mereka menyambut tawaran ini secara antusias. Mulai para lansia, pemuda, sampai anak-anak bergiliran mengikuti workshop. Mereka semakin tertarik dan excited ketika diajak berkolaborasi memainkan gamelan bersama Ki Ageng Ganjur.

Selain menabuh gamelan, para pengunjung juga bisa berfoto dengan memakai baju tradisional Nusantara yang disediakan oleh kru Ki Ageng Ganjur. Wajah mereka berbinar bahagia saat berpose dengan jarit, surjan, dan baju kebaya sambil mengenakan caping.

Dari sini terlihat jelas, bahwa musik adalah bahasa universal. Keberagaman dan perbedaan yang ada pada saat itu tersatukan oleh alunan musik. Berbagai sekat yang ada lebur dalam kegembiraan bersama menikmati musik. Komunikasi yang tersendat menjadi lancar melalui musik.

Ada satu kebanggaan dan rasa percaya diri ketika kami bisa melatih orang-orang Eropa bermain gamelan. Di sini kami merasa sejajar dengan mereka. Ini artinya kebudayaan telah mampu mengangkat kita, bangsa Indonesia menjadi sejajar dengan bangsa Eropa. Kita bisa menjadi pelatih, guru, dan mentor bangsa Eropa yang sudah maju untuk berlatih seni budaya yang eksotik dan dikagumi bangsa lain.

Berkaca dari peristiwa ini, saya jadi berpikir, betapa naifnya orang yang tega mencampakkan budayanya sendiri agar terlihat modern dan maju. Sudah selayaknya kita menjaga dan mengembangkan khazanah seni budaya secara kreatif. Karena seni budaya terbukti tidak saja menjadi sumber kreativitas yang dikagumi bangsa lain, tetapi juga bisa meningkatkan martabat sehingga kita bisa berdiri sejejar dengan bangsa lain.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan