Menuju STQ Nasional XXVI Sofifi #1: Serpihan Surga di Maluku Utara

825 kali dibaca

Tanggal 11-13 Juni yang baru lalu, saya berkesempatan mengunjungi Maluku Utara untuk melakukan survei lokasi pelaksanaan Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ) Tingkat Nasional XXVI. STQ akan dilaksanakan pada bulan Oktober mendatang di Sofifi, Maluku Utara. Ini merupakan pertama kalinya saya menginjakkan kaki di provinsi kepulauan yang tekenal dengan rempah-rempahnya itu.

Menjelang mendarat di Bandara Sultan Baabullah, Ternate, dari jendela pesawat saya melihat gugusan pulau-pulau dengan pantainya yang indah, dikelilingi pasir putrih berkilau.  Maluku Utara adalah negeri seribu pulau yang memanjakan mata siapa saja karena keindahan alamnya. Melihat keindahan bumi Maluku, saya teringat ucapan Syech Mahmoud Syaltut: Indonesia adalah serpihan surga yang diturunkan ke Bumi.

Advertisements

Sebelum menyeberang ke Sofifi, kami sempat menikmati keindahan Gunung Gamalama yang masih hijau, tertutup oleh rimbunnya pepohonan. Gunung yang tingginya 1.715 meter di atas permukaan laut (dpl) itu diselimuti hutan lebat hingga ketinggian 1.500 meter.

Melihat gunung Gamalama, terbayang sosok gadis jelita yang lugu nan malu-malu membuka  penutup tubuhnya. Hanya menampakkan wajah dan kepalanya yang indah. Di waktu senja, Gamalama adalah lukisan alam di kanvas cakrawala. Laut, pantai, dan teluk yang menyatu dengan hutan rimbun yang menghijau adalah harmoni alam menyejukkan jiwa.

Gamalama adalah gunung berapi yang ada di Ternate. Sejak letusannya yang pertama tahun 1538 hingga 2003, gunung ini tercatat sudah 60 kali meletus. Letusan terakir terjadi pada tahun 2018. Letusan terbesar terjadi pada tahun 1775 yang melenyapkan satu desa dan 141 penduduknya.

Berdasarkan penelusuran penulis ke beberapa media online, nama Gamalama berasala dari kata Kie Gam Lama yang berarti “Negeri yang Besar”, suatu gunung yang menjadi simbol kebesaran masyarakat Ternate. Meski, Gunung Gamalama tergolong aktif, namun masyarakat Ternate tidak pernah merasa terancam oleh letusannya yang bisa terjadi setiap saat. Masyarakat Ternate telah menjadikan Gunung Gamalama sebagai bagian dari kehidupan mereka.

Interaksi antara masyarakat Ternate dengan Gunung Gamalama telah melahirkan suatu bentuk kebudayaan dan tradisi. Salah satu tradisi yang muncul adalah Kololie Kie yang merupakan warisan nenek moyang penduduk Ternate. Tradisi ini berupa ritual mengelilingi Gunung Gamalama sambil mengunjungi sejumlah tempat dan makam keramat yang ada di gunung tersebut.

Tirual tradisional ini dilakukan sebagai upaya memanjatkan doa kepada Yang Kuasa dan para leluhur agar letusan Gunung Gamalama tidak membahayakan. Ritual ini dilakukan setahun sekali dalam festifal Lagu Gam.

Setelah puas menikmati keindahan Gunung Gamalama dari jalanan kota Ternate, kami menuju ke Benteng Kalamata yang terletak di pinggir pantai Kota Ternate. Dari benteng ini kita dapat melihat lautan lepas dan Gunung Tidore yang ada di seberang. Menurut catatan sejarah, benteng ini dibangun oleh Fransisco Serao, seorang pelaut dari Portugis pada tahun 1540 untuk menghadapi serangan Spanyol yang berada di Tidore.

Ketika Portugis mendarat di Ternate tahun 1512, setahun setelah menaklukkan Malaka pada 1511, Portugis melakukan koalisi dengan Sultan Ternate, Bayanullah. Dengan koalisi ini, Portugis memperoleh izin membangun pos atau kantor perdagangan di Ternate dan memonopoli pergangan rempah, terutama cengkih.

Sikap Portugis ini memancing reaksi dari Spanyol yang juga sedang berburu rempah di kawasan Maluku. Untuk mengimbangi manuver Portugis yang sudah berkoalisi dengan Sultan Nayanullah dari Kesultanan Ternate, maka Spanyol berkoalisi dengan Kesultanan Tidore.

Sejak saat itu terjadi perang saudata antara Ternate dan Tidore yang sama-sama muslim-Nusantara dan Spanyol dengan Portugis yang sama-sama Nasrani-Andalusia. Ternate didikung oleh Portugis, dan Tidore yang didukung oleh Spanyol. Pertempuran antara antara Spanyol dan Postugis baru berhenti setelah ada perjanjian Zaragosa yang ditandatangani pada 22 April 1529. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa Spanyol harus hengkang dari Maluku dan menerima kawasan Filipina sebagai daerah jajahan. Sedangkan, Portugis menguasai Maluku untuk melakukan monopoli perdagangan rempah. Sejak saat itu dimulailah era penjajahan di bumi Nusantara, khususnya di Kepulauan Maluku. Dan, Benteng Kalamata adalah saksi bisu atas peristiwa bersejarah itu.

Selain Benteng Kalamata, di Ternate juga terdapat Benteng Orange dan Tolukko. Benteng Orange berada di pusat Ternate, tepatnya di Jalan Hasan Boesoeri, Kelurahan Gamalama, Ternate Tengah. Berdasarkan informasi yang tertera di benteng tersebut, Benteng Orange dibangun 6 Mei 1607 oleh Cornelis Matchlief de Jonge. Pada tahun 1609 benteng yang dibangun ini diberi nama Orange oleh Francios Wittlent.

Benteng ini sebenarnya dibangun oleh Portugis, tetapi ketika Belanda datang ke Maluku, benteng ini diambil alih oleh Belanda, dan dijadikan markas besar VOC di Hindia Belanda. Pada tahun 1619, saat Gubernur Jenderal Hindia Belanda dijabat oleh Jan Pieterszoon Coen, markas besar VOC dipindah ke Batavia.  Sejak saat itu, benteng ini menjadi tidak terawat dan baru dipugar dan direnovasi pada tahun 2015.

Perjalanan kami selanjutnya melihat Benteng Tolukko yang terletak di Kelurahan Sangadji, Kecamatan Ternate Utara. Dari atas benteng ini kami dapat melihat pemandangan laut dan Pulau Tidore, serta Gunung Gamalama yang menjadi latar belakang dari benteng tersebut.

Benteng ini dibangun oleh seorang panglima Portugis bernama Fransisco Serao. Sebagaaimana Bentung Kalamata, benteng ini dibangun untuk pertahanan Portugis agar dapat menguasai rempah-rempah dan mendominasi kekuatan di Maluku.

Ketika Belanda masuk Maluku, benteng ini berhasil direbut dan dikuasai pada tahun 1610. Setelah dikuasai, benteng ini kemudian direnovasi oleh Pieter Both. Pada tahun 1864, benteng ini dikosongkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Baru pada tahun 1996-1997, pemerintah Indonesia merenovasi benteng ini dan dijadikan sebagai cagar budaya.

Menjelajah Ternate hari itu saya seperti memasuki lorong waktu, kembali ke era kejayaan rempah-rempah yang menjadikan bangsa Nusantara bisa mengarungi dunia. Berbagai peninggalan yang ada di Ternate merupakan jejak sejarah yang bisa dijadikan sebagai sumber pengetahuan. Dari berbagaai jejak sejarah yang ada, jelas terlihat bahwa jalaur rempah itu memang nyata dan kita perlu menggali jejak tersebut secara serius untuk membangun rute peradaban di masa depan.

Maluku Utara tak hanya menyajikan keindahan alamnya yang eksotik laksana serpihan surga dan budayanya yang harmonik, tetapi juga menyimpan sumber pengatahuan lewat jejak sejarah yang melimpah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan