DI AMBANG PINTU
Ada jejak-jejak kecil di ambang pintu.
Mereka bilang itu adalah jejak perpisahan.
Namun, aku melihatnya sebagai jejak cinta yang tertinggal,
Yang menolak pergi meski tubuh dipaksa.
Palestina, engkau di ambang pintu.
Antara harapan dan kehilangan.
Namun di setiap tapak yang tersisa,
Ada cinta yang tetap, tak tergoyahkan.
Bangunjiwo, 2024.
SEPOTONG MALAM DI GAZA
Di sini, malam tiba tanpa aba-aba.
Ia datang seperti luka yang tak diumumkan.
Langit Gaza adalah kanvas yang retak,
Namun dalam retak itu, ada puisi yang mengendap.
Palestina, malam ini adalah catatan kecil,
Di mana cinta berbicara dalam sunyi,
Mengisi kekosongan dengan harap,
Menunggu fajar yang mungkin tak kunjung datang.
Bangunjiwo, 2024.
ANGIN DARI RAMALLAH
Angin dari Ramallah membawa kabar.
Bukan tentang perang, bukan tentang damai,
Tapi tentang cinta yang diam-diam berakar,
Di antara batu-batu yang berserakan.
Angin itu membawa wangi tanah,
Yang pernah basah oleh hujan,
Dan aku tahu, di dalam wangi itu,
Tersimpan rindu yang tak tersampaikan.
Bangunjiwo, 2024.
PUISI DI BALIK KAWAT
Kawat berduri tak pernah menyanyi.
Namun di baliknya, ada puisi yang menunggu,
Tersembunyi dalam bayang-bayang,
Menghitung waktu hingga kata-kata kembali bernapas.
Palestina, kau adalah puisi itu.
Terkungkung, tapi tak pernah mati.
Kata-katamu mengalir di udara,
Menjadi nyanyian cinta yang merindu kebebasan.
Bangunjiwo, 2024.
DI SISI LAUT
Laut adalah saksi bisu,
Menyimpan cerita yang tak pernah selesai.
Gelombangnya membawa cerita cinta,
Yang tak sampai, yang tak terbaca.
Palestina, di sisi laut,
Aku mendengar bisikanmu,
Tentang cinta yang terbelah dua,
Antara yang hilang dan yang terus dicari.
Bangunjiwo, 2024.
SEKUNTUM ZAITUN
Sekuntum zaitun jatuh dari ranting,
Bukan karena angin, bukan karena musim,
Tapi karena cinta yang terlalu berat,
Tak sanggup lagi menahan.
Palestina, sekuntum zaitun itu adalah kita,
Yang menggenggam cinta dalam diam,
Meski dunia terus berputar,
Dan waktu tak pernah mau berhenti.
Bangunjiwo, 2024.
Ilustrasi: Lukisan Al-Azzawi.