Sanggar Terakhir

1,650 kali dibaca

Di sanggar teater pinggiran kota yang telah lama terbengkalai suasana tampak sepi. Tak ada lagi riuh penonton menyoraki.

Dulu, di sanggar ini sering diadakan acara dadakan. Biasanya malam minggu. Ada pentas ketoprak, musikalisasi dan pembacaan puisi, atau apa saja untuk sekadar berekspresi bagi yang ingin menunjukkan bakat seninya.

Advertisements

Di sekelilingnya ada warung-warung kopi. Dulu, sanggar ini sangat ramai dikunjungi orang. Oleh anak-anak, remaja, atau orang tua, yang ingin sekadar menikmati malam.

Kini, sanggar itu sepi. Tak lagi ramai. Warung kopi masih ada, namun pengunjungnya tak lebih dari anak kecil dan anak muda yang nebeng wifi, mabar gem onlen, klub sepeda motor amatiran, atau muda-mudi yang ingin mencari gelap-gelapan.

Berkatalah pemilik sanggar kepada anaknya, “Dulu di sini bapak berpentas dengan kawan-kawan bapak. Menyuarakan apa saja yang bapak rasakan. Suara bapak seperti tak bisa berhenti bergema. Tetap membara, walau coba dibungkam. Karenanya, Bapak dan kawan-kawan sanggar dianggap berbahaya, dengan puisi yang terkesan melawan pemerintahan dulu.”

Anaknya yang masih muda, terhenyak. “Apakah Bapak dulu pernah dipenjara gara-gara berpuisi atau berpentas di sanggar ini?”

Bapaknya tersenyum, “Pernah! Sekali, dua kali, atau tiga kali. Bapak lupa. Tapi, bapak dan kawan-kawan tidak berhenti. Idealis Bapak pada waktu itu, melawan tirani dengan puisi, lagu, drama, apa pun. Pokoknya bersuara.”

Tiba-tiba Bapak berdiri dari duduknya, keluar sanggar dan berpuisi lantang, sehingga pengunjung sekitar sanggar terkejut.

“Kebenaran akan terus hidup sekalipun kau lenyapkan,

kebenaran takkan mati,

aku akan tetap ada dan berlipat ganda

siapkan barisan dan siap tuk melawan

akan terus memburumu seperti kutukan

aku memang bukan artis pembuat berita,

tapi aku memang selalu  kabar buruk buat penguasa

puisiku bukan puisi

tapi kata-kata gelap yang berkeringat

dan berdesakan mencari jalan

ia tak mati-mati meski bola mataku diganti”

Bapak berhenti. “Kenalkah kamu dengan puisi yang barusan bapak bacakan?”

Anaknya yang mengikuti dari belakang masih kaget dengan flash mob ala bapaknya. Pengunjung pun memberikan applause kepada bapaknya.

“Widji Tukul! Jelas tahu! karena saya anak jurusan sastra. Istirahatlah kata-kata, filmya pun sudah aku tonton.”

Bapaknya tersenyum bangga. Rupanya darah seni mengalir kepada anaknya.

“Iya, tragedi Widji Tukul, aktivis HAM Munir, Marsinah karyawan pabrik, kisah wartawan Udin, menjadi bumbu kami yang menginspirasi waktu itu,” si Bapak mendesah, ingatannya lepas ke masa lalu.

“Nak, kamu tahu aku dan ibumu bercerai tiga bulan setelah kamu lahir. Sepertinya kamu sudah dewasa untuk bapak ceritakan yang sebenarnya,” tiba-tiba si bapak mengatakan hal yang pamali dan tidak ingin tergali lagi.

“Pak, tidak perlu cerita kalau sekiranya hanya menambah kepedihan bapak. Saya berkunjung tidak lama, setelah itu saya balik ke Jakarta, ke rumah ibu…”

“Tidak, Nak, kamu harus tahu dan bapak punya kewajiban untuk menjelaskan. Kamu tahu kan pekerjaan bapak? Pekerja seni, iya hanya sekadar pekerja seni. Seni puisi, seni tulis, seni peran, seni gerak, apa saja. Bapak hanya bekerja di sanggar, mengajari anak-anak kecil atau yang berminat kepada seni.”

“Apakah ibu dulu mempermasalahkan itu, Pak?”

“Tidak. Ibu tidak mempermasalahkannya. Tapi, bapak-lah yang justru bermasalah.”

“Kenapa, Pak?”

“Pekerja seni itu untung-untungan. Bisa dapat bayaran, bisa tidak. Bapak merasa merusak keberuntungan ibumu. Masa depan tidak bisa bapak janjikan. Bapak juga merasa bukan bapak yang baik bagi bayi, yaitu kamu!”

“Bapak egois! Mengorbankan keluarga demi eksistensi pribadi!” anaknya menatap tajam bapaknya.

“Bapak akui. Dan kamu berhak untuk marah. Terlebih ibumu, dia wajib marah padaku. Karena pada waktu itu, menurut bapak, cinta adalah nomor dua. Nomor satunya adalah kemakmuran. Demi masa depan ibu dan kamu, bapak merelakan ibu menikah lagi dengan seseorang yang lebih mapan.”

Anaknya menangis, “Semestinya kita bisa hidup bersama, Pak… tidak terpisah begini. Meski bapak tiriku juga menyayangiku. Tapi, ini hal berbeda.”

“Maafkan bapak, Nak! Andai waktu bisa diputar, tapi lihatlah dirimu. Mampu kuliah, jurusan sastra, apalagi yang membuat bapak tidak bangga. Jika ibu dan kamu tetap bersamaku, mungkin kamu tidak akan kuliah, mungkin menjadi salah satu pedagang kopi di pojokan itu.”

Anaknya sesenggukan menutup matanya yang basah, “Aku paham, Pak! Situasi masa lalu berbeda dengan kini.”

Bapaknya mendesah kesekian kali. Ia coba menenangkan anaknya dengan mengganti topik pembicaraan. Ia ingin anaknya melupakan perihal kesedihannya. Ia juga menyesal kenapa menceritakan masa kelam bersama istrinya (dulu).

“Kamu mahasiswa. Pernahkah kamu ikut demo seperti di tivi-tivi itu, Nak. Rasanya bukan mahasiswa kalau tidak berdemo,” si bapak mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Iya, pernah, Pak. Beberapa kali. Ada dua stigma yang mengalir. Ketika terjadi problematika birokrasi, jika tidak ada demo, akan muncul pertanyaan, ‘di manakaha mahasiswa?’ Namun, ketika kami sedang berdemo, dating cibiran, ‘mahasiswa kok demo, urus saja kuliahmu dengan benar. Ingat, orang tuamu yang mati-matian membayar.’”

Anaknya tampak gusar, iktikaf sebentar sebelum meneruskan.

“Mahasiswa adalah generasi penerus bangsa. Sama dengan bapak dulu mungkin. Sosialis, nasionalis, dengan lagu ‘Bagimu Negeri’ kami maju, dengan lagu ‘Bangulah Pemuda-Pemudi’ kami bergerak, tentu saja sumpah mahasiswa dan marsnya menjadi wajib!”

Bapak tersenyum, “Mahasiswa adalah pemuda. Iya pemuda artinya orang yang masih berjiwa dan berdarah muda.Tapi, ada juga mahasiswa yang tidak senasionalis dan sesosialis kamu.”

“Maksud, Bapak?”

“Iya tidak hanya mahasiswa, tapi tentang pemuda tadi. Orang yang masih muda. Bapak melihatnya miris. Joget di media sosial, mabuk, narkoba, melakukan maksiat di kosan atau kontrakan, sibuk bikin update status, konten-konten gokil. Sosialis berganti komersilis, idealis-nasionalis tersisih matrealis. Meski tidak sepenuhnya salah.”

“Benar, Pak! Banyak dari kami yang seperti itu. Baik mahasiswa atau bukan, tapi pemuda sekarang banyak yang sudah hilang rasa.”

Bapaknya yang puitis kembali melakukan flash mob tak terduga, berpuisi dengan lantang di pelataran sanggar tepat di tengah warung-warung kopi yang mengelilinginya,

“Mata air kami, adalah air mata

Air mata..tanah air kami

Tanah kami, adalah air mata,

yang menjadi tanah air kami

Perpustakaan sepi, mall ramai

Sanggar seni sunyi, pemuda cangkruk di warung kopi

Topik bicaranya, adalah kekinian yang viral

Bukan lagi tema kebangsaan atau feodal

Main gadget, sambat dan pamer di status

Menjadi bumbu penyedap zaman yang tergerus”

Sekali lagi, pengunjung warung kopi di sekitar sanggar tempat anak dengan bapak bercengkrama  kaget, terbengong dengan ulah bapak, kemudian memberikan applause lagi, setelah itu kembali pada posisi awal tadi.

Malam ini memang unik. Pertemuan anak dengan bapak “asli” menjadi kisah yang pantas untuk diceritakan, setidaknya oleh induk burung yang kembali kepada anak di sangkarnya nanti.

Anaknya semakin tertarik dengan keunikan bapaknya, “Pemuda, dia mencari ilmu, di sekolah, kampus, terkadang hanya formalitas, alasan untuk cari kerja menjadi utama. Ilmu tidak dianggap sakral, tidak dianggap sebagai bahan yang dikaji atau diuji.”

Bapaknya senang, anaknya nyambung dengan tafsir di benaknya, “Pemuda remang-remang…”

“Maksudnya, Pak?”

“Sisi lain ingin menonjolkan diri, ingin menyuarakan, demonstrasi tadi misalnya. Merasa sebal dan marah terhadap keadaan pertiwi, menyalahkan masa depan yang takut nanti menjadi muram. Tapi apa? Ia sendiri menikmati kebodohannya dengan santai, remang-remang bukan?”

Anaknya tersenyum, mengiyakan. Ia kagum dengan pemikiran bapaknya. Absurd namun masih ia pahami.

Bapak melanjutkan, “Kampus telah banyak melahirkan sarjana hukum, tapi hukum di negeri ini banyak yang dikhianati. Ada ribuan mahasiswa dengan ilmu ekonomi, tapi menjadi nganggur sementara korupsi makin marak di negeri ini. Mahasiswa dan pemuda menjadi alat, alat industri dan birokrasi. Universitas pencetak guru, guru pencetak pejabat juga penjahat. Dualisme!”

“Adakah yang bisa kami lakukan sebagai pemuda dan mahasiswa, Pak?” tanya anaknya kemudian.

“Ingat Sumpah Pemuda?”

“Ingat, Pak!”

“Hakikatnya, yang bapak maksud.”

“Tentang tiga poin, itukah maksudnya, Pak?”

“Iya. Kembalilah ke Sumpah Pemuda. Itu bukan sumpah yang sampah!”

“Sumpah sampah? Semakin tidak mengerti anakmu, ke mana arah Bapak bicara.”

“Bertanah air, berbangsa, dan berbahasa semua untuk persatuan Indonesia.”

“Detailkan lagi, Pak. Anakmu belum jelas mengerti.”

“Tanah menjadi pijakan, air untuk menyirami kehidupan, maka hargailah. Berbangsa, bahwa kita adalah terdiri dari banyak bangsa, jadi akui eksistensinya jangan beranarki dengan alasan beda.”

“Mulai paham, anakmu. Lalu, tentang bahasa, Pak?”

“Lebih vital lagi. Bahasa adalah kepribadian. Menunjukkan karakteristik. Bahasa lisan bahasa tulisan, apa pun. Gunakan bahasa yang menyatukan, bukan bahasa sampah!”

“Bahasa yang menyatukan? Ehmm… menarik untuk ditelisik.”

“Bahasa yang tersusun, yang bermakna dengan bentuk kesantunan. Jarang aku melihatnya pada diri pemuda sekarang.”

“Peralihan zaman dan pergantian kebiasaan, jelas kami terpengaruh karenanya!”

“Pembenaran!!Sekadar dalih, memburamkan kebenaran! Pemuda, meski tidak semuanya, menjadi pemuda viral bukan pemuda andal, pemuda abal-abal bukan pemuda fenomenal, apalagi… pemuda gagal bukannya pemuda berakal dengan spirit terkepal..,” si bapak menyudahi ceramahnya.

Anaknya yang sedari tadi membawa gitar, dengan pelan membawakan lagu akustiknya, bernyanyi di pinggir jalan sambil ditatap bapaknya.

Kepada para mahasiswa

Yang merindukan kejayaan

Kepada rakyat yang kebingungan

Di persimpangan jalan

Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
Di lembar sejarah manusia
Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta

Semua pengunjung terkesiap untuk kesekian kali. Tampak beberapa anak muda berdiri spontanitas. Mengangkat tangan kiri dengan tergenggam, ikut menyanyikan. Suasana merinding. Heroik.

Setelah anak mengakhiri petikannya, berkatalah ia kepada bapaknya.

“Lihatlah, Pak. Beberapa pemuda di sana masih memunyai semangat itu. Beberapa masih mengenal lirik lagu itu.”

“Iya, bapak tahu. Beberapa saja, pemuda baru semoga tetap dengan semangat yang sama.”

“Dan pesimis bapak adalah sebuah skeptik masa lalu.”

Bapaknya tercengang, “Maksudmu, Nak?”

“Sering yang jauh, seperti kebenaran yang Bapak perjuangkan, terasa dekat. Namun, upil di hidung sendiri, kadang tidak tampak sama sekali.”

“Introspeksi, itukah maksudmu?”

“Keinginan bapak memertahankan idealisme suara kebenaran pertiwi, berbanding terbalik dengan upil bapak.”

“Apakah itu, Nak?”

“Mempertahankan keutuhan keluarga.”

“Iya… Semakin menyakitkan anakku. Sanggar ini telah dibeli, akan dijadikan mini market. Kebutuhan untuk menyambung hidup, dua kali aku dikalahkannya!”

Bapak dan anak sama-sama terdiam. Lama terdiam. Masing-masing menerawang, pada asanya masing-masing.

Dari kejauhan, tiba-tiba terdengar kegaduhan. Tampak mobil pick-up dengan Satpol PP mengobrak-abrik warung-warung kopi sekitar trotoar jalan. Para pedagang kalang kabut. Pengamen, pengemis, berlari menghindar takut ditangkap Satpol PP yang sedang merazia.

“Ayo bubar! Mengganggu stabilitas negeri saja! Bubar! Angkut dagangannya! Angkut juga orangnya,” teriak komandan Satpol PP kepada anak buahnya.

“Maukah kamu lari denganku, Nak?” si bapak meminta kepada anaknya.

“Tapi, kita tidak salah pak. Kita bukan pengamen atau pemilik warung kopi.”

“Lari tidak menunggu salah. Lari saja,” si bapak segera menarik lengan anaknya dan mengajaknya berlari menghindari kejaran Satpol PP. Ketika berlari, sang anak bertanya lagi, “Apa yang bapak cari dari berlari ini?”

“Sensasi!”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan