Sepinya Gerakan Puisi

614 kali dibaca

Kita pernah mendengar tentang Pujangga Lama, Pujangga Baru, dan gerakan dari Angkatan 45, terutama Chairil Anwar, yang membawa napas baru pada puisi. Chairil memperkenalkan puisi bebas, sebuah anti-tesis dari puisi lama yang kaku. Chairil adalah seorang modernis dalam dunia puisi. Ia memperkenalkan bentuk dan isi, serta teknik puisi modern yang berlaku di mancanegara.

Kita tahu, Chairil Anwar telah memengaruhi banyak penyair Indonesia. Perubahan kualitas di dunia puisi terlihat sejak Chairil muncul dan terus berlangsung hingga sekarang. Kita mengenal nama-nama besar; seperti WS Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Joko Pinurbo, dan lain-lain, sederet nama penyair yang meneneruskan jejak dan sikap Chairil Anwar dalam menghadapi perubahan zaman. Para penyair sesudah Chairil Anwar juga ikut mengeksplorasi kesustraan dunia ke dalam puisi-puisi mereka.

Advertisements

Sikap Chairil Anwar dalam dunia puisi terlihat jelas pada sajak-sajaknya yang melegenda, walaupun tidak terlalu banyak. Sebuah sikap yang dia pelajari dari penyair besar Rainer Maria Rilke. Chairil adalah seniman, seperti Rilke, yang menganggap puisi sebagai seni yang setara dengan seni-seni lain, seperti seni rupa dan musik klasik. Puisi sama pentingnya bagi manusia seperti seni lainnya. Puisi menawarkan nilai-nilai yang bisa digunakan dalam kehidupan manusia secara umum atau personal.

Sebagai seorang jenius puisi, Chairil mengeksplorasi kekuatan jiwanya untuk mengatakan apa-apa yang keseharian dengan begitu mempesona. Bukan hanya keindahan yang melekat dalam puisi-puisinya, tetapi juga sikap hidup yang begitu kuat untuk memaknai keseluruhan pengalaman kehidupan yang mampu dicerapnya. Chairil telah mengawali sekaligus mewakili sebuah gerakan seni sebagai pembaharuan atas kualitas hidup yang dekaden.

Penyair besar kita, WS Rendra meneruskan gerakan pembaharuan pada puisi, dengan mengambil inspirasi dari penyair Frederico Garcia Lorca, ia menuliskan puisi-puisi balada dan mengeksplorasi kehidupan yang lebih luas, seperti politik, ekonomi, sosial budaya, dan spiritual. Rendra, kita tahu, telah banyak bersuara tentang ketidakadilan yang terjadi di masa Orde Baru dengan puisi pamfletnya. Di sisi yang lain, kita juga mengenal penyair Wiji Thukul yang menyuarakan protes dengan begitu dahsyatnya melalui puisi-puisinya sampai ia harus menebus dengan kehilangan nyawa.

Tiga sekawan, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, dan Goenawan Mohamad juga melakukan gerakan puisi yang menghasilkan bentuk-bentuk puisi modern dan juga menulis kritik sastra untuk melihat perkembangan puisi dari masa ke masa, sebuah pekerjaan yang kini dalam sastra Indonesia telah sepi. Kita ingat, sebelum mereka HB Jassin, melakukannya dengan begitu tekun.

Sekarang gerakan puisi terasa sepi. Terakhir kita mendengar mengenai puisi gelap. Manifesto Puisi Gelap yang dicetuskan oleh penyair Indra Tjahyadi dkk, yang mengeksplorasi Surabaya dengan gaya yang dipinjamnya dari para penyair simbolis Prancis, sebut saja nama seperti; Charles Baudelaire, Mallarme, dst.

Puisi gelap adalah gerakan puisi yang meneruskan cita-cita penyair Kriapur yang meninggal di usia yang sangat muda karena kecelakaan yang menimpanya. Afrizal Malna sebagai penyair kelahiran Kota Surabaya juga mengeksplorasi puisi gelap dalam konteks masyarakat urban. Setelah penyair-penyair yang telah disebutkan secara tak utuh itu, kita tak mendengar lagi gerakan puisi atau pertanyaan penting tentang, misalnya; apa arti puisi modern hari ini? Seperti apa puisi modern itu sekarang?

Lamat-lamat kita hanya mendengar tentang puisi kontemporer yang katanya hanya bisa diterima di masa datang oleh Indonesia. Apakah puisi yang katanya kontemporer itu adalah sebuah gerakan puisi hari ini? Atau itu hanya slogan bagi mereka yang gagal menulis puisi? Atau itu hanya pernyataan bagi dekadensinya saja? Barangkali hanya waktu yang akan menjawabnya, dan bukan kita. Sekian.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan