Tafsir Mistis-Mitologis dalam Tafsir Jalalayn

1,096 kali dibaca

Umat Islam telah berhenti berpikir sejak lima ratus tahun yang lalu. Itulah pernyataan Muhammad Iqbal, pemikir Islam modern garda depan. Sebab, sudah sangat lama umat Islam mengalami degradasi dalam berpikir, bahkan terjebak dalam jurang mitos dan takhayul. Agama Islam, yang idealnya memerintahkan penganutnya untuk berpikir dan merenung, telah lama mengalami problem besar dalam hal itu.

Rendahnya tingkat berpikir umat Islam saat ini menyebabkan keterbelakangan dunia Islam dalam segala aspek; ekonomi, poltik, pendidikan, dan lain sebagainya. Padahal, jika ditarik sejarahnya, umat Islam pernah mencapai puncak peradaban pada zamannya. Keberhasilan tersebut diraih karena kebiasaan berpikir umat Islam yang telah menjadi sebuah budaya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah diagnosa dan evaluasi untuk mengatasi problem konsep berpikir umat Islam.

Advertisements

Salah satu permasalahan yang menyebabkan umat Islam masih mempertahankan cara berpikir mistis mitologis himgga saat ini ialah penafsiran Al-Qur’an yang jauh dari kesan ilmiah. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup setiap Muslim. Segala sesuatu yang diterangkan di dalam Al-Qur’an merupakan sebuah kebenaran mutlak yang harus diyakini oleh setiap orang yang mengaku beragama Islam.

Adapun, kebeneran tersebut disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya sebagai petunjuk dalam kehidupan. Tidak ada akal manusia selain akal seorang nabi yang mampu memahami seluruh isi Al-Qur’an. Bahkan, orang-orang yang paling dekat dengan Nabi, yakni para sahabat, masih terdapat kekeliruan dalam memahami Al-Qur’an. Itu dibuktikan dengan kisah sahabat Abdullah bin Mas’ud yang mempertanyakan maksud dari perbuatan dzholim yang terdapat dalam QS. Al-An’am:82.

Setelah Nabi wafat, umat Islam otomatis juga kehilangan otoritas kebenaran tertinggi dan terpercaya dalam memahami Al-Qur’an. Oleh karenya, dibutuhkan sekelompok orang yang mereka memiliki tingkatan intelektual yang tinggi untuk menafsirkan Al-Qur’an. Karena dalam suatu riwayat hadits para Ulama disebut sebagai pewaris para nabi, maka yang memiliki wewenang untuk menafsirkan Al-Qur’an ialah para Ulama.

Akan tetapi, tidak ada lagi manusia yang mampu memahami seluruh isi Al-Qur’an dengan benar, hanya saja mendekati kebenaran. Bisa benar, bisa pula salah. Maka wajar saja jika ada penafsiran yang keliru ataupun tidak relevan dengan perkembangan zaman. Karena, tafsiran-tafsiran Al-Qur’an merupakan karya manusia biasa yang tak luput dari sebuah kesalahan.

Salah satu contohnya, banyak sekali kesalahan penafsiran yang ditemukan dalam Tafsir Jalalayn, tafsir yang paling banyak digunakan oleh santri se-Indonesia. Yang sering ditemukan ialah kesalahan berupa penafsiran yang sangat identik dengan kisah mistis mitologis yang ada pada masyarakat.

Seperti yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:19. Di dalam tafsir ayat tersebut dijelaskan tentang pengetian guntur bahwa ia merupakan suara malaikat. Padahal, terjadinya guntur ialah karena pemanasan dan pendinginan cepat dari udara, dekat pukulan petir.

Tak hanya itu, ada juga penafsiran-penafsiran yang tidak masuk akal dalam Tafsir Jalalayn, seperti penafsiran QS. Ali Imran:55. Dijelaskan bahwa diangkatnya Nabi Isa ke langit dengan cara Nabi Isa bergantungan di langit. Kisah-kisah seperti itu tidak mempunyai sumber yang jelas, sehingga dapat disimpulkan bahwa kisah-kisah tersebut merupakan buatan ataupun cerita-cerita Israiliyyat.

Terakhir, salah satu penafsiran yang penulis kira telah menjadi doktrin di seluruh pesantren yang ada di Indonesia, yaitu penafsiran QS. Al-Kahfi:70. Ayat tersebut dijelaskan di dalam Tafsir Jalalayn bahwa salah satu syarat agar Nabi Musa dapat mengikuti perjalanan Nabi Khidr ialah Nabi Musa dilarang bertanya. Syekh Jalaluddin juga menambahkan bahwa itu juga merupakan salah satu bentuk adab seorang murid kepada gurunya. Inilah penafsiran yang sangat keliru. Kemudian penafsiran ayat tadi digunakan sebagai legitimasi oleh para kiai di pesantren bahwa bertanya merupakan bagian dari suul adab. Fenomena seperti ini pernah terjadi di Eropa pada Abad Kegelapan silam.

Oleh karena hampir seluruh pesantren yang ada di Indonesia menggunakan Tafsir Jalalayn sebagai kitab tafsir rujukan, maka tak heran apabila paradigma tadi sangat melekat dengan dunia pesantren. Apalagi ditambah dengan tradisi pesantren yang cenderung sangat feodal, maka paradigma tadi semakin bertambah subur di lingkungan pesantren. Santri yang dilarang bertanya berarti santri tersebut juga dilarang untuk berpikir. Otak yang tidak pernah dipakai untuk berpikir akan menjadi tumpul dan menyebabkan kebodohan. Berarti, santri yang dilarang untuk bertanya, maka akan menjadi santri yang bodoh, karena otaknya dipaksa agar tidak digunakan untuk berpikir.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan