seksualitas agama budaya

Seksualitas Agama dan Budaya

1,354 kali dibaca

Tubuh perempuan selalu mengalami kontestasi bagi pihak-pihak di luar dirinya. Ada bagian tertentu yang dibidik dari perebutan wacana tubuh perempuan, yaitu soal kepatuhan dan kepasrahan. Pihak laki-laki merupakan tertuduh utama dalam bias eros patriarkalnya. Selalu merasa memiliki hak untuk menilai bentuk tubuh perempuan. Laki-laki seolah memiliki kekuasaan untuk mengintervensi standar nilai pada tubuh perempuan. Dalam budaya patriarki, posisi perempuan dan tubuhnya selalu ditempatkan dalam posisi subordinat.

Ada sejarah panjang yang menunjukkan bahwa tubuh perempuan selalu dilekatkan dalam hubungan tubuh sosial sebagai penjamin kesuburan dan semua bentuk kewajiban yang datang dari keluarga. Jadi tubuh perempuan tidak bisa lepas dari tanggung jawab keturunan (biologis) dan moral (psikologis) manusia.

Advertisements

Agama Islam memandang tubuh perempuan sebagai sesuatu yang memiliki rahim. Perempuan diidentifikasi sebagai pembawa atau pencipta kehidupan. Sedangkan dalam sifat rahim (kasih saying) akan diaktualisasikan dalam bentuk rahim di dalam tubuhnya. Demikian yang menjadikan dasar bentuk cinta ibu (perempuan) yang dianggap lebih besar daripada cinta bapak (laki-laki) kepada anaknya.

Islam mengajarkan untuk selalu menghormati perempuan sebagai manusia yang utuh seperti halnya laki-laki. Dalam agama, perbedaan laki-laki dan perempuan hanyalah pada tingkatan spiritualitas (ibadah). Namun seringkali terjadi ketimpangan gender dalam peran dan status sosial. Sedangkan dalam ranah seksualitas, Al-Quran menjelaskan urusan seksualitas hanya boleh dilakukan melalui lembaga pernikahan. Hubungan seksual yang dilakukan di luar pernikahan dianggap zina dan diancam dosa besar.

Dalam ranah budaya, perempuan diposisikan sebagai objek eksploitasi laki-laki. Menempatkan perempuan dalam posisi kelas bawah urusan dapur (penyedia makanan), kasur (pelayan seks), sumur (pencuci pakaian dan perabotan). Konsensus sosial budaya masih melekatkan stereotype (penjulukan) kepada perempuan atau istri sebagai ‘penumpang’ kemuliaan laki-laki atau suami.

Tubuh perempuan disorot dan diregulasikan dalam kancah paling esensial dari laku hidup manusia, melalui penertiban perilaku, pakaian, dan segmen-segmen hidup yang lain. Penjajahan terhadap pandangan seksualitas perempuan terus dinarasikan oleh media dan tokoh-tokoh rezim seksualitas. Agama dan budaya dijadikan aturan mengikat untuk membungkam konstruksi kultural perempuan.

Tarik Ulur RUU TPS

Ancaman kekerasan seksual mulai merambah ke berbagai instansi. Sebulan terakhir, Indonesia digegerkan dengan kasus-kasus pelecehan seksual. Pertama, pelecehan seksual dosen terhadap mahasiswinya di sebuah perguruan tinggi yang seharusnya menjadi lembaga pendidikan moral berkebudayaan. Kedua, kasus aborsi (pelecehan seksual) hingga bunuh diri oleh anggota polres Pasuruan. Polisi yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat dan menegakan keadilan malah memberi contoh perilaku asusila.

Terakhir adalah kasus guru yang memperkosa 12 santri hingga hamil di Bandung. Pondok pesantren (lembaga agama) yang seharusnya melawan perilaku kemaksiatan malah dijadikan alat mengekspolitasi seksualitas tubuh perempuan. Beberapa kasus tersebut memberikan gambaran bahwa kekerasan seksual tidak memandang gaya berpakaian (mengumbar aurat), gaya hidup (pergaulan), hingga kedewaasaan pemikiran tentang seksualitas. Semua bisa menjadi tersangka dan korban.

Namun polemik kekerasan seksual atau perilaku asusila masih dijadikan narasi politis mengatasnamakan agama dan budaya luhur. Nyatanya, Draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Seksual (RUU TPS) yang disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR masih ada juga fraksi yang ingin menunda bahkan menolak. Salah satunya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang beranggapan bahwa RUU yang disusun dapat melegalkan perzinaan karena mengandung sexual consent.

Patut dimaklumi jika partai yang selalu mencitrakan suara umat muslim mengusung agenda sistem syariat di Indonesia. Konten atau undang-undang yang mengarah kepada perilaku menyimpang (dalam ranah agama) akan ditolak. Meskipun dalam penolakannya tidak didasarkan pada esensi “kekerasan seksual” namun lebih kepada perilaku perzinahan.

Ancaman predator seksual seharusnya dijadikan pertimbangan bahwa perilaku kekerasan seksual tidak mengenal agama dan budaya. Sedangkan payung hukum dibutuhkan untuk membasmi predator seksual yang malah dilakukan institusi atau lembaga yang seharusnya melawan perilaku tersebut. Partai yang membawa misi politik agama seharusnya menjadi yang terdepan mengusulkan RUU TPS. Memberikan pemahaman bahwa agama juga menolak keras segala bentuk perilaku kekerasan seksual. Bukan malah memperumit pengesahan yang berakibat pada meluasnya jangkauan predator seksual tanpa payung hukum yang jelas.

Mendesaknya pengesahan UU TPS sebab UU KUHP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU ITE, hingga UU tentang Pornografi, UU Perkawinan, belum bisa menjadi payung hukum melindungi korban kekerasan seksual. Harapannya kebebasan seksual, penyimpangan seksual, dan kekerasan seksual dapat diatur melalui regulasi yang jelas.

Sejak Januari hingga September 2021, data Komnas Perempuan mencatat ada 4.000 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Itu masih belum semuanya melapor atau tercatat secara komprehensif. Berdasarkan survei yang dirilis Pew Research Center pada 20 Juli 2020 menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk paling religius. Namun melihat banyaknya kasus kekerasan seksual menjadi tamparan bahwa agama tidak menjamin umatnya berperilaku “religius”.

Multi-Page

One Reply to “Seksualitas Agama dan Budaya”

Tinggalkan Balasan