Sepucuk Surat dari Ibu

470 kali dibaca

Aku hanya diam memandangi wajah ibu. Sesekali memijat lengannya yang mulai ringkih. Segelas air di sampingnya tidak diminum sempurna. Semilir angin yang masuk lewat celah jendela menjadi saksi keterpurukanku. Dua jam berlalu, mata ibu masih terpejam. Bukan karena tidur pulas atau malas membuka mata. Mungkin ibu terlalu nyaman menyaksikanku cemas di sampingnya, sehingga sampai saat ini belum siuman dari pingsannya.

Tidakkah ibu tahu akan rasa takut kehilangan yang melandaku saat ini? Setelah aku kehilangan bapak, aku harap itu tidak terjadi pada ibu. Aku rindu masa-masa kebersamaan bersama ibu. Dipeluk ibu, rambutku dikepang dua dan dibacakan dongeng olehnya. Betapa senangnya mengingat semua itu. Tapi saat ini? Aku mau mengadu sama siapa? Ibu nyaris berubah. Aku sering tidur sendirian, mempersiapkan alat-alat sekolah sendirian. Untuk anak seusiaku yang masih duduk di bangku SD, aku rasa adalah hal yang wajar meminta perhatian ibu. Seperti temanku Rina yang sering diantar-jemput waktu sekolah, Fendi yang dibelikan mainan robot setiap bulan, dan Siska dengan boneka-bonekanya yang lucu.

Advertisements

***

“Selama ini ibu salah karena terlalu memanjakanmu,” ucap ibu waktu itu, ketika aku menuntut perhatian darinya. Suara ibu yang serak dan disertai batuk-batuk, nyaris tak bisa aku jangkau.

“Faza tak minta lebih, Bu. Faza cuma ingin tidur bersama Ibu. Faza takut tidur sendirian di kamar sebelah.”

“Kamu sudah besar, Faza. Berhentilah bersikap seperti anak kecil.” sedikit pun tak membuat ibu terenyuh.

“Faza akhir-akhir ini juga banyak yang tidak mengerti pelajaran di sekolah. Biasanya kalau Faza tidak mengerti, ibu berusaha menjelaskan.” Aku lagi-lagi mencari alasan agar mendapat perhatian ibu. Mungkin dengan cara ini, ibu akan memeberikan perhatiannya.

“Itu lagi yang ibu tidak suka. Faza bergantung pada ibu tanpa ada usaha untuk memahami pelajaranmu sendiri,” jawaban ibu tambah ketus. Ibu meninggalkanku sendirian tanpa memberikan kesempatan berbicara lagi. Sapu tangan yang dipegangnya  dijadikan penutup suara batuknya.

Bagaimana perasaanku ketika ibu berubah sikap? Aku hanya ingin selalu berada di samping ibu, merawatnya di saat sakit seperti sekarang. Ibu sepertinya selalu menghindar dariku tanpa ada sebab yang jelas.

***

Semenjak ibu berubah, entah perhatian dan perlakuannya terhadapku, aku melakukan semua pekerjaan dan kebutuhanku serba sendirian. Ibu hampir tidak mau tahu tentang keadaanku. Ibu memang tidak marah-marah kepadaku. Tapi, tidak dianggap ada hidup dalam satu rumah berdua lebih sakit daripada luka akibat tebasan pedang. Apalagi hal itu dilakukan oleh orang yang sangat aku cintai. Jika boleh memilih, aku lebih baik memilih dimarahi oleh ibu setiap hari. Diperlakukan seperti budak pun aku rela, asalkan ibu mau  bicara denganku atau setidaknya sekadar menanyakan “Sudah pulang sekolah, Nak?”

Aku seperti orang dewasa sebelum waktunya. Di pagi hari, aku harus masak sendiri, aku harus bangun sebelum  salat Subuh agar dapat menyelesaikan pekerjaanku dan tidak terlambat sekolah. Awalnya aku berat hati melakukan semua itu. Tapi secara perlahan aku mulai terbiasa dan tahu apa itu tanggung jawab, membagi waktu seperti waktu belajar, membersihkan rumah, dan kalau ada waktu, aku bermain ke rumah teman.

Pernah suatu ketika, aku terburu-buru khawatir terlambat sekolah. Aku memakai kaus kaki sembarangan, yang terpenting tidak melanggar peraturan sekolah. Tidak sanggup aku membayangkan jika kepala sekolah menghukumku karena tidak memakai kaus kaki. Sebelumnya aku juga menyempatkan diri untuk sarapan. Itu juga penting agar aku tidak kelaparan di kelas dan mengantuk. Aku tidak biasa memakai  make up atau sekadar bercermin membenarkan penampilanku.

Ketika aku tiba di kelas, apa yang terjadi? Semua teman-temanku menertawakanku. Aku menatap mereka bingung, tak paham apa maksud mereka.

“Faza jorok tak mandi pagi.” Apa? Mereka bilang aku tak mandi pagi? Aku masih ingat betul tadi pagi sebelum Subuh aku mandi sekalian mencuci perabot dapur.

“Memangnya aku kenapa?” tanyaku heran seraya mencium baju seragamku dan memperhatikan penampilanku.

“Coba kamu ngaca di lemari buku,” Siska, sahabatku, memberikan saran. Aku spontan menuju lemari buku yang ada di samping meja guru.

“Oh, tidak!” aku teriak histeris dibarengi dengan tawa teman-teman sekelas. Ketika aku mendapati dahiku ada garis hitam tebal mirip tompel. Aku menyesali diriku sendiri. Kenapa aku bisa seceroboh itu? Aku baru ingat tadi pagi waktu makan aku kejedot panci yang menggantung di dinding dapur dan lupa membersihkannya. Pengalaman yang sangat konyol.

***

Malam ini begitu hening. Hanya ada suara kodok yang bersahutan di samping rumah. Ibu duduk di kursi seraya menatap ke arah luar melalui jendela. Tak ada percakapan yang keluar dari bibir ibu kecuali suara batuk yang tak kunjung sembuh.

“Teh jahenya diminum, Bu. Supaya batuk ibu cepat sembuh.” Ibu hanya menganggukkan kepala. Padahal yang aku inginkan lebih dari itu; bagaimana sekolah Faza hari ini? Faza ada PR apa tidak? Faza sudah makan apa belum? Atau Faza jangan jadi anak nakal. Sebegitu lamanya aku menunggu, tetap saja ibu tidak bicara. Setelah itu, ibu beranjak dari tempat duduknya menuju kamar. Untuk kesekian kalinya, ibu meninggalkanku sendirian. Namun, ketika pintu kamar ibu hampir tertutup sempurna, ibu mengucapkan satu kalimat yang aku tak tahu maksudnya. “Ibu minta maaf, Nak.”

Sebenarnya apa yang terjadi? Baru kali ini ibu minta maaf setelah sekian lama tidak bicara denganku dan anehnya ibu tidak mengatakannya di depanku. Lagi-lagi aku berusaha mengerti, meski sebenarnya aku sangat tidak mengerti akan sikap ibu. Aku berusaha berprasangka baik pada ibu. Aku mengalihkan pikiranku pada acara pembagian rapor besok di sekolah. Aku harap besok merupakan momen bersejarah. Di mana ibu mulai memberikan perhatiannya padaku.

***

Acara pembagian rapor sudah berlangsung selama empat puluh lima menit. Aku menoleh ke arah jendela untuk kesekian kalinya, berharap ibu menghadiri momen penting ini. Tadi pagi aku sudah bilang sama ibu bahwa hari ini ada pembagian rapor di sekolah. Jika semisal ibu tak bisa hadir karena kondisi tubuhnya yang belum stabil, aku harap ibu menelepon paman untuk mewakilkannya. Tapi sampai sekarang salah satu dari mereka tak ada yang datang.

“Siswa terbaik kelas VI SD Bakti Mulia jatuh pada anak yang bernama Haura Faza Kamila.”

Air mataku tumpah ruah memenuhi  pipi kiri dan kanan. Itu bukan air mata kebahagiaan karena aku menjadi siswi terbaik. Tapi air mata kesedihan karena pada saat itu tak ada ibu yang seharusnya menyaksikan. Aku menundukkan kepala pilu.

“Haura, selamat, Nak.” Aku menoleh ke arah suara.

“Paman? Ibu di mana?” Paman tak menjawab.

“Sekarang Faza pulang duluan bareng paman, ya?” Pulang? Sebenarnya apa yang terjadi? Pikiranku mulai tak karuan. Tenggorokanku tercekat, tak bisa berkata-kata.

Sesampainya di rumah, aku melihat banyak orang. Aku berlari sekuat mungkin. Mencari sosok ibu di antara kerumunan orang. Semua orang hanya menatapku iba.

Aku seperti disambar petir ketika mendapati ibu terbujur kaku seraya ditutupi sehelai kain. Sempurna sudah kesedihanku. Setelah ibu memperlakukanku seperti bukan anaknya sendiri, sekarang ibu meninggalkanku untuk selamanya.

“Ibu, sebenarnya apa salah Faza? Kenapa ibu membiarkan Faza sendirian? Faza janji tak akan nakal dan nuntut macam-macam. Asalkan ibu bersama Faza.” Aku mencium wajah ibu untuk yang terakhir kalinya. Kutatap lekat-lekat di setiap raut wajah ibu. Pernah ditinggalkan bapak rupanya tetap tak bisa membuatku tegar. Namun justru membuatku semakin rapuh.

“Sabar, Nak Faza,” bibi mengusap pundakku lembut. Aku tak menoleh sedikit pun. Tanganku masih memeluk ibu dengan erat.

“Ini surat untukmu. Saat ibumu mulai sakit-sakitan, ia menitipkan surat itu pada Bibi.”

Surat? Benarkah surat itu untukku? Mengingat, berbicara  saja  ibu enggan. Aku buka surat itu pelan. Rasa penasaran mulai berkelebat dalam pikiranku.

Faza anakku sayang. Mungkin Faza bertanya-tanya atas perlakuan ibu kepada Faza selama ini. Semua yang ibu lakukan sebenarnya demi kebaikan Faza. Dengan kondisi ibu yang sakit-sakitan, ibu sadar tidak bisa membahagiakan Faza untuk selamanya. Ibu hanya ingin Faza menjadi anak yang kuat, mandiri, dan tegar dalam menghadapi apa pun. Faza bisa mewujudkan permintaan ibu kan, Nak?

ilustrasi: smpn1 singaraja.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan