Santri dan Tradisi Berfilsafat

2,795 kali dibaca

Penulis masih ingat, bahkan sangat membekas dalam benak pikiran, ketika salah satu putra masyayikh Pondok Pesantren Annuqayah akan melanjutkan studi mengambil jurusan filsafat. Ada beberapa pengasuh yang kurang restu terhadap pilihan tersebut. Tentu pengasuh itu mempunyai alasan tersendiri. Meski, pada akhirnya putra pengasuh itu tetap melanjutkan studi dengan mengambil kelas filsafat. Itu terjadi puluhan tahun yang lalu, saat penulis masih aktif sebagai santri di Pesantren Annuqayah. Saat ini ilmu filsafat sudah familiar dan diterima oleh banyak kalangan, termasuk lingkungan pesantren.

Memang ada beberapa ulama yang pernah berpendapat bahwa mempelajari ilmu filsafat haram hukumnya, di antaranya adalah Imam Nawawi. Itulah yang membuat sebagian kalangan pesantren resisten terhadap filsafat.

Advertisements

Tentu, Imam Nawawi mendasarkan pendapatnya terhadap situasi yang terjadi di sekitarnya. Menurut Dr Bahrur Rozy, pengajar mata kuliah Pengantar Filsafat di sebuah perguruan tinggi swasta, filsafat itu bagaikan mata pisau yang sangat tajam. Jika dipegang oleh orang dewasa, sudah punya keahlian dalam memanfaatkan mata pisau, pisau tersebut memantik manfaat. Sebaliknya, jika dipegang oleh anak kecil, yang masih awam terhadap penggunaan mata pisau, maka akan berbahaya. Bukan karena mata pisaunya, tapi si pengguna pisau tersebut yang harus memiliki keterampilan khusus.

Begitu juga dengan filsafat, jika dipelajari oleh orang yang sudah teguh imannya, tangguh akidahnya, dan siap menjalankan ajaran syariat, maka filsafat akan bermanfaat dan pantas dipelajari oleh siapa saja, termasuk santri.

“Filsafat itu akan bermanfaat jika dipelajari, karena konsep ini merupakan pokok dari semua pengetahuan,” begitu penjelasan Bahrur Rozy yang merupakan alumnus Pesantren Annuqayah dan mendapat ijazah dari KH A Warits Ilyas (alm) untuk menterjemahkan ilmu mantiq yang menjadi salah satu mata pelajaran di tingkat MA (Madrasah Aliyah).

Definisi Filsafat

Plato mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada (dalam buku Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, oleh Dr Ali Maksum). Maksud dari kata paling akhir adalah bahwa filsafat dijadikan sarana terkahir dalam memetakan sebab-sebab dan asas-asas dari suatu ilmu pengetahuan atau sains.

Masih dalam buku yang sama, Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realita yang ada. Prinsip yang dicari adalah kebenaran, sedangkan penyebab yang dimaksud merupakan puncak dari realita kebijaksanaan (wisdom). Maka, prinsip dan penyebab kebenaran adalah dua aspek yang menjadi dasar dalam pengembangan filsafat.

Dan masih banyak lagi dari berbagai tokoh pengetahuan, terkait dengan definisi filsafat. Namun dari keseluruhan batasan makna filsafat, secara umum mendedikasikan tentang kebenaran, pencarian kebenaran, dan menautkan prinsip kebenaran dan kebijaksanaan. Konsep mencari kebenaran absolut di balik realitas yang penuh dengan kepura-puran (baca: kepalsuan), Al-akhdzu bil haqaiq, wal ya’su bil khalaiq (mengambil yang benar dan campakkan yang palsu).

Memahami kaidah dan hakikat filasafat akan membawa kita pada kesadaran untuk menggunakan logika dalam mencapai kebenaran. Sebab, akal manusia diciptakan Tuhan untuk dimanfaatkan sebagai sarana mencapai kesucian diri. Tidak digunakan sebagai sarana yang tidak ada kaitannya dengan kebenaran dan kebijaksanaan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Phytagoras (sekitar abad ke-6 SM), ketika ditanya, “Apakah Anda orang yang bijaksana?” Dengan rendah hati Phytagoras menjawab, “Saya hanya phylosophos, pecinta kebijaksanaan (love of wisdom).” Atau, menurut versi lain, “Saya hanya orang yang mencintai pengetahuan.”

Cakupan Filsafat  

Filsafat adalah proses berpikir secara radiks, sistematik, dan universal terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada. Filsafat mencakup segala aspek, menyeluruh, dan universal. Kajian filasafat tidak terbatas. Memenuhi segala unsur dan bagian-bagian besar maupun kecil (unsur renik) yang akan membawa kepada kebenaran sejati.

Karena cakupan filsafat begitu luas, maka dapat dikatakan bahwa filsafat adalah pangkal atau pokok dari segala ilmu pengetahuan. Artinya, bahwa dengan filsafat kebenaran hakiki yang didasarkan atas logika ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Berpikir falsafi artinya menggunakan akal pikiran untuk menemukan hakikat kebenaran. Dan ini adalah logis, sesuai dengan fakta ilmiah bahwa pada setiap materi harus dicarikan logika massanya agar didapat jenis massa maupun kandungan materi yang akan memberikan manfaat dalam kehidupan.

Filsafat meliputi alam semesta. Perwujudan alam hingga eksistensi Tuhan pun dijadikan cakupan bahasan dalam filsafat. Maka, hakikat kebenaran itu akan menjadi kajian mendasar dalam segala aspek kajiannya. Filsafat hadir dengan konsep bahwa kebenaran itu harus diilmiahkan, harus dilogikakan.

Dialektika Filsafat

Imam Nawawi dan Ibnu Sholah dengan tegas mengatakan bahwa mempelajari filasafat dan mantiq (ilmu logika) hukumnya haram. Sebagaimana penulis singgung di atas, bahwa keharaman ini dikaitkan dengan kondisi orang yang mempelajari filsafat.

Sedangkan, Imam Ghazali dalam hal hukum mempelajari filsafat lebih moderat. Beliau mengatakan bahwa belajar filsafat boleh selama mereka yang mempelajarinya sudah mempunyai bekal akidah yang kuat, serta memahami al-Quran dan Hadits dengan baik. Sebab, pendalaman agama (Islam) diperlukan agar kita tidak terjerumus ke jurang liberalisme.

Adz-Dzahabi ra berkata, “Hampir tidak ada orang-orang yang memperdalam ilmu Filsafat kecuali ijtihadnya akan mengantarkannya kepada pendapat yang menyelisihi kemurnian sunnah. Karenanya para ulama salaf mencela mempelajari ilmu orang-orang kuno, karena ilmu Filsafat lahir dari para Filosof yang berpemikiran Dahriyah (Atheis). Barangsiapa yang dengan kecerdasannya berkeinginan untuk mengkompromikan antara ilmu para Nabi dengan ilmu para Filosof, maka pasti ia akan menyelishi para Nabi dan juga menyelisihi para Filosof”. (Mizaanul I’tidaal 3/144).

Penggalan paragraf di atas dijadikan hujjah oleh sebagian orang untuk mengharamkan belajar filasafat. Padahal, dalam banyak referensi, belajar filsafat dapat memberikan arah dan petunjuk yang nyata kebenarannya. Menggunakan logika, sebagaimana yang dijadikan standar kajian filsafat, merupakan hal pokok yang harus diterapkan di segala bidang.

Tentu kita harus menaruh hormat terhadap orang yang mengatakan filsafat haram. Karena mereka punya kebebasan berpikir. Namun, harus dimaklumi bahwa segala sesuatu terkait hukum (Islam) terdapat konteks yang mesti dipahami dengan menggunakan logika. Sehingga diketahui benang merah kebenaran, tanpa harus mengatakan bahwa pendapat pribadi sebagai kebenaran abadi dan hakiki.

Azis Anwar Fachrudin, seorang peneliti dari Centre for Religious and Crosscultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, meluruskan unggahan tersebut. Penjelasannya disampaikan melalui Facebook pada 27 Juli 2020. Aziz menjelaskan bahwa mempelajari filsafat boleh-boleh saja, bahkan menjadi suatu kewajiban. Sebab, mempelajari filsafat berarti belajar mencari kebenaran hakiki. Sedangkan, hakikat kebenaran itu dapat diperolah dengan cara berfilsafat. Apa yang diungkapan dakam memoar di atas adalah sebuah proses untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya.

Hikmah Filsafat

Ciri-ciri orang yang berfilsafat adalah berpikir radiks. Secara harfiah, berpikir radiks berarti sampai ke akarnya. Artinya, mencoba mencari kebenaran itu sampai dipahami benar bahwa itu adalah hakikat kebenaran. Mencari logika ilmiahnya, dalil-dali dan dasar pendukungnya, sehingga diketahui secara nyata bahwa itu adalah kebenaran.

Ciri berpikir filsafat lainnya adalah kritis, yaitu tanggap terhadap persoalan yang berkembang dan yang diketahuinya atau bahkan mendatanginya. Kemudian, konseptual, rasional, dan reflektif, jugan menjadi ciri khas orang yang berpikir filsafat. (Nurani Soyomukti, 2011, Pengantar Filsafat Umum).

Koheren dan konsisten (runut) artinya proses pemikiran hingga melahirkan produk (kebenaran) yang logis sesuai dengan kaidah ilmiah. Komprehensif, sistimatis, dan metodis, juga merupakan karakter dari seorang filusuf. Sebuah pemikiran yang tidak parsial, tetapi menyeluruh mengenai berbagai aspek kehidupan.

Ahmad Hafidz dalam sebuah artikelnya, menjelaskan, bahwa ada beberapa hikmah dalam belajar filsafat. Pertama, seseorang dapat memaknai makna hakikat hidup manusia, baik dalam lingkup pribadi maupun sosial.

Kedua, dengan berfilsafat manusia selalu dilatih dan dididik untuk berpikir secara universal, multidimensional, komprehensif, dan mendalam. Sehingga akan menjadikan seseorang cerdas, kritis, sistematis, dan objektif dalam melihat dan memecahkan beragam problema kehidupan, sehingga mampu meraih kualitas, keunggulan ,dan kebahagiaan hidup.

Ketiga, menggapai kebijakan dan nilai. Nilai diperoleh dengan berpikir mendalam. Nilai itu penting untuk mengatur kehidupan. Keempat, menggapai kebenaran. Filsafat adalah jalan menggapai kebenaran karena proses berpikir mendalam itu pada dasarnya adalah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana suatu kenyataan bisa terjadi. Jika kita tak memahami kenyataan berdasarkan kenyataan, itu adalah suatu kesalahan, dan ini biasanya terjadi saat orang tidak berfilsafat, atau pada saat orang menilai sesuatu seenaknya saja.

Kelima, memahami diri sendiri dan masyarakatnya: menghilangkan egoisme, meningkatkan kesadaran kolektif. Keenam, filsafat untuk mengubah kehidupan. Artinya, dengan filsafat orang akan terdorong untuk mengubah segala sesuatu yang ternyata telah jauh menyimpang dari nilai-nilai kebenaran. Dalam hal ini, berarti bahwa filsafat juga tak dapat dipisahkan dari kerja mengubah kehidupan.

Kalau penulis perhatikan dari hikmah mempelajari filsafat dapat dijelaskan bahwa secara keseluruhan benar-benar sesuai dengan karakter seorang santri. Di mana, santri selalu mencari kebenaran dengan logika ilmiah. Santri juga dibiasakan mandiri serta melakukan segala aktivitas sesuai dengan kaidah syari. Itu artinya, sejak awal di pesantren telah diajarkan nilai-nilai falsafah agar menjadi kebiasaan dalam berpikir kritis dan logis.

Bukan sekadar melakukan aktivitas keseharian tanpa menggunakan logika. Tetapi dibiasakan untuk sistematis sesuai dengan prinsip ilmiah. Maka dengan demikian, santri sejak awal tidak lepas dengan kaidah-kaidah filsafat. Disadari atau tidak, filsafat telah berkelindan di seputar lingkungan pesantren. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan