Ulama dan Santri di Masa New Normal

2,154 kali dibaca

Sudah sekitar 6 bulan sejak gejalanya dikenali pertama kali di Wuhan, Tiongkok, pandemi global Covid-19 belum mengindikasikan pada arah situasi normal, termasuk di Indonesia. Berbagai upaya pun telah dilakukan, misalnya dengan pembagian zona hijau, kuning, orange, merah, dan merah pekat untuk wilayah terdampak dalam skala tertentu, kemudian disambung dengan kebijakan New Normal agar kehidupan terus berjalan, live must go on.

Pada titik inilah, masyarakat harus beradaptasi dengan “gaya hidup” New Normal. Maka, misalnya, marak kegiatan webinar, meeting online, pembelajaran dan pengajian daring, dan lain sebagainya.

Advertisements

Memang, untuk menekan dan menangani pandemi ini membutuhkan kerja sama yang kompleks, yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk dari kalangan ulama dan santri. Dalam masyarakat yang paternalistik, ulama dan santri dapat memainkan peran penting untuk menekan dan melawan penyebaran Covid-19 ini. Jika para ulama dan santri secara ketat menerapkan protokol kesehatan dan menjalani “gaya hidup baru” dalam masa New Normal, misalnya, tidak menutup kemungkinan masyarakat menjadi followers secara otomatis, baik secara sadar ataupun tidak sadar, langsung maupun tidak langsung. Jika mereka mematuhi, maka masyarakat juga mematuhi. Jika tidak, masyarakat juga akan massif dan apatis terhadap imbauan protokol kesehatan, meski dilengkapi dengan instrument ilmiah dan saintifik. Hal ini, menjadi bukti bahwa kultur paternalistic masih berperan aktif di masyarakat.

Ulama dan santri bukannya tidak menyadari hal tersebut (kultur paternalism). Mereka sangat sadar, maka perilaku egosentrisme mereka kikis demi kemaslahatan umat. Demi menepis dan mengikis sikap egois, maka ulama dan santri bersikap tidak jemawa dengan menaati segala bentuk peraturan pemerintah yang membela kepetingan umat, tidak bersikap menolak atau justru makar, yang bisa merunyamkan publik. “Oleh iwak tanpa banyune buthek”, mendapatkan ikan tanpa membuat airnya keruh, menjadi ilham bagi ulama dan santri sebagai pihak penyelesai masalah, bukan malah menambah masalah atau justru menjadi bagian dari masalah.

Bersikap peduli, tidak memfatwakan yang berpotensi meresahkan, dan tidak kalah pentingnya, memberi ruang bagi ibadah secara daring, seperti pengajian online yang banyak digagas dan dibahas secara virtual, di kanal youtube, webinar, instagram, web browser, TV lokal, e-book, dan media sosial daring lainnya. Dengan begitu, perlunya adaptasi dengan dakwah gaya baru demi tetap berlangsungnya syiar, juga sebagai sosok yang secara paternalis ditokohkan dan cenderung ditiru oleh masyarakat.

Dalam masyarakat digital ini, misalnya, mengaji bisa lewat Internet. Ketika menghadapi permasalahan tentang agama, maka masyarakat tidak perlu bertatap muka dengan ulama ataupun santri. Cukup dengan searching atau googling. Quran online, portal media dakwah umat, aplikasi menghitung zakat, tata cara salat, berdoa, dan seterusnya, bisa belajar atau mengaji melalui internet. Di banyak negara, ulama dan santri telah beradaptasi dengan IT. Memiliki akun, portal web, kanal youtube, dengan ribuan bahkan jutaan santri yang tersebar. Hanya sekadar menyimak postingan, menjawab permasalahan umat, mengaji dengan menunggahnya di Internet, untuk memudahkan menyampaikan dakwah, menyapa, menanggapi, melalui update status, postingan, video, potongan mutiara hadits, kajian kitab, dan sebagainya. Ulama dan santri di Indonesia pun turut pula. Secara adaptif, juga menggunakan IT sebagai media dakwahnya. Pertimbangannya, kembali pada kultur paternalis, ulama dan santri menjadi tokoh di masyarakat.

New Normal, sebagai cara hidup gaya baru tidak bisa ditolak, tidak bisa disangkal, dan tidak perlu menjadi kontroversial. Maka penyikapannya harus mainstream, tidak boleh konvensional (meski yang konvensional tidak begitu saja ditinggalkan). Media dakwah harus ada dalam genggaman. Jangan hanya berargumen pada kezuhudan atau matrealistisme. Namun, dakwah juga jangan sampai kalah, harus menunjukkan eksistensinya.

Apa yang dilakukan Jejaring Dunia Santri melalui duniasantri.co menjadi salah satu contohnya. Dengan konsep citizen journalism, ia menjadi wadah bagi para santri untuk menulis, beropini, berseni-sastra, menarasikan sosok ulama sebagai ibrah, sehingga kehadirannya turut menyemai kebaikan positif dengan konten yang bermanfaat dan bermaslahat. Pola dakwah harus menyesuaikan zaman (terlebih era New Normal). Menyesuaikan kemajuan IT dan mindset generasi masa kini.

Mungkin, di zaman dulu pengajian atau tabligh akbar masih sangat menarik. Namun, seiring perkembangan IT, ulama dan santri perlu mengembangkan inovasi penyampaian dakwah. IT harus direspons positif, memanfaatkannya dengan bijak, mengisi dengan konten-konten yang dibutuhkan umat yang golek padhange ati, mencari pencerahan ketika menemukan permasalahan atau kesulitan.

Sebagai catatan akhir, ulama dan santri dalam masa New Normal atau era hidup gaya baru ini diharapkan bisa berperan dengan optimal di masyarakat. Ulama dan santri mesti “turun gunung”, beradaptasi dengan inovasi dakwah sesuai tuntutan zaman, tetap sebagai panutan dan teladan dalam masyarakat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan