Salah Kaprah Seruan Pemilu Damai

239 kali dibaca

Judul tulisan ini seakan menegasi seruan atau ajakan agar pemilihan umum (pemilu) berlangsung damai. Tidak. Bukan. Judul tulisan ini hanya hendak menegaskan bahwa seruan pemilu damai itu salah kaprah. Dan dengan itu kesalahan tersebut akan kita anggap benar.

Memang, setiap pemilu berpotensi untuk melahirkan gesekan, ketegangan, bahkan konflik sosial atau chaos. Dan terutama pada Pemilu 2024 ini, banyak yang mendeteksi potensi chaos itu begitu nyata. Karena itu, banyak kalangan, terutama dari kalangan kampus yang selama ini jarang bersuara, mengkritisi proses penyelenggaraan pemilu yang dianggap bermasalah dan berpotensi melahirkan chaos.

Advertisements

Kekhawatiran akan terjadinya chaos itu kemudian memunculkan seruan agar pemilu berjalan damai. Bahkan, sesungguhnya, seruan  seperti ini sudah muncul jauh-jauh hari di tahapan awal penyelenggaraan pemilu. Seruan pemilu damai itu tidak hanya datang dari lembaga-lembaga negara, tapi juga dari kelompok-kelompok masyarakat. Semua menginginkan pemilu berlangsung damai, dan sebaliknya.

Tapi yang kita alpa, istilah “pemilu damai” itu tidak diatur atau tidak dikenal dalam konstitusi kita. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditegaskan bahwa pemilu diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Ketentuan itu juga diadopsi dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan bunyi yang sama persis.

Dengan demikian, berdasarkan konstitusi, penyelenggaraan pemilu harus didasarkan pada enam asas tersebut. Pertama, langsung, berarti rakyat memiliki hak untuk memilih secara langsung sesuai hati nurani tanpa adanya paksaan, tekanan, atau pengaruh dari pihak manapun. Kedua, umum, berarti setiap warga negara yang sudah memiliki hak ikut memilih tanpa adanya diskriminasi. Ketiga, bebas, artinya rakyat bebas memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Keempat, rahasia, berarti rakyat sebagai pemilih akan dijamin kerahasiannya. Kelima, jujur, artinya setiap pihak yang terkait mulai penyelenggara hingga pemilih harus bersikap jujur sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku. Dan, keenam, adil, bahwa setiap pemilih dan peserta pemilu harus mendapatkan perlakuan yang sama dan bebas dari kecurangan.

Dari enam asas pemilu tersebut kemudian muncul istilah “luber” dan “jurdil” yang menyertai setiap penyelenggaraan pemilu. “Luber” merupakan singkatan dari langsung, umum, bebas, dan rahasia dan “jurdil” singkatan dari jujur dan adil. Bahkan, istilah luber (minus jurdil) sebenarnya juga sudah dikenal pada masa Orde Baru. Artinya, penyelenggaraan pemilu di zaman Orde Baru sudah menggunakan asas luber. Namun, asas jurdil baru ditambahkan di era Reformasi. Dengan begitu, apakah penyelenggaraan pemilu di masa Orde Baru tidak berlangsung jurdil? Dunia tahu jawabannya.

Jadi, jika didasarkan pada konstitusi, tidak ada “asas damai” dalam penyelenggaraan pemilu. Tak ada keharusan pemilu “harus berlangsung damai”. Yang ada, pemilu harus berlangsung luber dan jurdil. Sebab, damai atau tidak-damai itu bukan asas, melainkan hanya dampak. Ketika pemilu berlangsung tidak sesuai asasnya, yaitu luber dan jurdil, otomatis berpotensi melahirkan kekacauan atau chaos alias tidak-damai. Atau sebaliknya, jika pemilu berlangsung sesuai asasnya, yaitu luber dan jurdil, bisa dipastikan akan berjalan damai dan menghasilkan pemilu yang berkualitas.

Karena itu, kampanye atau seruannya jangan dibalik-balik. Seruan yang terbalik itu salah kaprah dan bisa menyesatkan. Pertama, ia bisa membungkam suara-suara kritis. Misalnya, karena seruan pemilu damai begitu masif, orang akan berpikir dua kali untuk bersuara keras atau kritis ketika menemukan indikasi adanya ketidakjujuran atau ketidakadilan atau hal-hal yang menyimpang dari asas luber dan jurdil. Suara keras dan kritis ketika menemukan indikasi kecurangan bisa dianggap sebagai memanas-manasi situasi atau memancing konflik. Ia bisa distigma sebagai orang yang tidak pro terhadap pemilu damai.

Kedua, seruan itu bisa disalahgunakan untuk membungkus atau menyembunyikan kecurangan. Misalnya, boleh tidak luber dan jurdil asal pemilu berlangsung damai. Yang penting tidak menimbulkan chaos atau konflik sosial karena pemilu harus berlangsung damai. Sebab, jika pemilu tidak berlangsung damai, yang akan dirugikan adalah rakyat. Ini argumen yang menyesatkan. Maka, pihak-pihak yang melakukan kecurangan pun bisa bersembunyi di balik riuhnya seruan pemilu damai.

Karena itu, jika kita menginginkan pemilu damai, yang benar dan harus didahulukan adalah seruan agar pemilu berlangsung luber dan jurdil, sesuai dengan prinsip-prinsip dan moral demokrasi. Damai atau tidak-damai itu hanya dampak atau akibat dari pemilu yang berlangsung di luar asas yang seharusnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan