Semut Hitam dan Penjual Roti

2,484 kali dibaca

Dengan keenam kakinya, semut itu lari tergopoh-gopoh menghindari kematian. Dua ekor anaknya yang masih tersisa ia tuntun sebisa mungkin. Satu di antara dua anak semut itu kakinya telah patah. Langkahnya pun tertatih-tatih. Susah payah mereka menghindari langkah kaki manusia yang hilir mudik di depan toko. Saudara-saudaranya yang lain telah tewas tergilas empasan sapu lidi seorang karyawan toko roti yang baru bekerja.

Karyawan baru itu memang begitu trengginas menghalau sampah dan kawanan semut. Kabarnya karyawan lama dipecat karena tak becus mengusir kawanan semut itu. Sebagai tempat yang menjadi sumber pangan, selalu saja ratusan bahkan ribuan semut berduyun-duyun dari berbagai arah menuju ke toko itu. Binatang-binatang mungil itu mengais sisa-sisa roti yang tercecer di samping tong sampah atau sisa roti yang dimakan karyawan secara sembunyi-sembunyi.

Advertisements

Ketika telah berhasil melewati pagar dan masuk gorong-gorong bawah tanah, napas mereka terengah-engah. Seolah-olah tenggorokannya dicekik oleh sesuatu yang menyakitkan. Anak semut hitam yang patah kakinya itu pun tak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Suasana gorong-gorong gelap itu terasa semakin mencekam. Andaikan manajer toko itu tidak berencana menyemprotkan obat semut, pasti semut-semut itu lebih memilih tetap tinggal di situ.

Sayang sekali, kepemimpinan toko yang telah berpindah tangan kepada manajer baru itu ternyata berimbas pada banyak hal. Tak ada lagi makan siang buat karyawan. Semut-semut yang biasanya dibiarkan bebas berkeliaran di area toko kini dikejar-kejar. Bahkan karyawan yang secara sembunyi-sembunyi melindungi semut-semut itu pun telah dipecat.

Karyawan baru yang trengginas itu telah bersiap menyemprotkan cairan obat semut setelah menyapu halaman. Kakinya yang jenjang mondar-mandir di halaman dan sudut-sudut toko sembari menyemprotkan obat. Dan di dalam gorong-gorong, ibu dari kedua semut itu telah demikian panik. Anaknya yang pertama terlalu lemah untuk ia ajak menggendong adiknya yang cedera.

Sementara itu bau obat semut itu semakin menusuk-nusuk hidungnya. Semut itu kemudian menyuruh anak pertamanya untuk segera pergi menyelamatkan diri. Dia sendiri merasa tak mungkin untuk meninggalkan buah hatinya sendirian dalam keadaan demikian. Seraya memohon datangnya pertolongan, ia selimutkan sesobek tisu untuk melindungi anaknya dari cairan mematikan itu.

Suasana gorong-gorong itu telah sepi sejak semalam. Berita akan adanya semprotan obat semut itu lebih dulu mengusir para penghuninya. Kebanyakan dari mereka sudah memiliki cukup cadangan makanan sehingga tak perlu banyak pertimbangan untuk segera meninggalkan gorong-gorong. Lain halnya dengan semut itu, dia sedang memperbaiki sarang ketika teman-temannya mencari perbekalan makanan sore kemarin. Cadangan makanan yang diperoleh teman-temannya pun cuma sedikit sehingga tak enak hati jika dia harus menggantungkan diri pada kerja keras mereka.

Cerita itu kembali terngiang-ngiang di kepalanya. Tadi malam tetangganya mengatakan bahwa sebentar setelah toko ditutup, seekor semut yang bekerja sebagai telik sandi pulang memberitahu kabar akan adanya penyemprotan. Telik sandi itu pun bertindak cekatan. Teman-temannya ia ajak mencari perbekalan untuk kemudian pergi menyelamatkan diri. Celaka tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, ibu semut dan beberapa anaknya itu tidak bisa ikut mencari perbekalan dan justru berangkat mengais rezeki saat penyemprotan tengah berlangsung pagi ini.

Kemarin sore semut telik sandi itu memang lama berhenti di tong sampah menguping pembicaraan seorang karyawan toko yang lembut hati. Gadis yang biasanya memberi sisa-sisa roti pada mereka itu tengah bercengkrama dengan ayahnya. Biasanya dia memang pulang dijemput. Ayahnya itu selalu datang sebelum jam kerja berakhir. Dia biasanya duduk di bangku itu sembari melihat kawanan semut yang rapi berbaris atau tengah susah payah mengangkut barang. Tetapi karena sore kemarin hujan turun dengan deras mereka lantas menunggu hujan reda di bangku emperan toko itu.

“Mulai besok ayah tak akan melihat lagi ada semut berbaris di tembok ini. Tak akan ada lagi kawanan semut yang bergotong-royong membawa bangkai, makanan, atau apa pun yang disukainya di tempat ini,” kata karyawan itu pada ayahnya.

Gadis karyawan yang lembut hati itu menunduk. Ayahnya terdiam memahami kata-kata itu dengan dahi mengernyit berkerut-kerut.

“Menurutmu apa menariknya semut-semut ini?” kalimat tak penting itu dilontarkan sang ayah demi menghindari obrolan tentang masalah yang dihadapi anaknya di tempat kerja ini. Beberapa hari terakhir putrinya itu memang sering mengeluhkan tekanan pekerjaan yang didapatkannya di toko.

“Semut-semut itu, mereka selalu bergotong-royong untuk kepentingan dan kebaikan orang banyak, Yah. Kalau manusia, seringkali mereka bergotong-royong untuk bersekongkol demi hajat pribadi atau golongan tertentu dan bahkan menindas orang-orang lemah.”

Lelaki itu menyapu kerudung putrinya.

“Ayah tak perlu menjemputku lagi setelah ini.”

“Kenapa bisa begitu, anakku? Maksudmu apa?” tanya ayahnya dengan raut tersentak sekaligus cemas.

“Aku diberhentikan dari toko karena ketahuan menjatuhkan sepotong roti yang kemudian kukasihkan pada semut-semut itu. Seorang karyawan baru akan bekerja menggantikanku mulai besok. Dan semut-semut malang itu akan dimusnahkannya.”

“Kejam sekali bosmu itu! Bisa-bisanya hanya karena permasalahan sepele begini kamu diberhentikan!” desis sang ayah.

“Manajer toko yang baru itu tak suka melihatku tak mau bersekongkol untuk menggelapkan uang hasil penjualan.”

Lelaki itu memandang putrinya dengan mata nanar.

Setelah itu semut telik sandi tadi tak mendengar ada percakapan lagi di antara kedua ayah-anak itu. Karyawan lembut hati dan ayahnya itu kemudian melangkah pergi karena hujan telah reda. Mereka berjalan dengan kepala tertunduk menuju sepeda motor butut yang telah basah kuyup di tempat parkir.

Mengingat kejadian yang diceritakan telik sandi itu membuat semut hitam dalam gorong-gorong itu menyesali diri mengajak anak-anaknya nekat mengais roti. Dia memang belum sepenuhnya percaya pada berita pemecatan gadis itu. Dia terlalu baik untuk dipecat dan pergi meninggalkan tempat ini. Semut itu semakin gelisah, anaknya yang terluka mulai merintih kesakitan. Di sisi lain bau obat semut itu membuat kepalanya terasa berat berdenyut-denyut.

Ketika bau obat semakin menyengat dan badannya terasa rapuh, terdengarlah suara langkah kaki teman-temannya. Ternyata doanya terkabulkan. Anaknya yang pertama datang bersama puluhan semut lainnya. Tanpa banyak kata mereka segera membawa tubuh anaknya yang tengah terkulai tak berdaya. Tubuhnya yang mulai lemas karena mengirup bau racun pun digotong ramai-ramai. Mereka bergerak cepat. Beberapa detik setelah mereka keluar dari gorong-gorong lewat pintu belakang cairan racun masuk berhamburan dari lubang depan. Udara dalam lubang itu pun dipenuhi racun mematikan.

“Semut-semut itu melarikan diri!” teriak seseorang yang membuka tutup gorong-gorong. Semut yang tengah terluka itu ternyata disambut oleh ribuan teman-temannya di mulut gorong-gorong belakang. Mereka berduyun-duyun melewati rongga dalam tanah.

Semut belia yang ibunya tengah digotong teman-temannya itu keluar dari barisan. Dengan cekatan ia menerobos rengkahan tanah, kemudian melompat ke lengan perempuan bersuara lantang itu. Ia berlari sekencang-kencangnya menembus pakaian yang dikenakan perempuan yang ternyata adalah manajer baru itu. Susah payah ia memanjat karena kulit perempuan yang dilumuri cairan berbau harum itu begitu licin. Semut hitam itu tak mau menyerah, dengan kaki-kakinya yang kekar ia berhasil juga akhirnya melewati lengan licin itu.

Ketika telah sampai di dekat bahu, ujung dari lengan itu; tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Ujung hidungnya mengendus bau kecut yang terasa aneh bagi dirinya. Ketika dia menengok sumber bau itu ditemukannyalah sebuah lipatan kulit dengan rambut-rambut akar berjuntai-juntai yang dari dalamnya mengalir sebuah cairan berbau sungguh busuk memabukkan. Buru-buru ia berlari menjauh. Ia tak ingin membuat perempuan itu curiga, maka ia berlari tanpa memberikan gigitan perlawanan. Dan ia nyaris terjatuh ketika melewati pipi yang mulai keriput itu. Permukaannya sangat licin sekaligus becek. Ia menepi melewati daerah pendengaran untuk menghindari celaka. Jantungnya seperti mau copot ketika tiba-tiba jemari perempuan itu menyapu telinga. Untung saja dia telah berhasil melewatinya.

Sambil berteriak menuding kawanan semut di mulut gorong-gorong, perempuan itu memasukkan ujung jari manis dan memainkannya di lubang telinga. Dan seketika itu semut hitam yang tengah berkejaran dengan waktu itu muntah karena mengendus bau yang sangat busuk dari ujung jari perempuan itu. Untung saja dia segera bisa menguasai diri. Tak ingin dia larut dalam celaka. Hidungnya ia tutup rapat. Detik berikutnya dia telah berada di pelipis. Hati-hati sekali ia melangkah menuju alis. Dan celaka nyaris menyergapnya karena alis yang hendak ia jadikan pegangan itu ternyata palsu belaka. Nyaris saja dia tergelincir jatuh.

Detik berikutnya ia melompat ke bola mata perempuan itu. Menjeritlah  manajer baru itu sejadi-jadinya. Begitu selesai mengeluarkan cairan racun yang dimilikinya, semut itu segera lari menyelamatkan diri. Namun naas, telapak tangan perempuan itu terlalu besar untuk dihindari. Tubuhnya kini berada di ujung kedua jemari permpuan itu. Dan dalam satu gerakan jemari, tubuh semut itu telah hancur tak berbentuk. Bangkainya ia lempar ke kerumunan semut di lubang gorong-gorong.

Kawanan semut itu bergejolak. Kematian semut hitam pemberani itu memancing keberanian yang lain. Apalagi kini ibunya telah tewas tak mampu bertahan dari racun semprotan itu. Sementara itu, anaknya yang pincang masih bisa bertahan karena diselamatkan ibunya dari racun itu dengan selembar tisu yang menghalangi cipratan racun. Cerita kepedihan yang dialami keluarga semut pincang itu membakar kemarahan yang lain. Bala tentara semut dari segenap penjuru pun didatangkan. Berbekal rasa persaudaraan yang tumbuh sangat erat di antara mereka, perlawanan ribuan semut pun berkobar.

Tubuh perempuan itu dipenuhi semut yang ramai-rami memberikan gigitan. Beberapa jenderal semut pun ikut menyerang. Mereka memimpin perlawanan dan mencari titik-titik lemah. Seekor semut besar berpangkat jenderal menggigit dengan keras selangkangan perempuan itu. Karena sakit yang tak terperi keseimbangannya goyah. Maka terjungkallah dia. Tubuhnya yang dipenuhi wewangian kini terjerembab ke dalam gorong-gorong, mandi air comberan berbau busuk sisa limbah perumahan warga. Bersoraklah semut-semut itu kegirangan melihat musuhnya mereka telah roboh berkalang air lumpur comberan.

Suatu sore sejak kejadian itu berlalu beberapa minggu, di ujung rengkahan tanah semut pincang tengah tersedu mengenang kematian keluarganya. Di bawah guyuran sinar senja matanya menelisik lanskap jalan yang kian sesak ditingkahi suara klakson yang bersahut-sahutan. Di waktu senja begini biasanya dia bersama saudara-saudaranya berduyun-duyun pulang sambil membicarakan hasil pencarian makanan yang akan dilaporkan pada kedua orang tuanya di sarang nanti. Kini kenangan itu hanya menyisakan luka. Ibunya telah pergi untuk selamanya. Dan waktu yang berlalu bersamanya tak mungkin lagi akan terulang.

“Jangan larut dalam bersedih, kawan. Besok kita bisa kembali pulang ke gorong-gorong. Gadis lembut itu kembali kerja di sana. Manajer kejam itu telah diganti karena ketahuan menggelapkan banyak uang toko,” tiba-tiba seekor semut hitam bertubuh kurus datang sembari membawa sebongkah roti.

Mentaraman, 25 Desember 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan