Santri dan Kebangsaan

1,188 kali dibaca

Indonesia merupakah salah satu negara sangat subur dan sangat hetrogen dari sisi suku, budaya, dan agamanya. Dengan segala keanekaragaman itu, tugas kita sebagai generasi muda adalah bagaimana mampu menjaga kebhinekaan ini dengan arif dan bijaksana sehingga menumbuhkan spirit cinta Tanah Air.

Menurut saya, Indonesia adalah tempat lahir kita, tempat mencari makan, tempat mencari sumber ekonomi, tempat mengadu nasib, dan tempat bersujud kita kepada sang Khaliq. Tidak butuh dalil kitab suci pun, semua yang merasa dilahirkan di bumi Indonesia akan menyatakan cinta Tanah Air. Pasti!

Advertisements

Cinta Tanah Air, menurut hemat, saya adalah sifat naluriah yang menjadi keniscayaan setiap warga bangsa Indonesia tanpa melihat suku, agama, dan perbedaan lainya. Selama dilahirkan dan tumbuh-kembang di negara Indonesia, maka secara otomatis dalam diri jiwanya melekat tanggung jawab untuk mencintai tanah lahirnya. Tidak perlu didiskusikan maupun diperdebatkan, karena mencintai tanah lahirnya adalah sifat alami manusia ketika dilahirkan di muka bumi.

Dengan kondisi demikian, kita perlu melihat lagi bagaimana santri mencintai Negara Indonesia dengan cinta tanpa syarat.

Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, penjajahan ekonomi, budaya, social, dan politik menjadi catatan sejarah kita sebagai bangsa besar. Kita sangat hafal betul bagaimana Belanda datang ke Indonesia atas nama perdagangan pada  1596, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Puncaknya terjadilah penjajahan, penjarahan, serta eksploitasi di berbagai sektor.

Tak hanya itu, selang beberapa abad setelahnya, tepat pada 11 Januari 1942, Jepang datang dengan membawa misi tertentu. Belum lagi keberadaan PKI yang banyak melukai hati santri dan pesantren dengan segala perbuatan yang dilakukan. Sederet kejadian masa lalu membuat jiwa santri terpanggil untuk tetap berada di garis depan mempertahankan Indonesia dari segala serangan luar yang mengancam keutuhan NKRI sebagai negara berdaulat.

Berkaitan dengan istilah santri, Mustaqim dalam Jurnal Politik Kebangsaan Kaum Santri; Studi atas Kiprah Politik NU, mengurai, santri tidak hanya dipahami sebagai orang mencari ilmu di pesantren, tetapi santri mempunyai makna kontekstual yang sangat dinamis dengan situasi zaman.

Salah satunya adalah umat Islam yang memiliki pemahaman yang kuat. Tak hanya itu, karakter santri memiliki ketaatan yang sangat kuat terhadap seorang kiai. Ketaatan ini sebagai wujud sikap beragama di mana kiai akan dipandang sebagai orang yang memiliki banyak ilmu agama dan pemahaman kitab suci secara baik. Bahkan, tidak jarang, perintah kiai akan menjadi “kalam suci” untuk dilaksanakan tanpa tawar-menawar maupun negosiasi. Lebih-lebih perintah kiai tentang jihad untuk membela bangsa dan negaranya seperti apa yang dicerminkan Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ariy kepada santri Nusantara yang dalam sejarah Indoneisa terkenal jargon Hubbul Waton Minal Iman sebagai cambuk semangat lahir batin.

Tak sampai di situ saja, eksistensi santri dalam pertautan politik kebangsaan sangat besar jasanya. Di antaranya adalah bagaimana seorang santri membicarakan dengan serius status negara Indonesia yang saat itu menjadi perdebatan. Hingga akhirnya pada muktamar XI 1938 di Banjarmasin, santri dengan wadah organisasi NU memutuskan bahwa negara dan tanah air wajib dijaga. Saat muktamar juga diputuskan bahwa sesungguhnya negara Indonesia merupakan negara Islam, Darr Al Islam.

Sungguh pun demikian, peran santri tak hanya selesai begitu saja. Munculnya resolusi jihad di Tanah Air menjadi bukti nyata bagaimana santri dengan segala atribut sarungnya berkomitmen untuk merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan dengan darah dan nyawa akan dipertaruhkan sedemikian rupa.

Secara umum, tegas Mustaqim, isi resolusi jihad mengisyaratkan dua kategori dalam berjihad. Pertama, fardhu ‘ain, bagi setiap orang yang berada dalam radius 94 km dari epicentrum pendudukan penjajah. Kedua, fardhu kifayah bagi warga yang berada di luar radius tersebut. Namun, dalam kondisi tertentu dan darurat, maka bisa dinaikkan statusnya menjadi fardhu ‘ain.

Seperti yang jamak diketahui bahwa resolusi jihad adalah respons nyata terhadap gerakan massif tentara Inggris di Surabaya yang puncak pertempurannya terjadi pada 10 November 1945. Pada saat itulah, santri di berbagai daerah di Jawa Timur bahu membahu dengan bacaan dan azimat yang diberikan kiai khos bergerak melawan militer Inggris hingga pada akhirnya tentara Inggris harus angkat kaki dari Indonesia.

Di samping pengusiran penjajah dan resolusi jihad, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal pada Muktamar NU di Situbondo menjadi bukti bahwa NU, pesantren, dan santri tidak akan mempermasalahkan Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia.

Perjalanan yang demikian panjang santri dan pesantren adalah bukti nyata nasionalisme santri tidak perlu dipertanyakan lagi. Santri dan nasioalisme ibarat suami istri yang tidak akan bisa dipisahkan sampai kapan pun.

Kendati demikian, tantangan santri hari ini adalah bagaimana santri mengisi berbagai bidang kehidupan bahkan harus menjadi ikon utama. Bagaimana santri iku andil dalam merawat kebhinekaan dengan cara menghargai perbedaan tanpa harus memandang sebelah mata. Pun, dengan menyebarkan paham ajaran agama yang tetap menyejukkan semua kalangan. Inilah tantangan santri era saat ini.

Sebagai penutup akhir tulisan, saya sepakat dengan pernyataan Iffan Ahmad Gusfron dalam jurnal Santri Dan Nasionalisme, bahwa peran dan kontribusi pesantren dalam membangun dan mempertahankan tanah airnya, negaranya, tidak dapat lagi dipertanyakan. Kehadirannya dalam setiap peristiwa perjalanan bangsa Indonesia, baik dari masa pra-kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan pasca-kemerdekaan menjadi bukti otentik dari keterlibatannya dalam membangun negeri. Keberadaan dan keterlibatan dalam setiap bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, militer,  dan sebagainya menjadikannya nasionalis sejati yang cinta pada tanah airnya. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan