Rumah Impian

1,922 kali dibaca

Di sini mula berkisah, Pak Giman yang fakir bersanding istri yang shabir, jauh dari mimpi besar yang senantiasa bergulir. Cobaan, bagi mereka yang tinggi iman tentu sangat besar, ibarat semakin pohon menjulang semakin kencang pula angin menerpa. Terlebih, dalam kehidupan rumah tangga. Cobaan istri penuntut, untuk suami yang sabar bersambut. Suami fakir, tentu juga menjadi cobaan istri yang legawa nrima wujud penerimaan takdir. Pun, kefakiran suami dilengkapi dengan kesabaran istri, menjadi sebuah anugerah tiada kira, bagi Pak Giman.

Pak Giman hanya buruh tani. Menggarap tanah orang lain. Menanam benih, merawat tanaman, memupuk-mengairi, hingga memanen bukan untuk dirinya sendiri, namun hasil melimpah untuk juragan, sang pemilik tanah. Pak Giman telah bekerja keras berpuluh tahun. Menanami hingga memanen bak tanah milik pribadi. Meski ia sadar, bahwa nyata penikmat terbesar bukan untuknya, tapi sang pemilik modal.

Advertisements

Tanah garapan, hanya membisu. Bisunya seolah melayangkan opini, tentang ketakrelaan dikuasai, ketidakikhlasan nasib Pak Giman yang termonopoli. Opini tanah tentang keinginannya berdebat dengan sang juragan. Bahwa, tanaman tak bisa tumbuh berkembang, jika tak ada yang mengerjakan. Bahwa, Pak Giman lebih berperan hingga bulir-bulir panenan sampai di tangan. Tanah, tidak kuasa berpihak. Jika mampu, ia akan berkubu. Menjadi wadah sahaya yang siap terhunjamkan akar-akar, kemudian meninggi bersama buluh batang dan dedaunan, buah penggarapnya Pak Giman. Tanah bukan penguasa, tapi untuk dikuasai.

Setiap pagi, sehabis subuh, Pak Giman pergi untuk berlumur lumpur dan air keruh. Terik siang, tak peduli punggung dibanjiri peluh. Petang menjelang, Pak Giman kembali pulang dengan lelah yang sudah diasingkan. Semua, demi anak-istri, demi menanak nasi, demi biaya anak pamit tunaikan kewajiban belajar sebagai tuntutan negeri.

Keluarga Pak Giman tinggal di rumah sederhana. Batu bata hanya seperdelapan tingginya, selebihnya bambu gedek dan papan tripleks seadanya. Plesternya cukup hanya di ruang tamu saja, selebihnya adalah tanah yang menjadi saksi kecukupan seorang buruh tani. Di pintu depan, sangat jelas bekas piloks dari pihak desa, “Penerima Program Keluarga Harapan (PKH)”. Istri dan dua anaknya paham benar dengan kondisi bapaknya. Nasib yang mengimpit, tidak lekas membuat bersyukur menjadi sulit. Dua orang anaknya, Imam dan Siti begitu terangguk tanpa tertunduk, begitu Pak Giman menasihati, tentang penerimaan takdir dan syukur nikmat yang kabir.

“Fakir memang dekat dengan kafir. Nasihat bapak, jangan sekali kufur, dunia ini fana terukur, selanjutnya adalah kubur. Anakku, Imam dan Siti. Manusia terlahir tanpa busana sehelai pun, yang dibawanya adalah harga diri, yang akan meninggalkan jejak setelah mati. Sekolahlah biasa saja, pinter bisa keblinger, jika tidak disertai akhlak. Dan, akhlakmu itu akan menjadikanmu berharga atau tidaknya kelak”.

Keluarga Pak Giman menyembunyikan kesahnya. Berusaha menampakkan senyum, karena takut dianggap tidak bahagia dengan kehendak Sang Khalik. Biarlah, tetangga mencela, bagi Pak Giman kehidupan harus terus berjalan. Jika ditanya masa depan, dijawabnya masa depan adalah hari ini. Tentang kebahagiaan, tidak memerlukan cerahnya masa depan. Pak Giman sekeluarga pun bisa menikmati kebahagiaan hari ini. Bahagia tidak perlu diraih, ia hanya menunggu untuk dicumbu. Untuk bahagia, kenapa harus tunggu nanti. Pak Giman terus membimbing keluarga sederhananya untuk menemukan bahagia melalui hati, bukan pada materi. Bahagia bukan untuk diukur, dipersoal, atau dipertanyakan. Pak Giman menjawabnya dengan senyuman, tanpa kata. Senyum pertanda bahagia, dengan kesahajaan, maka senyum penuh makna menjadi teramat berharga.

Hari ini, siang begitu terik. Matahari seolah sedang marah. Cahanya begitu menyengat kulit. Pak Giman sesekali istirahat di gubuk sembari menenggak air rebusan kuali yang dibawa istrinya tadi. Ia mendongak ke atas, pikirannya tersudut pada gubuk tempatnya singgah sejenak. “Rumahku surgaku,” ia bergumam berkali-kali,

Seperti mendapatkan sebuah wangsit, tidak terlalu sore Pak Giman sudah pulang. Ditemui keluarganya, dimintanya berkumpul di ruang tamu, dan rembukan kecil ini pun dimulailah.

“Terima kasih sebelumnya, pada istri dan anak-anakku. Bapak ingin mengutarakan sesuatu, yang selama ini mengganjal. Menjadi ganjil jika bapak pendam. Maka dengarlah…”

Istri dan dua anaknya heran, karena bapaknya jarang sekali mengutarakan keinginannya. Mereka kemudian dengan seksama, mendengarkan dan menerka apakah gerangan yang selama ini menjadi ganjalan laki paro baya, dengan senyum tua nan sahajanya.

“Bapak ingin memperbaiki rumah. Bapak sungguh berdosa jika tidak mampu meneduhkan kalian dalam tempat yang layak. Tembok ini perlu diteruskan ke atas hingga pantas disebut dinding. Atap ini sudah bocor, lantai ini perlu dicor, tiang penyangga, kamar, dan lainnya juga perlu diperbaiki. Maka …”

Pak Giman menghela berkali-kali, seperti menahan keinginan kuat dan dosa yang teramat. Tentang hasratnya yang ingin membenahi rumah, agar tampak layak disebut rumah.

“Maka, bapak ingin menabung. Bapak ingin menyisihkan uang sedikit demi sedikit. Kepada kalian, istri dan dua anakku, bapak meminta kita berhemat dalam mengisi perut. Usahakan, selama kita belum memiliki rumah idaman, kita akan berpantang memakan daging atau lauk yang mahal. Bersediakah kalian?”

Pak Giman menatap satu per satu keluarganya, dengan perasaan tidak tega. Belum cukupkah derita yang dihibahkan? Laki-laki macam apa aku? Suami dan bapak seperti apa? Urusan perut saja, tidak bisa mencukupi. Pak Giman menutup wajahnya nan menggurat lukisan kelelahan dan beban yang teramat dalam.

Dua anak dan istrinya terdiam sebentar, melihat bapaknya tidak berdaya, lusuh mengikuti garis hidup, jelas perjuangan tergurat. Si kecil Siti pun berteriak,

“Siap, bapak! Siti tidak akan jajan cilok lagi. Tidak akan minta ayam atau telur lagi. Siap makan nasi dan sayur bening. Tapi, kalau dadar jagung, boleh ya buk?” rajuk si kecil Siti dengan polosnya, sambil mengunyah tempe yang tinggal separo di tangannya.

Sang ibu tersenyum melihat tingkah lucu buah hatinya, “Insyaallah, Siti. Emak pasti buat lauk pengganti ayam dan daging. Emak nanti bikinkan perkedel uuenaakk, kesukaan Siti.”

Disambut sendawa yang keras dan panjang dari Siti. Semuanya saling berpandangan kemudian tertawa. Ah, petang ini Pak Giman mendapatkan kelegaan. Penerimaan dari keluarganya, untuk ngempet makan enak, demi merenovasi rumah, agar layak huni. Menjadi bahagia memang bukan urusan nanti. Seperti petang ini, Pak Giman tidak perlu menunda merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan adalah ketika puas dengan apa yang dimiliki, bukan apa yang akan dimiliki nanti. Hanya, rumah layak huni sepertinya bisa menunjang kebahagiaan, pikir Pak Giman.

Semakin giatlah Pak Giman bekerja sebagai buruh. Ia berandai, jika hasil panen lebih, maka sang juragan akan memberinya bonus lebih. Imam, anaknya dibelikan dua kambing. Diamanahkan kepadanya, agar merawat dengan baik kambing-kambing itu, agar beranak-pinak untuk bisa dijual nanti. Demi rencana anggaran belajan renovasi rumah.

Allah Maha Tahu, Maha Berkehendak, dan Sang Pemilik Takdir. Manusia hanya menjalankan dan mengambil hikmah. Karena ketentuan qadha dan qadar, semata milik Allah, manusia tak berhak mencampurinya. Berita duka. Pak Giman tidak menunjukkan tanda. Pagi ia masih giat bekerja, siangnya dibopong beramai-ramai oleh teman-teman buruh lainnya. Pak Giman dikabarkan terkena angin duduk, begitu kata teman-temannya. Istrinya meratap, Imam tersedu memandangi kambing pemberian bapaknya. Siti yang masih polos hanya membisu, tetap mengunyah perkedel kesukaannya.

Datanglah Saudara Pak Giman, Lik Pardi menemui istri Pak Giman yang sembab berurai, berderai, bertikai dengan dukanya.

“Sudahlah! Suamimu telah meninggal. Ia tak bisa kembali. Hentikan tangismu dan mulai layani para pelayat,” Lik Pardi membuka suara.

“Iya Lik, aku harus minta maafkan kesalahan suamiku kepada orang-orang. Agar kepergiannya tenang dan orang-orang bisa ikhlas memberikan maaf,” terbata dalam tangis istri Pak Giman menanggapi Lik Pardi.

“Selain minta maaf, layani mereka dengan jamuan, Yu. Mereka pelayat, bertakziyah, suguhi hidangan selayak adat kebiasaan kematian di kampung kita.”

“Suguh, Lik? Suguhan apa yang bisa aku berikan kepada pelayat? Sedangkan untuk makan kami sekeluarga, kami masih harus mengimpit dan melipat perut. Ini juga kami lakukan demi impian…”

“Impian apa? Jangan bermimpi! Orang fakir tidak pantas bermimpi. Simpan saja mimpimu. Layani dan suguhi tamu selayak kebiasaan kita. Jangan sampai mencoreng kelurga suamimu. Apa yang akan dikatakan orang nanti? Apa?”

Kultur yang dikultuskan. Kebiasaan yang harus dilaksanakan, begitu kata norma. Istrinya harus pasrah, membiarkan dua kambing yang betina meski sedang bunting untuk disembelih. Uang simpanan untuk renovasi rumah diambilnya demi menyuguh para pelayat. Istri Pak Giman memandangi Imam, dua kali kematian pada hari yang sama, satu bapaknya, satu lagi dua ekor kambingnya. Lebih menyayat lagi, melayat tak ubahnya dengan pesta makan. Berbagai suguhan dihidangkan, sambal goreng, daging kambing, roti, rokok, dan entah berapa ratus ribu dihabiskan.

Istri Pak Giman memeluk kedua anaknya, semakin berlinang air matanya, ia harus kehilangan suaminya tercinta, terlebih ia merasa mengkhianati, karena tak mampu mewujudkan impian suaminya untuk merenovasi rumah. Mereka yang telah berlama menahan makan dengan lauk yang mewah, menahan keinginan yang sekiranya berlebihan, demi impian merenovasi rumah, kini musnah. Sekadar untuk menggelar “pesta” takziyah.

“Sudah, jangan terlarut berduka kataku! Hari ini cukuplah untuk suguhannya. Persiapkan lagi suguhan tiga harinya, sepasaran tujuh hari sampai empat puluh hari. Persiapkan semuanya, ini juga demi kebaikan dan nama baik keluarga Giman,” Lik Pardi mengingatkan istri Pak Giman.

Dipeluknya erat Imam dan Siti, semakin keras istri Pak Giman menangis, namun kerasnya hanya mampu didengar batinnya. Pak Giman tiada, ke mana lagi ia harus mengempaskan tubuh ketika penuh beban? Kepada siapa ia kini harus menyandarkan kepalanya? Kepada siapa lagi ia harus berharap rumah bisa direnovasi? Suguhan dan jamuan rangkaian dari adat kebiasaan, ke mana lagi ia harus mencari. Istri Pak Giman semakin erat memeluk kedua anaknya, semakin deras pula air matanya berurai. Dadanya semakin sesak, terbebani jamuan kematian dan rumah impian.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan