Tumbal

1,505 kali dibaca

Di masa purnatugasnya sebagai anggota Baintelkam, Komisaris (purnawirawan) Prapto memutuskan untuk kembali ke rumah warisan orang tuanya di Desa Sukodono. Ia ingin menikmati hari tuanya bersama istrinya. Anak bungsunya mengikuti jejak ayahnya sebagai polisi yang sekarang bertugas di Papua. Si Sulung bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi. Ia belum lama menikah, kemudian memutuskan untuk tinggal bersama mertuanya. Prapto menyetujuinya karena besannya sudah renta dan menderita parkinson. Ia menyadari, tak mungkin besannya untuk tinggal sendiri. Dini hari ini, Prapto bersiap berangkat untuk meningggalkan Jakarta.

“Sudah lama aku ingin kembali ke desa. Tempat tinggal kita di masa kecil. Yang membesarkanku hingga bisa menempuh Sekolah Polisi Negara.”

Advertisements

“Iya, Yah. Aku juga ingin pulang ke kampung halaman mencari ketenangan.”

Setelah menempuh perjalanan lima jam, ia berniat istihahat sejanak sambil menemui sahabat lamanya.

“Kita berhenti sebentar di warung depan itu ya, Bu? Meregangkan otot.”

“Bukankah sebentar lagi sampai?”

“Aku ingin menemui Noval, teman lamaku. Sekarang ia membuka warung depan itu.”

“Oh, begitu ya.”

Di depan jalan yang berada di tengah sawah, ada sebuah warung sederhana yang hanya berdinding bambu. Mobil Prapto dihentikan di depan warung. Propto membuka pintu mobil kemudian memasuki warung dengan diikuti istrinya.

“Sugeng rawuh, Pak. Ngersaaken punopo?” Seseorang yang berambut putih melempar pertanyaan.

“Noval?” Prapto menyodorkan tangannya sebagai isyarat menjabat tangan.

“Iya saya Noval. Bapak siapa?” jawabnya sambil menyambut jabatan tangan Prapto. Sebelum menjawab, Prapto melepaskan kaca mata hitamnya.

“Aku ‘Gudel’. Temanmu bersepeda dan mandi di kali waktu kecil.”

“Oh, Pak Polisi. Monggo pinarak. Ini sedang menikmati cuti atau apa? Tumben ke sini.”

“Aku berencana mau menghabiskan masa tuaku bersama istriku di kampung ini. Sebenarnya aku sering ke sini ketika mudik. Tapi yang kujumpai anakmu. Katanya hanya pagi saja kamu di sini. Kalau siang sampai malam kamu menjaga warung yang ada di rumah.”

Sambil menikmati es degan, mereka bercerita tentang kondisi teman-teman mereka saat ini. Saat sedang asyik becerita, ada mobil polisi yang berhenti. Para polisi turun dari mobilnya kemudian masuk ke warung Noval,

“Selamat pagi, Pak Noval.”

“Selamat pagi, Pak.”

“Kami dari Polres Nganjuk. Ingin menanyakan mengenai keberadaan Bapak waktu kemarin malam, ketika terjadi kecelakaan di tikungan selatan.”

“Ya Pak, saya melihat bahkan sempat menolongnya. Tapi karena saya sendirian, saya meminta bantuan pengendara mobil yang sedang melintas untuk membawanya ke rumah sakit.”

“Bapak bisa ikut kami ke kantor untuk memberikan keterangan sebagai saksi?”

“Baik Pak.”

Naluri Prapto sebagai Baintelkam pun terpanggil. Ia memberanikan diri bertanya kepada ke dua polisi yang sedang mengorek keterangan dari Noval.

“Selamat pagi, Pak Polisi. Perkenalkan, saya Kombes Purnawirawan Prapto. Apa boleh saya bertanya tentang peristiwa yang sedang terjadi?” Prapto bercakap sambil menyodorkan KTA-nya yang sudah kadaluarsa.

“Pagi Pak. Ada kecelakaan yang menimpa dua orang. Semua ditemukan meninggal pagi harinya di tikungan maut,” jawab polisi berpengkat Bripka.

“Kapolresnya masih Pak Munif?”

“Masih Pak. Bapak kenal dengan Pak Munif?”

Propto menjelaskan bahwa Kombes Munif adalah adik kelasnya waktu di SD. Ia juga pernah berjumpa di pelatihan di Akpol Magelang sebelum pensiun.

***

Prapto menjabat tangan AKP Heru, Kasat Reskrim. Ia mempersilakan Prapto duduk.

“Menurut hasil indentifikasi visum et repertum, korban kehilangan hati dan ginjalnya. Ini merupakan kasus baru yang terjadi,” ujar Heru.

“Kemungkinan ini adalah sindikat internasional yang baru melakukan kegiatan ini di Indonesia.”

“Benar Pak. Biasanya ini terjadi di negara India, Pakistan, dan Afrika. Umumnya yang terjadi di indonesia human trafficing. Mereka diambil organ tubuhnya di luar negeri. Sepertinya mereka menyasar Indonesia untuk memenuhi supply yang meningkat di kawasan Asia.”

“Apa saya bisa membantu kepolisian untuk mengunggap kasus ini?”

“Kami merasa sangat senang jika Bapak membantu kami.’

“Baik, saya akan meminta izin Bareskrim jika pihak Polres mengizinkan saya.”

***

Romi melihat jam di tangannya, waktu menunjukan pukul 20.30.

“Tunggu sebentar ya Pak! Hasil lab masih dalam proses. Coba saya cek sekali lagi. Nanti jika sudah keluar mohon serahkan Dokter Herman,” permintaan perawat.

“Ya Bu.”

Usai bertanya, perawat itu meninggalkan Romi kemudian memasuki ruang laboratorium untuk petugas hemodialisis.

“Bagaimana hasil tes pasien Herman, sudah keluar?”

“Sudah, Bu.”

“Bisakah saya melihatnya?”

Petugas jaga itu pun mengambil map kemudian menyerahkan kepada perawat tersebut. Setelah membaca dengan saksama ia pun tersenyum.

“Terima kasih, Pak.”

“Sama-sama, Bu Har.” Pak Mul menerima pengembalian hasil lab Romi. Dengan cepat Bu Har mengeluarkan gawainya. Lalu menuliskan pesan: Aku telah menemukan target transplantasi dengan kualifikasi sesuai dengan pemintaan Anda.

***

Prapto menerima telegram dari Bareskrim yang menyatakan bahwa dirinya ditugaskan kembali untuk membantu penyidikan kasus pembunuhan beruntun yang terjadi di wilayah Polres yang dipimpin oleh Kombes Munif. Di sebuah kantin yang berada di samping halaman Polres, Prapto menunggu Munif dan Heru. Ia mengeluarkan sebatang rokok kemudian menyulutnya untuk membunuh waktu menunggu.

“Saya mohon maaf datang terlambat karena ada korban baru pembunuhan,” Heru menyodorkan foto korban.

“Adakah saksi yang melihat kejadian tersebut?” tanya Prapto.

“Belum ditemukan saksi. Sementara ini masih proses penyelidikan dengan mencari saksi dan barang bukti.”

“Pencurian organ tubuh manusia tidak mungkin terlepas dari keterlibatan tim medis. Coba kita tanya keluarganya, apa pernah Herman melakukan general cek up? Bisa juga kemungkingan data hasil lab hemodialisis dicuri oleh sindikat ini. Transplantasi organ harus memenuhi berbagai syarat, salah satunya kecocokan golongan darah.”

“Kami memerlukan bantuan Anda, Pak, untuk mengungkap sindikat ini. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada senior, saya menugaskan Bapak untuk menyelidiki kasus ini,” kata Munif.

“Siap, Komandan. Izinkan saya bertugas dengan tetap menjadi orang sipil. Saya akan membantu AKP Heru agar lebih leluasa menyelidiki kasus ini.”

***

Dari hasil penyelidikan sementara, Prapto menduga ada keterlibatan oknum sebuah klinik dalam kasus penjualan ginjal Romi. Dugaan itu berdasarkan keterangan istrinya yang menyatakan Romi pernah pergi ke klinik tersebut saat mengeluh sakit demam.

“Kapan ia pergi ke klinik?” tanya Heru.

“Dua minggu lalu.”

“Apa di sana sempat diambil darahnya?”

“Menurut ceritanya pernah.”

Pengakuan Marni saja tidak cukup untuk menjadikan klinik tersebut terlibat, karena sebuah klikik memang harus melakukan tes lab hemodialisis sesuai dengan prosedur untuk mengetahui penyakit yang diderita oleh pasien.

“Sepertinya aku harus menyamar menjadi pasien agar bisa mengungkap kasus ini.”

“Tapi ini terlalu berisiko, Pak.”

“Aku sudah punya rencana matang untuk mengantisipasi segala kemungkinan.”

***

Sudah setengah tahun lebih Prapto memeriksakan dirinya ke klinik, tetapi tidak terjadi apa-apa. Prapto merasa heran, apa mungkin para sindikat perdagangan organ tubuh manusia berpindah-pindah agar sulit ditangkap.

Sore hari Prapto berencana mengunjungi Noval. Di depan rumahnya terlihat pick up yang terpakir. Ketika Prapto keluar dari halaman rumah, pengendara pick up menstater mobil kemudian membuntuti. Merasa dibuntuti, ia berhenti di sebuah toko untuk berpura-pura membeli sesuatu.

Ternyata mobil itu terus berjalan meninggalkan Prapto. “AP 1029 SUV.” Prapto mencatat nomor mobil yang diduga membuntutinya kemudian memfotonya.

“Membeli apa, Pak?” tanya pemilik toko.

“Rokok.”

Usai membeli rokok, Prapto menuliskan kejadian ini dalam buku catatan penyelidikan kasusnya. Ia mulai mencurigai bahwa dirinya mulai diincar oleh sindikat penjualan organ tubuh yang mengendarai mobil pick up hitam karena beberapa hari ini selalu parkir di depan rumahnya.

“Jika terjadi sesuatu denganku, Bapak bisa membaca buku penyelidikanku di dalam bagasi motorku. Jika sempat temui saya di warung es degan Pak Noval.” Ia menulis pesan singkat kepada AKP Heru.

Ia melanjutkan perjalananan menuju warung Noval. Dilihatnya ada mobil sedan yang menghampiri Noval kemudian berhenti, menanyakan alamat.

“Apa bisa bapak mengantarkan saya?”

“Bisa Pak. Sebentar Pak saya ke kamar mandi dulu,” jawab Prapto.

Prapto meminta izin kepada pemilik toko untuk ke kamar mandi. Tetapi sebenarnya itu adalah alibinya untuk menyembunyikan catatan penyelidikannya. Ia juga menghubungi AKP Heru dan menceritakan bahwa ia akan menumbalkan dirinya untuk mengungkap kasus ini.

Ia menyadari bahwa rute alamat yang ditempuh menuju alamat tersebut adalah jalan yang sepi. Tetapi ia nekat.

“Silakan Bapak dahulu berangkat. Nanti saya mengikuti,” pinta pengemudi sedan.

Dengan sangat waspada, Prapto terus mengawasi dari spion karena jalan di tengah yang dilaluinya semakin sepi. Ia terkejut, ketika ada pick up yang terlihat membututinya tadi mendekati dari arah yang berlawanan. Ia berniat berhenti tetapi mobil sedan itu sengaja mengegas hingga menabraknya dari belakang.

Ketika Prapto terjatuh, pengemudi sedan keluar dengan membawa jarum suntik. Ia berusaha memberontak, tetapi kondisi tubuhnya yang luka-luka akibat terjatuh membuatnya tak berdaya.

***

Sesuai dengan arahan Prapto, Heru menuju warung. Sesampainya di warung, Heru berusaha menghubungi nomor Prapto, tetapi tidak aktif.

Tak butuh waktu lama bagi Heru untuk bisa mengungkap kasus perdagangan organ manusia. Para kaki-tangan sindikat penjual organ tidak bisa mengelak setelah AKP Heru menuntaskan penyelidikan. Para tersangka berhasil ditangkap berdasarkan catatan penyelidikan dan barang bukti yang telah dikumpulkan oleh Kompol Prapto.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan