Santri Sok Arab

4,264 kali dibaca

Tentu telah lumrah, ketika di sebuah pondok pesantren terdapat sebuah lembaga kebahasaan. Dilihat dari tujuan dan fungsinya, lembaga ini untuk memfasilitasi dan mewadahi para santri yang mempunyai minat dalam belajar bahasa asing, lebih-lebih bisa dijadikan media untuk para santri dalam mengembangkan bakat  yang telah dimiliki sebelumnya.

Bahasa Arab, mungkin satu-satunya bahasa asing/luar yang banyak dipelajari di sebuah lembaga kebahasaan pondok pesantren. Bisa dipastikan hampir seluruh pondok pesantren mempunyai lembaga ini. Karena dilihat dari eksistensi pondok pesantren itu sendiri, yang memang identik dengan kitab (berbahasa Arab).

Advertisements

Rahim adalah nama anggota Biro Pengembangan Bahasa Asing (BPBA/Arab) di salah satu pondok pesantren di Madura. Dalam kesehariannya, Rahim diwajibkan berbahasa Arab kepada siapa saja. Peraturan untuk berbahasa Arab memang diwajibkan kepada seluruh anggota, tak terkecuali Rahim. Berbicara kepada selain anggota lembaga pun, tetap diwajibkan untuk berbahasa Arab. Namun jika si lawan bicara tidak bisa merespons, maka dispensasi untuk berbicara menggunakan bahasa sehari-hari diperbolehkan.

Karena lembaga ini sedikit bebas dari kegiatan wajib pondok (mempunyai sistem kegiatan sendiri), dengan status minat, Rahim mendaftarkan diri untuk masuk lembaga ini, dan diterima. Tetapi dalam jiwa Rahim, tidak ada sama sekali rasa ingin tahu Bahasa Arab. Sehingga masuknya terkesan salah niat. Dampaknya, Rahim tetap wajib mengikuti seluruh kegiatan lembaga dan berbicara Bahasa Arab setiap hari.

Hari demi hari pun dilewatinya dengan percuma. Tanpa sepengetahuan pengurus lembaga, Rahim pun sering berbicara menggunakan bahasa lokal. Ketika diajak berbicara menggunakan Bahasa Arab oleh pengurus, jawaban Rahim antara iya (na’am) dan tidak (la). Andaipun ada jawaban yang lain, hanya jawaban terima kasih (syukron). Ketiga jawaban inilah yang dipakai Rahim dalam kesehariannya.

Selain itu, Rahim pintar menyembunyikan pelanggarannya. Hampir setiap minggu, Rahim selalu lolos dari hukuman (takziran) bagi anggota yang tidak berbicara Bahasa Arab. Tetapi apa boleh buat, sepandai-pandai tupai meloncat pasti jatuh juga. Begitulah kata pepatah. Sama halnya bagi Rahim, sepandai-pandai Rahim menyembunyikan pelanggarannya, pada akhirnya akan terbongkar juga.

Di mana suatu sore, ketika matahari akan mengakhiri petualangannya, terdapat seorang pengendara motor melintas di depan lembaganya. Kebetulan, saat itu Rahim sedang menyapu halaman kamarnya. Melihat dari jauh pengendara motor tersebut melajukan motornya dengan sangat terburu-buru tanpa memperhatikan keselamatan pejalan kaki, Rahim ingin sekali menegurnya dan kalau perlu memarahinya.

Sebelum si pengendara motor tepat di depan matanya, dengan segala kemampuan Rahim merangkai kata demi kata (mufrodat) dengan menggunakan Bahasa Arab, Rahim pun telah siap menegurnya. Akhirnya, ketika si pengendara motor tepat di depannya, Rahim dengan suara lantang dan rasa percaya dirinya berkata, “Qalbun Qalbun Ya Dzahab!”.

Melihat si pengendara motor mengabaikannya, Rahim terbawa emosi dan kembali meneriakinya lebih keras lagi dengan kalimat yang sama, namun dibumbui kata yang tidak seharusnya. “Qalbun Qalbun Ya Dzahab, Kalbun!”.

Sontak, mendengar teriakan keras yang kedua, seluruh anggota maupun pengurus lembaga menaruh pandangannya kepada Rahim. Namun, Rahim tetap saja belum merasakan kesalahan dari apa yang telah dilontarkannya. Meskipun sebenarnya, alasan yang melatarbelakanginya hanyalah sebatas teguran kepada pengendara motor. Tetapi dengan rasa percaya dirinya, sebenarnya Rahim ingin berkata, “Pelan-pelan/hati-hati Mas!”. Di samping menjadi sebuah kewajiban baginya, mau tidak mau, sebisa mungkin tetap harus berbicara Bahasa Arab.

Apalah daya, tindakan Rahim tetap saja dianggap sebuah pelanggaran oleh pengurus lembaga. Pertama, karena salah berbahasa Arab. Kedua, Rahim sempat mengeluarkan kata yang tidak pantas, meskipun sedikit santri yang tahu makna “kalbun”. Oleh sebab itu, sepandai-pandai tupai meloncat, pasti akan jatuh juga. Dan Rahim, layak mendapat hukuman (takziran) berupa menghafalkan kata (mufrodat) di kamus Al-Munawwir sebanyak 50, he-he-he.

Qalbun Qalbun Ya Dhahab, Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan