Sejarah Perkembangan Pendidikan Pesantren

1,475 kali dibaca

Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pusat penyebaran agama Islam yang telah lahir semenjak berabad-abad yang lalu. Disebutkan bahwa di era Walisongo, yaitu Syekh Malik Ibrahim, adalah ulama yang pertama kali mendirikan pesantren (Bashori, 2017). Bahkan beberapa pendapat mengatakan bahwa pesantren telah ada semenjak agama Islam datang ke Indonesia. Meski begitu, pesantren pada awal mulanya masih sangat sederhana, baik dari bentuk fisik bangunan maupun kurikulumnya.

Jika melihat latar belakang dan asal usul berdirinya pesantren, setidaknya terdapat dua versi untuk menjelaskannya. Pertama, pesantren berasal dari tradisi asli Islam sebagai pengaruh pada pendidikan kaum sufi. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Azra yang menyatakan bahwa dakwah Islam di Indonesia mulanya akrab dengan bentuk kegiatan tarekat. Kedua, versi yang menyatakan bahwa pesantren merupakan penerus dari sistem pendidikan pada tradisi Hindu-Budha yang telah diislamkan (Satria, 2019)

Advertisements

Istilah pondok pesantren diidentifikasi berasal dari dua kata, “pondok” dan “pesantren”. Pondok berasal dari bahasa arab funduq yang memiliki arti rumah penginapan atau asrama. Sementara, pesantren berasal dari bahasa sanskerta “santri” atau “shastri”, yang memiliki arti orang yang mendalami berbagai ilmu (Bashori, 2017) Dengan begitu, pondok pesantren merupakan asrama atau tempat yang digunakan oleh para santri untuk memperdalam berbagai ilmu, khususnya keagamaan.

Pesantren setidaknya mempunyai lima elemen dasar, yaitu pondok (asrama), masjid, santri, kiai, dan kitab klasik. Kitab klasik merupakan elemen penting dalam pengkajian keilmuan di pesantren. Pengkajian terhadap Kitab klasik (kuning) menunjukkan adanya orisinalitas pendidikan keislaman di pesantren. Kitab kuning menjadi simbol pengajaran pesantren yang bersanad (transmisi) keilmuan hingga Rasulullah. Di dalamnya membahas berbagai macam fan (cabang) keilmuan, seperti fikih, tasawuf, gramatika arab, dan lain sebagainya.

Sebagai lembaga pendidikan Islam asli Indonesia, pesantren tumbuh dan berkembang dengan pesat ke berbagai wilayah Nusantara hingga saat ini. Bahkan, sejak era kolonialisme, tepatnya pada tahun 1862, jumlah santri di Jawa tercatat telah mencapai 94.000 orang. Jumlah itu terus bertambah hingga lebih dari 162.000 pada satu dekade berikutnya. Pemerintah kolonial melaporkan setidaknya terdapat 11.000 pesantren dengan total keseluruhan melebihi angka 272.000 santri di daerah Jawa pada tahun 1893 (Riklefs, 2008).

Dengan berbagai ciri khas pendidikan intelektual, spiritual, maupun moral yang kuat, pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan Islam yang sangat ideal. Hingga dewasa ini, pesantren telah diakui oleh kalangan luas sebagai lembaga pendidikan yang memiliki banyak keunggulan, mulai dari aspek transmisi dan internalisasi moralitas, hingga tradisi keilmuan yang disebut sebagai tradisi agung (great tradition) oleh Martin Van Bruinessen.

Sebetulnya, kelebihan dari pondok pesantren telah terlihat sejak polemik kebudayaan dalam rentang tahun 1930-an, demikian yang dinyatakan oleh Malik Fajar. Di mana, sebagai salah seorang cendekiawan yang terlibat dalam polemik tersebut, Dr Sutomo menyerukan supaya prinsip sistem pada pendidikan pesantren digunakan sebagai landasan pembangunan pendidikan nasional. Sekitar tahun 1970-an ada Abdurahman Wahid, seorang tokoh muslim pesantren yang mempopulerkan gagasannya bahwa pesantren sebagai subkultur bangsa Indonesia (Djazilam, 2019). Testimoni dari para tokoh bangsa tersebut menandakan jika pesantren memang salah satu lembaga pendidikan Islam yang memiliki peranan urgen sebagai pewaris tradisi budaya Indonesia.

Sejalan dengan perkembangan zaman, pesantren pun mengalami berbagai perubahan. Namun demikian, pesantren tetaplah mempunyai fungsi sebagai lembaga pendidikan transfer keilmuan dan nilai-nilai ajaran Islam. Selain itu pesantren juga tetap memiliki fungsi sebagai sistem kontrol dan juga rekayasa sosial. Kedua fungsi ini tentunya haruslah dipertahankan, sekaligus juga diberikan inovasi-inovasi yang lebih kreatif.

Saat ini, pesantren memiliki berbagai bentuk sistem pendidikan. Misalnya, terdapat pesantren dengan kurikulum nonklasikal, ditandai dengan para santri yang menetap di pesantren tersebut. Ada pula tipe pesantren yang hanya menyediakan tempat untuk belajar agama Islam saja, sedangkan para santrinya tinggal di sekeliling pesantren. Dewasa ini banyak pula pesantren yang telah menggabungkan antara sistem pendidikan nonformal dan formal, serta disediakan pula asrama di dalamnya. Ini menandakan bahwa pesantren telah mengalami berbagai perkembangan dalam lingkup internalnya.

Jika mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1979 (dalam Tolib, 2015), pesantren dibedakan menjadi empat model. Pertama, pesantren dengan sistem pengajaran tradisional (wetonan, sorogan, atau bandongan) dan santri menetap di asrama pesantren. Kedua, pesantren dengan pengajaran klasikal yang diberikan pada waktu-waktu tertentu oleh kiai yang bersifat aplikasi, para santri juga menetap di asrama pesantren. Ketiga, pesantren yang hanya menyediakan asrama saja, sedangkan untuk kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan di luar pesantren. Keempat, pesantren dengan sistem menyelenggarakan pendidikan berbasis agama dan juga sistem pendidikan sekolah ataupun madrasah.

Keunggulan pesantren yang membedakan dengan lembaga pendidikan lain adalah sistem pendidikan pesantren yang memiliki titik tekan dalam evaluasi tidak melulu terkonsentrasi pada aspek kognitif. Namun juga pada tataran integritas kepribadian para santri. Ini memberi warming bahwa pesantren bukan sekadar “kandang” reproduksi manusia yang memiliki intelektualitas, namun juga pada tekanannya terhadap aspek moralitas.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan