Dok pribadi

Tiga Pilar Lirboyo

7,384 kali dibaca

Mendengar nama Lirboyo, orang akan langsung mengingat salah satu pesantren besar dengan sistem salafnya di wilayah Selatan Jawa Timur. Meski pada perkembangannya ada banyak sekali unit pondok di dalamnya, tetapi orang masih lebih sering menyebutkan Pondok Lirboyo daripada menyebutkan nama unit pesantrennya. Pesantren Lirboyo sendiri sekarang disebut sebagai Pondok Induk.

Pada mulanya, Lirboyo adalah nama salah satu desa yang berada di Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Desa ini dahulu terkenal wingit dan sangat rawan terjadi tindakan kriminal dan perilaku amoral. Ki Lurah Lirboyo kemudian sowan kepada Kiai Sholeh di Besa Banjarmlati dan memohon kepada beliau untuk berkenan menempatkan salah satu santrinya di Desa Lirboyo agar dapat membimbing masyarakat menjadi lebih bermoral.

Advertisements

Kiai Sholeh akhirnya menempatkan salah satu menantunya, KH Abdul Karim (nama kecil beliau adalah Manab) untuk menetap di Desa Lirboyo. Setelah tiga puluh lima hari menetap, KH Abdul Karim pun mendirikan sebuah surau kecil yang terbuat dari bambu. Surau inilah yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Lirboyo.

Buku berjudul Tiga Tokoh Lirboyo ini mengisahkan perjalanan tiga pilar penting pendiri sekaligus penerus Pesantren Lirboyo. Pertama, kisah Kiai Abdul Karim, sang founding father, dengan kesederhananaan dan keteguhannya dalam menuntut ilmu. Kedua, Kai Marzuqi Dahlan, dengan kesufian dan kezuhudannnya. Ketiga, KH Mahrus Aly, dengan jejak perjuangannya.

Meski datang dengan cerita yang berbeda, kisah yang dituliskan dalam buku ini memiliki kesamaan yang istimewa. Ketiganya merupakan orang alim, sederhana, dan teguh.

KH Abdul Karim

KH Abdul Karim merupakan putra ketiga dari pasangan Abdur Rohim dan Salamah yang tinggal di Magelang, Jawa Tengah. Abdul Karim kecil memiliki cita-cita mengikuti tindak lampah ulama setelah mengetahui kharisma ulama pengikut Pangeran Diponegoro, seperti Kiai Imam Rofi’i dari Bagelan, Kiai Hasan Bashori dari Banyumas, dan Kiai Mlangi dari Sleman.

Pada 1870, bersama kakaknya, Aliman, ia berangkat menuju Jawa Timur untuk memenuhi keinginannya. Jawa Timur dipilih karena konon banyak ulama yang menyingkir ke daerah tersebut. Mereka singgah di Babadan, sebuah dusun di Gurah, Kediri, kemudian belajar di sebuah surau yang diasuh seorang kiai.

Usai menyelesaikan pembelajaran di Babadan, mereka pun pindah ke serbuah pesantren di Cempoko, 20 km sebelah Selatan Nganjuk. Di pesantren ini mereka belajar selama enam tahun. Kemudian pindah ke pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono untuk memperdalam al-Quran dengan baik. Tidak hanya sampai di situ, Abdul Karim meneruskan perjalanan menuntut ilmu di sebuah pesantren di Sono, Sidoarjo, selama hampir tujuh tahun. Kemudian dilanjutkan belajar di pesantren Kedungdoro, Sepanjang, Surabaya.

Kiai Abdul Karim kemudian melanjutkan perjalanan menuju Madura untuk memenuhi keinginannya menjadi murid Kiai Kholil Bangkalan. Beliau belajar pada Kiai Kholil selama dua puluh tiga tahun lamanya. Kepulangannya dari Bangkalan adalah perintah dari sang kiai, sebab dirasa sudah cukup.

Beliau pun kembali ke Jawa dan mendapati sahabatnya kala mondok di Madura, yakni KH Hasyim Asy’ari, telah membina sebuah pesantren di Tebuireng, Jombang. Beliau pun nyantri di sana selama kurang lebih lima tahun. Dari Tebuireng inilah beliau kemudian dijodohkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari dengan salah seorang putri kerabatnya, Kiai Sholeh dari Banjarmlati, Kediri, bernama Nyai Khodijah (Nyai Dlomroh).

KH Marzuqi Dahlan

KH Marzuqi Dahlan adalah cucu dari Kiai Sholeh Banjarmlati. Lahir dari pasangan Kiai Dahlan (putra Kiai Sholeh, Bogor) dan Nyai Artimah (putri Kiai Sholeh, Banjarmlati). Menginjak usia belajar, ia dipindahkan ke Jampes, terletak sekitar 5 km dari Kota Kediri, atas permintaan ayahnya. Namun, setelah menginjak remaja, ia oleh kakeknya dikirim ke Pesantren Lirboyo dan berguru kepada pamannya, Kiai Abdul Karim. Hal ini tidak berlangsung lama, sebab ia kembali pindah ke Jampes lagi sebelum akhirnya memutuskan nyantri di Pesantren Tebuireng Jombang lalu pindah ke Jampes sekali lagi.

Kiai Marzuki Dahlan dikenal piawai dalam ilmu tasawuf. Selain itu, beliau merupakan pribadi yang zuhud dan memiliki tingkat taqarrub yang tinggi kepada Allah. Beliau memberikan contoh pola hidup sederhana dan jauh dari kemewahan. Pituturnya begitu lembut terhadap siapa saja. Keilmuannya mencapai derajat makrifat atau kesunyatan. Hal ini pernah dirasakan oleh KH Ghozali, Nganjuk, ketika masih menjadi santri beliau.

Beliau wafat pada usia 70 tahun setelah sakit dan mendapatkan perawatan intensif. Sebelum wafat, ada tiga nasihat yang beliau wasiatkan kepada keluarga, pengurus, dewan guru dan seluruh santri agar tetap dijunjung tinggi dan diugemi. Pertama, santri haruslah mematuhi semua tata tertib dan peraturan pondok pesantren. Kedua, santri harus tekun belajar dan mempertinggi himmah untuk menghidupkan budaya belajar ala pondok pesantren. Ketiga, santri hendaklah tidak mengubah keikhlasan niat menuntut ilmu, bimbang, atau bahkan berbelok keduniawian ketika mengalami musibah.

KH Mahrus Aly

KH Mahrus Aly adalah putra dari seorang ayah bernama KH Aly bin Abdul Aziz dan seorang ibu bernama Hashinah binti Said. KH Said orang tua Hashinah adalah ulama besar di Jawa Barat pada akhir abad ke-18. Kiai Mahrus Aly memiliki nama kecil Rusydi. Ia lahir dan besar di lingkungan pesantren. Sifatnya yang pemberani sejak kecil seringkali membuat keluarganya cemas. Selain itu, ia memiliki banyak ide cemerlang, terutama untuk mengangkat kaum yang lemah.

Di usia 18 tahun, Rusydi pergi ke arah timur, tepatnya ke sebuah pesantren di daerah Panggung, Tegal, yang diasuh oleh Kiai Mukhlas. Tidak puas dengan ilmu yang didapatnya dari pesantren di Tegal, ia pun kembali melanjutkan perjalanan menuntut ilmu di pesantren Kasingan, rembang yang diasuh oleh Kiai Kholil. Di pesantren inilah keilmuannya diakui oleh banyak santri. Ia mendapat kepercayaan dari Kiai untuk menjadi qari (mengajar dengan sistem membaca) beberapa kitab. Di antaranya; Ibnu ‘Aqil, Sudurudz Dhahab, Jam’ul Jawami’, Mughni Labib, dan Taqrib.

Pengembaraannya menuntut ilmu tidak hanya sampai di situ. Beliau melanjutkan pilihan untuk tabarrukan (mencari berkah) di Pesantren Lirboyo asuhan Kiai Abdul Karim. Selama di Lirboyo, Kiai Mahrus dikenal sebagai santri yang tak pernah letih mengaji. Ketika liburan, beliau mencari pondok lain yang mengadakan pengajian kilatan. Beliau pernah mengaji kitab Shahih Bukhari pada Kiai Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang.

Karena kealiman dan berbagai kelebihannya, beliau pun dijodohkan oleh Kiai Abdul Karim dengan salah seorang putrinya bernama Zaenab. Usai resmi menjadi menantu Kiai Abdul Karim, Kiai Mahrus diberi kepercayaan membantu menangani pendidikan di Pesantren Lirboyo. Sejak itu, Kiai Abdul Karim memiliki dua orang pembantu sekaligus menantu, yakni Kiai Marzuqi Dahlan (keponakan) dan Kiai Mahrus Aly (menantu).

Setelah wafatnya Kiai Abdul Karim pada 1954, Lirboyo menjadi tanggung jawab kedua pembantunya ini. Kiai Mahrus menggagas pendirian lembaga pendidikan tinggi untuk santri yang telah menamatkan pendidikan Madrasah Aliyah. Kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo diteruskan oleh Kiai Mahrus Aly sendirian setelah Kiai Marzuqi Dahlan lebih dahulu wafat. Berkat kealiman dan kemasyhuran KH Abdul karim dan kelincahan penerusnya, terutama sejak Kiai Mahrus aktif di masyarakat dan Nahdlatul Ulama, Pondok Pesantren Lirboyo berkembang pesat.

Selain menuliskan tentang kealiman, buku ini juga mengisahkan bagaimana keberanian Kiai Mahrus ikut andil dalam memerangi penjajahan. Kiai Mahrus pernah bergabung menjadi anggota Kamikaze (pasukan berani mati) ketika Jepang menjajah. Pesantren Lirboyo juga menjadi pusat kegiatan gerakan batin pada peristiwa 10 November di Surabaya di bawah pimpinannya. Kiai Mahrus juga mendapat kehormatan sebagai Dewan Penasihat Batalyon Gelatik yang resmi didirikan pada 17 Desember 1948. Pengabdiannya dalam jamiyyah NU tergolong besar.

Buku terbitan BPK-P2L (Badan Pembina Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo) ini sudah memasuki cetakan ke-12 sejak diterbitkannya pertama kali pada 1991. Membacanya serasa menemukan sosok dengan berbagai karakter, namun memiliki kesamaan yang patut diteladani. Ketiganya merupaka sosok alim, sederhana, dan teguh. Meskipun memilih hidup dengan sederhana, namun warisan yang dimiliki ketiganya sungguh luar biasa tidak sederhana. Hal ini bisa dipahami, bagaimana Pesantren Lirboyo semakin pesat perkembangannya dari masa ke masa. Sebab, pilar-pilar yang menyangganya sungguh luar biasa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan