Salah Kaprah Amar Makruf Nahi Mungkar

737 kali dibaca

Amar makruf nahi mungkar adalah termasuk salah satu komponen dari sederet ajaran Islam yang harus ditunaikan. Tidak mengherankan, apabila Al-Quran menempatkannya pada posisi cukup strategis. Bahkan, merupakan karakter utama yang harus dimiliki oleh seorang muslim.

Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran Surat Ali ‘Imran: 104, yaitu:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الخَيرِ وَيَأْمُرُونَ بِالمَعْرُوفِ وَيَنهَوْنَ عَنِ المُنكَرِ وَأُولاَئِكَ هُمُ المُفْلِحُونَ.

Advertisements

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung”.

Dengan demikian, tak ayal jika para ulama menjadikan amar makruf nahi mungkar sebagai sesuatu yang niscaya (wajib) dilakukan oleh kaum muslim.

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, menyatakan, amar makruf nahi mungkar adalah tonggak agama terbesar. Ia adalah sesuatu yang penting yang menjadi dasar diutusnya seluruh para nabi. Jika tonggak agama ini diabaikan, mengetahui dan melakukannya dilalaikan, maka kenabian akan sia-sia, agama hancur, kesesatan dan kebodohan akan meluas, kerusakan dan kehancuran akan merata di seantero negeri.

Hanya, terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama ihwal hukum amar makruf nahi mungkar tersebut. Ada yang berkata hukumnya fardu ain. Yang lain berkata, fardu kifayah. Tentu perbedaan ini berangkat dari penafsiran tentang kata “minkum” dalam Surat Ali ‘Imran ayat 104 tersebut.

Dari sini bisa dipahami bahwa ketetapan kewajiban amar makruf nahi mungkar tidak menjadi hal yang patut dipersoalkan. Justru dengan sikap ini menunjukkan identitas muslim sebenarnya yang dilandasi dengan nilai-nilai moral yang positif.

Namun, persoalan muncul kemudian ketika perintah tersebut direalisasikan dalam laku hidup sehari-hari. Tak pelak, atas nama perintah amar makruf nahi mungkar seseorang terkadang bertindak gegabah: memunculkan ketegangan, merugikan orang lain, bernuansa kekerasan, teror, mendiskriminasi dan sebagainya.

Alih-alih menjalankan ajaran agama Islam, justru praktiknya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. Bahkan, mencoreng wajah Islam yang awalnya membawa rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin), seketika berubah menjadi wajah yang ganas, kasar, dan penuh ketakutan.

Ambillah contoh bagaimana gerakan Front Pembela Islam (FPI) dan gerakan kelompok radikal-terorisme (Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Daulah, dan lainnya) beberapa tahun belakangan. Mereka tak segan-segan menghancurkan rumah ibadah, diskotek, bar-bar, dan lain-lain. Lebih dari itu, perintah amar makruf nahi mungkar acap dijadikan sebagai legitimasi dan tameng dalam melancarkan aksinya.

Artinya, di bawah bendera amar makruf nahi mungkar, mereka beranggapan bahwa perlunya mengambil wewenang serta mengatasi segala tindak tanduk setiap manusia. Bahkan, berkeyakinan ihwal perlunya memberantas “paham-paham sesat” dan “menyimpang”. Sebagaimana menimpa warga Ahmadiyah waktu lalu, dan masih banyak kasus lainnya.

Salah satu dalil yang acap dijadikan sebagai legitimasi atas tindakan mereka dalam menunaikan perintah amar makruf nahi mungkar, adalah hadis Nabi Muhammad Saw., yaitu:
مَنْ رَأى مِنكُمْ مُنكَرًا فَلْيُغَيِّرهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ.

Artinya: “Barang siapa yang melihat satu kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu paling lemah-lemahnya iman”. (HR. Imam Muslim)

Bagi sebagian kelompok dan ormas Islam garis keras, Taghyir bil yad merupakan hal paling utama yang harus didahulukan. Kemudian lisan dan hati. Sebab, mereka memaknainya secara literal tanpa melihat konteks kehidupan umat manusia. Memang, jika dilihat secara sepintas hadis ini terkesan memberikan legitimasi atas tindakan kekerasan, khususnya Taghyir bil yad dalam upaya merealisasikan perintah amar makruf nahi mungkar.

Padahal, jika ditelisik lebih jauh pemahaman hadis tersebut tidaklah demikian. Sedari awal para ulama tengah menggariskan bahwa “merubah dengan tangan” merupakan hak prerogatif penguasa atau pemimpin, juga bukanlah tindakan yang sifatnya fardu ain. Apalagi, sampai main hakim sendiri, seperti yang dilakukan sebagian ormas-ormas dan kelompok Islam garis keras. Tentu, hal ihwal sangat bertentangan dengan tujuan dari ajaran Islam dan makna hadis di atas.

Mengutip pernyataan Imam Ghazali bahwa dalam menjalankan amar makruf nahi mungkar, seseorang harus mendapatkan izin dari pemerintah yang sah. Walaupun syarat ini tidak ditopang dengan dalil yang kuat, penting bagi pemerintah untuk membuat aturan mengenai penyelenggaraan amar makruf nahi mungkar.

Tujuannya, tentu saja, adalah agar tidak main hakim sendiri dengan memukuli orang-orang yang dianggap melakukan kemungkaran. Juga tindakannya agar bisa ditentang oleh kelompok lain yang tak setuju hal itu disebut sebagai kemungkaran.

Lebih jauh lagi, masih menurut Imam Ghazali, seorang aparat pemerintah pun tak bisa langsung bertindak secara kasar dalam memberantas suatu kemungkaran. Karena itulah, lanjut Al-Ghazali, dalam memberantas kemungkaran seyogianya cara-cara lembut, seperti memberitahu dan menasihati, harus didahulukan sebelum cara yang lebih tegas dilaksanakan.

Sementara menurut Ibnu Taymiah, dalam penyelenggaraan amar makruf nahi mungkar, terdapat tiga hal yang sangat urgen untuk dilakukan, yaitu: pengetahuan, kelembutan, dan kesabaran. Jika pengetahuan perlu dimiliki sebelum melakukan amar makruf nahi mungkar, kelembutan saat melakukannya, maka kesabaran harus dimiliki setelah seseorang melakukan perintah amar makruf nahi mungkar.

Dari sini, jelaslah bahwa pemahaman sebagian ormas dan kelompok radikal-terorisme ihwal penerapan amar makruf nahi mungkar sangat keliru dan bertentangan dengan ajaran Islam, selain juga pendapat mayoritas para ulama. Sehingga, penting kiranya dalam merealisasikan amar makruf nahi mungkar untuk melihat konteks kehidupan umat manusia modern ini.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Muhammad Syahrur, seorang pemikir Islam asal Suriah: bahwa amar makruf nahi mungkar di era modern mensyaratkan adanya kebebasan berpendapat, kebebasan pers, serta kebebasan berkeyakinan dan berekspresi tanpa ada rasa takut. Dengan demikian, menurut Syahrur, pilihan hidup manusia itu menjadi jujur dan ikhlas, baik ataupun buruk, didasarkan atas kesadaran dirinya dan bukan karena diawasi atau paksaan. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan