Tak Ada Imam Besar dalam Islam

798 kali dibaca

Sejak Nabi Muhammad wafat, tidak ada lagi pemutus akhir kebenaran yang otoritatif di kalangan orang-orang beriman. Sejak Nabi Muhammad wafat, kaum mukmin tak pernah lagi satu suara, satu pandangan, satu pendapat yang benar-benar bulat. Itu terjadi sejak zaman Sahabat Abu Bakar, dan terus bersambung hingga hari-hari ini.

Begitu Sahabat Abu Bakar dipilih sebagai penerus Nabi dalam suatu musyawarah dengan kedudukan sebagai khalifah, benih-benih perselisihan di kalangan orang-orang beriman mulai mengecambah. Dimulai dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, hingga Ali bin Abi Thalib, satu demi satu para khalifah Islam ini meninggal oleh tusukan pedang. Tragedi yang terus bersambung hingga masa-masa jauh sesudahnya.

Advertisements

Posisi Nabi Muhammad memang tak tergantikan dalam tradisi Islam, terutama dalam hal kedudukannya sebagai Nabi dan Rasul. Itulah yang membuatnya sebagai pemutus akhir kebenaran yang otoritatif di kalangan orang-orang beriman. Namun, Nabi Muhammad juga tidak mewariskan sistem kepemimpinan umat atau sistem pemerintahan yang “baku”, sehingga empat Khulafa ar Rasyidin juga dipilih secara berbeda.

Itulah salah satu dari tiga perkara yang menurut Sahabat Umar bin Khattab belum dijawab tuntas oleh Nabi Muhammad: kalalah, riba, dan kekhalifahan. Maka, setelah Khulafa ar Rasyidin, sebutan untuk pemimpin dan sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada khalifah dan kekhalifahan, ada mulk, ada sultan, ada emir, dan sebagainya sesuai lokalitas teritori dan kewargaannya.

Hingga hari ini, tak ada sistem pemerintahan Islam yang baku. Di negara-negara yang saat ini mendaku sebagai Negara Islam, pun sistem pemerintahannya berbeda-beda. Dan tidak pernah ada negara Islam yang diakui sebagai negaranya orang Islam sedunia. Gerakan-gerakan yang mencoba menyatukan kewargaan orang Islam sedunia, di bawah satu bendera kenegaraan, selalu berujung pada ketidakpastian dan kekacauan — dan perang.

Lihat apa yang terjadi pada gerakan Pan Islamism yang dimotori Jamal-al-Din Afghani hingga yang mutakhir gerakan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) dan Hizb ut-Tahrir —sayapnya di Indonesia Hizb ut-Tahrir Indonesia (HTI).

Nabi Muhammad juga tidak mewariskan sistem hierarki dalam keagamaan, seperti dalam tradisi Katolik. Itulah kenapa posisi Muhammad sebagai Rasul akhir zaman tak tergantikan. Nabi Muhammad hanya mengisyaratkan kepada umatnya untuk bertanya dan mengikuti para sahabatnya dan ulama sebagai panutan. Namun, sekali lagi, tak ada hierarki keagamaan dalam Islam, dan karena itu tidak ada yang menduduki posisi tertinggi, baik perorangan maupun kelembagaan, sebagai pemutus akhir kebenaran yang otoritatif. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, posisinya sama dan tak lebih tinggi dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Fatwanya adalah pendapat hukum, bukan keputusan hukum. Kedudukan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, NU, dan Muhammadiyah sama belaka: ia sebagai pendapat hukum, dan bukan keputusan hukum.

Para pemimpin agama dalam Islam —seperti halnya khalifah, mulk, sultan, dan emir dalam pengelolaan pemerintahan— juga memperoleh sebutan yang beragam, sesuai dengan kondisi lokalitas. Ada kiai, syekh, ulama, imam, dan sebagainya. Namun, apa pun sebutannya, istilah-istilah tersebut lahir bukan dengan pretensi menjadi “pemimpin agama umat Islam sedunia”. Sejarah lahirnya mazhab-mazhab dalam Islam adalah contoh nyata. Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii, dan Imam Hambali hanya diikuti dan dianut oleh yang meyakininya.

Rangkaian peristiwa sejarah dalam Islam sepeninggal Nabi Muhammad tersebut membuktikan bahwa tidak ada kepemimpinan tunggal dalam tradisi Islam, kecuali dalam tradisi Syiah. Hanya Syiah-lah, dari kelompok-kelompok aliran dalam Islam, yang mengadopsi konsep imamah, yang mendudukkan pemimpinnya sebagai imam, imam besar, yang diklaim sebagai imamnya seluruh umat Islam yang sah, imamnya seluruh dunia Islam.

Bahkan, dalam dogmanya yang paling ekstrem, Syiah meragukan kenabian Muhammad, yang seharusnya menjadi hak Ali bin Abi Thalib —Syiah kemudian menyebutnya sebagai Imam Ali, tak sekadar Sahabat Ali. Imam-imam Syiah ini, yang jumlahnya mencapai 12 orang, adalah cucu-cucu Nabi, yang berasal dari keturunan Imam Ali. Hingga kini, kaum Syiah masih menunggu datangnya imam yang tersembunyi itu, Imam Mahdi, imam besar yang akan menjadi pemimpinnya umat Islam sejagat.

Jadi, kecuali dalam tradisi Syiah, tidak ada Imam Besar atau Pemimpin Besar dalam Islam. Maka, jika ada yang mendaku sebagai Imam Besar, imamnya seluruh umat Islam, di luar tradisi Syiah ia adalah pemimpi besar.

Multi-Page

One Reply to “Tak Ada Imam Besar dalam Islam”

Tinggalkan Balasan