Santri dan Dakwah Digital

1,615 kali dibaca

Era digital telah menjadikan manusia semakin terbuka dan mudah dalam bertukar wawasan. Dalam sepersekian detik saja, sebuah informasi dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia, dengan hanya bermodalkan gadget yang dilengkapi paket data yang tentunya dengan biaya yang amat murah.

Beberapa survei menyatakan bahwa Indonesia masuk dalam 5 besar dari negara pengguna gadget terbanyak, yakni lebih dari 100 juta pengguna. Namun demikian ini, bukan berarti tidak ada masalah. Justru dengan mudahnya akses, membuat siapa saja dapat menyebarkan berita hoaks maupun provokasi yang tentu berimbas terhadap pecah belahnya persatuan masyarakat.

Advertisements

Lebih-lebih dalam hal beragama, yang notabene bersifat privasi dan sangat sensitif. Banyak orang yang tetiba sok-sokan menjadi ustaz, nukil ayat nukil hadis dalam setiap postingan di akun medsosnya, ceramah sana-sini tanpa dasar keterangan yang kuat, saling debat dan caci jika beda pendapat, dan parahnya lagi, agama dijadikan bahan untuk menyalahkan-mengkafirkan orang bilamana tak satu paham.

Di titik ini, perlu dipertanyakan ulang, sebenarnya siapakah yang disembah oleh orang yang model beragamanya seperti itu? Menyembah Tuhan, atau malah egonya sendiri?

Jelas, tentu Tuhan mengajarkan kasih dan sayang. Mewajibkan setiap hambanya untuk selalu berbuat baik, berprasangka baik, maupun mendidiknya untuk benar-benar mengamalkan segala kebaikan. Bukan malah membenci orang lain hanya gegara beda agama atau pemahaman mengenai agama.

Fenomena tersebut, biasanya datang dari orang-orang yang memiliki semangat beragama tinggi, namun tidak dibarengi dengan pengkajian secara mendalam. Jika keadaan seperti itu dibiarkan, maka akan memperparah keadaan. Terlebih, Islam menjadi agama yang mayoritas di Indonesia sehingga peluang untuk perpecahannya pun sangat lebar. Oleh sebab itu, sangat dibutuhkan pihak-pihak yang konsen dan terjun langsung dalam literasi agama di dunia maya sehingga pemahaman-pemahaman agama yang dangkal dan sembarangan dapat dihindarkan.

Jika hanya dengan baca buku, lihat di Google, merupakan cara yang kurang atau bahkan tidak tepat dalam mempelajari agama. Agama diturunkan dan disebarkan secara bersanad. Sanad di sini, maksudnya ialah mempelajari agama secara runtun dengan guru. Dan guru tersebut juga mempelajari dengan guru gurunya, dan begitu seterusnya hingga sampai ke tabi’in, sahabat, dan berakhir di Rasulullah SAW.

Seperti perkataan Imam Ibnul Mubarak, “Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah jika bukan karena sanad, maka pasti siapa saja dapat berkata tentang apa yang diinginkannya (red. tentang agama).” Sanad menjadikan seseorang memiliki keterikatan pemahaman, sehingga tidak sembarangan dalam memahami dan menafsirkan teks-teks agama.

Santri dan Literasi Digital

Memang dalam era terdahulu, santri dicap sebagai kumpulan orang-orang yang mengkaji agama Islam secara mendalam, dengan metode tradisional, jauh dari hiruk-pikuk keramaian, serta kurang akrab dengan kemodernan. Hal seperti ini yang membuat masyarakat men-stigmanya dengan kata kolot, jauh dari peradaban, tidak punya skill, dll.

Tetapi, era sekarang telah berubah. Pondok pesantren tidak hanya mengadopsi kurikulum lawasnya, namun juga berkolaborasi dengan kurikulum pemerintah. Dalam artian, juga menyelenggarakan sekolah formal. Alhasil, yang dikembangkan tidak melulu ilmu agama, namun turut ilmu-ilmu pengetahuan umum.

Secara pelan perlahan, pandangan masyarakat pun terhadap pesantren semakin positif. Hal itu dibuktikan dengan semakin banyaknya jumlah pondok yang berdiri setiap tahunnya. Dalam survei yang dilakukan oleh Kementerian Agama, jumlah pondok pesantren pada tahun 2021 mencapai sebanyak 31.385, yang meliputi 4,29 juta jumlah santri.

Pesantren telah menjadi tempat pendidikan yang paling nyaman. Jelas tentu, pendidikan agama yang dilakukannya pun memiliki sanad yang jelas. Bukan memiliki term pemahaman yang ekstrem, melainkan mewarisi pemahaman agama yang moderat yang tersambung sampai Rasulullah SAW. Titik tekan yang menggunakan kitab kuning sebagai bahan rujukan, menandakan bahwa apa yang telah ulama-ulama salaf maupun khalaf gali, tetap hidup dalam benak-benak santri. Pemaknaan agama yang mereka dapat sirkuler, saling terikat, dan tidak terputus.

Oleh karena itu, ketika santri membicarakan dan mendakwahkan agama adalah suatu hal yang pantas. Mereka telah secara lama mendalaminya. Sehingga, kesalahan-kesalahan pemahaman ketika memberi ceramah agama kepada masyarakat bisa dihindari. Bukan berarti untuk membatasi penyiaran agama hanya dalam kalangan tertentu, namun lebih tepatnya agar agama dipegang dan difatwakan oleh orang yang benar-benar bertanggung jawab dan memiliki kapabilitas keilmuan sehingga tidak disalahgunakan.

Walau telat, namun saat ini para santri mulai mendominasi dalam konten-konten digital. Telat dikarenakan, pembuatan video, podcast, atau artikel-artikel keislaman oleh kaum santri mulai digeluti secara jamak pada dalam tahun-tahun akhir ini. Sedangkan sebelum tahun tersebut, golongan umat Islam yang menggunakan term pemahaman agama yang tekstual dan radikal (yang sering disebut Wahhabi) sudah mendahuluinya dan memiliki banyak followers.

Salah satu video ceramah kaum santri yang saat ini memiliki banyak viewers ialah ceramahnya Gus Baha. Bahkan karena saking dalam dan luasnya pemahaman beliau tentang agama, menjadikannya digandrungi oleh banyak orang, termasuk para pejabat dan kalangan artis. Ini adalah salah satu bukti bahwa kaum santri memang orang yang pantas dalam membicarakan agama.

Selain itu, dakwah santri juga mewarnai artikel-artikel berbasis digital. Dengan menjamurnya website keislaman yang tentunya dipegang oleh kaum santri, secara massif sangat mendukung terhadap adanya pemahaman Islam yang rahmat. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai survei tentang website keislaman yang paling diminati oleh netizen, bahwa rangking-rangking atas di tempati oleh website-nya kaum santri.

Jika kaum santri bisa terus istikamah dalam meramaikan dunia maya, maka penulis yakin bahwa apa yang dilakukan tersebut dapat mengurangi perpecahan masyarakat. Sebabnya, pertikaian dan konflik yang sering mengguncang masyarakat seringkali berawal dari konflik agama. Pun demikian dengan radikalisme-terorisme. Dua hal ini massif tersebar di masyarakat melalui jejaring dunia maya. Oleh karena itu, dengan hadirnya santri dalam literasi digital, sangat membantu masyarakat untuk memahami agama secara benar sehingga tidak terjatuh dalam pemahaman yang salah yang akan berujung pada konflik dan kekerasan bermotif agama.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan