Retaknya Bingkai Hati

850 kali dibaca

Tak enak hatiku mendapati begini sikap suami. Dinginnya malam masih kalah dingin dengan sikapnya. Ketakutan-ketakutanku kala hendak menikah dengannya dulu terbukti sudah. Mungkin aku memang tak pantas untuknya. Dia terlalu baik untukku. Aku terlalu kotor untuknya.

Walau dia tak berkata apa-apa, namun aku dapat membaca gelagat sikapnya. Setelah malam pertama itu dia sepertinya curiga padaku. Apa yang telah kulakukan sebelum ini seperti dapat diendusnya. Sudah dua minggu dia menjadi suamiku, dan sudah begini rikuh rasanya bertatapan mata dengannya. Bagaimana waktu-waktu yang harus kulalui di masa yang akan datang?

Advertisements

Bukannya menghabiskan waktu bersamaku sebagai istrinya, dia justru setiap saat bersama Mas Malik, kakakku satu-satunya. Yang membuatku kesal, walau tak ada hal penting yang perlu dibicarakan, dia tetap berada di dekat Mas Malik. Menghindariku. Sebenarnya senang hatiku melihat keakraban mereka. Salah satu kebahagiaan suami-istri adalah dapat melihat pasangannya menjalin keakraban dengan sanak keluarga. Namun jika aku sebagai istrinya disisihkan?

Apakah aku sudah mencintainya?

Pertanyaan itu seketika membuat dadaku berdesir. Selama ini tak pernah ada dalam hatiku tersimpan namanya. Kalaupun ada, itu hanyalah perasaan ketertarikan melihat lawan jenis yang memiliki pelbagai kelebihan. Dan itu tidaklah selalu bisa dinamakan sebagai sebuah rasa cinta, menurutku.

Lalu kenapa aku jengkel merasa tak diperhatikannya? Perasaan cintakah yang menumbuhkannya? Bukankah rasa cinta selalu beririsan dengan benci? Aku menelan ludah. Meneguk gelisah.

Pikiranku kembali berputar-putar. Apakah rasa jengkel ini tumbuh karena hakku sebagai istrinya tak terpenuhi? Ataukah karena telah tumbuh rasa cinta di hatiku? Carut-marut hatiku. Kalang kabut hati ini menata perasaan. Kebahagiaan yang ingin kusemai di biduk rumah tangga rupanya tandus belaka.

Telah dingin kopi yang kuseduh beberapa saat yang lalu, dan dia tak kunjung pulang. Kutanyakan pada umi apa yang seharusnya aku lakukan, perempuan penuh kasih sayang itu memintaku tenang menunggunya di sini. Kulakukan apa yang dimintanya itu. Aku kembali ke kamar guna merapikan tempat tidur. Kusemprotkan pewangi ruangan. Kubuka jendela lebar-lebar. Lalu kuhamparkan sajadah dan segera aku melaksanakan salat dhuha. Kuhirup ketenangan dalam setiap gerakan salat dan setiap untaian doa yang kubaca.

Setelah selesai salat empat rakaat pintu kamar terbuka. Terdengar bunyi pintu berderit lembut. Dadaku menggeletar. Kucoba khusuk dalam berdoa. Pontang-panting aku berusaha. Dan sia-sia. Dia berjalan mendekat. Keberadaannya di sisiku membuat pikiranku ke mana-mana. Lagi-lagi dia menatapku dingin. Apakah selalu begini lelaki yang di hatinya hanya ada Ilahi tatkala memandang wanita? Sebegitu tak pentingnyakah diriku di hadapannya? Apakah begini manifestasi dari i’tikad maa fi qolbi ghoirulloh?

“Kenapa lama sekali?” tanyaku lirih. Dia tak menjawab, matanya memandang jendela yang memperlihatkan pohon-pohon rambutan dengan tatapan kosong. “Kopinya di meja ruang tengah, Mas. Tapi sudah dingin,” tukasku.

“Sudah dingin?” dia bertanya.

Aku mengangguk.

“Aku tak suka kopi yang sudah dingin, bikin asam lambung naik,” suara lirih itu dibalut nada sarkastis.

“Aku pun tak suka sikap yang dingin. Kopi yang dingin masih bisa diminum, kalau suami yang dingin? Ke mana akan kusandarkan kegetiran perasaanku tatkala butuh kehangatan?” kuberanikan bersuara.

“Kamu menyindirku?”

“Menasihati. Kamu sudah jadi suamiku, Gus. Kalau keliru aku berhak menasihati,” semakin berani aku bersuara dan menatap matanya.

“Bersama Mas Malik aku mendata santri baru yang baru saja mendaftar pagi ini.”

“Santri putra?” tanyaku penasaran.

“Iya, ada seorang santri yang setelah lama menghilang tiba-tiba datang bersama lima belas orang remaja dan anak-anak yang ingin mondok,” jawab Gus Fariq.

Mataku membelalak. Siapa pemuda itu?

“Dia membawa santri baru sebanyak itu kemari?” aku memastikan. Selama ini santri putra hampir bisa dikatakan vakum karena tidak ada yang berminat. Asrama pesantren hanya diisi oleh santri putri. Mas Fans adalah satu-satunya santri di sini, itu pun sudah agak lama menghilang.

“Iya,” sahutnya singkat. Ada saja alibinya untuk meninggalkanku.

Ingatan tentang Mas Fans menari-nari. Apakah benar pemuda itu Mas Fans? Lalu siapa orang-orang yang diajak kemari oleh pemuda yang pernah mewarnai masa laluku itu? Sebenarnya ingin sekali aku ke pondok untuk menengok mereka. Tapi ini tak mungkin aku lakukan. Sekadar bertanya tentang Fansuri saja aku tak berani. Apalagi jika sampai berbuat bodoh mendatangi pemuda itu di asrama.

“Sudah hampir tiga minggu kita menikah. Dan sedari awal kamu belum haid kan?” tiba-tiba dia melontar tanya, membelokkan arah pembicaraan. Gus Fariq telentang di atas dipan memandangi langit-langit kamar. Sesekali matanya melihat keluar lewat jendela. Aku pun dapat melihat air muka serta menebak jalan pikirannya karena kami berjarak hanya sekitar dua depa. Dan ucapannya itu tidak aku tanggapi. Aku pura-pura melipat sajadah dan mukena.

“Apakah tadi malam kamu muntah-muntah saat ke belakang? Saat aku sudah tidur?” pertanyaan itu berlanjut.

“Iya, Mas. Masuk angin sepertinya,” timpalku dengan suara lirih dan dengan kalimat singkat.

“Kenapa kamu tak menjawab bahwa kamu hamil?”

Entah kenapa pertanyaan itu terasa mengusik nuraniku.

“Kenapa pertanyaanmu bernada sinis Mas? Bukankah hamil adalah sebuah anugerah bagi pasangan suami-istri?”

Suamiku itu mendesah. Dia lantas keluar kamar, mungkin mengambil kopi. Pikiranku semakin tidak enak. Gelisah semakin menderaku. Ingatan tentang kejadian di hari yang kelam itu kembali menghantuiku. Kurebahkan badan sambil memeluk bantal di kasur. Ingin kulenyapkan diriku bersama pikiran tak karuan ini. Tapi nista sekali jika sampai aku menyerah menghadapi keadaan.

Pintu terbuka lagi. Kopi dingin itu dibawanya serta. Ia meminumnya sambil duduk di kursi malas. Entah apa yang akan dia ucapkan lagi. Aku semakin merasa takut.

“Kuganti kopinya dengan yang panas, Mas?” tanyaku, melunak.

“Sudah kuminum,” ucapnya. Matanya yang memandang ke luar jendela tak berkedip, kentara sekali sedang ada hal yang mengganjal pikirannya. Entah apa itu, aku tak berani menebaknya.

“Jangan memaksakan diri meminum yang tak disukai,” saranku.

“Kau pun memaksakan diri menikah dengan yang tak kau sukai,” jawabannya membungkam mulutku.

“Ucapan apa itu?” sahutku penuh emosi. Aku tahu menjalani perjodohan ini tidak akan mudah, namun tak ingin aku menambahi penderitaan umi. Rumah tangga kakakku telah retak, hal itu tak boleh menerpa keluargaku. Sesulit apa pun akan tetap kupertahankan.

“Aku tahu kau masih suka pada santri itu. Dan aku juga tahu perasaanmu padaku tak lebih dari sekadar keterpaksaan belaka. Kau terlihat ketakutan setiap kali malam datang. Keringatmu berleleran saat aku mendekatimu. Seolah aku ini kau anggap hantu yang menyeramkan. Sebenarnya aku merasa bersalah telah memaksakan pernikahan ini berlangsung. Aku merasa bersalah telah menyiksamu. Selain aku telanjur suka, aku ingin merealisasikan perjodohan yang telah dirancang orang tua kita dahulu,” ucapnya getir.

Aku terdiam mengunyah ucapannya.

“Kalau kau merasa aku dingin padamu, sebenarnya itu berawal dari sikapmu sendiri. Aku canggung menyadari perasaan terpaksamu itu,” ucapnya lagi.

Aku semakin tak punya kata untuk menyahut ucapannya. Air mataku hampir jatuh. Kutahan-tahan agar tak memperburuk suasana. Lalu perasaan bingung bergejolak. Apakah aku harus jujur padanya? Mungkin dia akan memahamiku. Perasaan cinta akan menghapus bercak hitam yang menempel pada orang yang dicintainya. Dan bagiku, kejujuran itu akan melenyapkan ketakutan-ketakutanku.

Tapi tunggu dulu. Aku tak boleh gegabah. Tak selamanya kejujuran lebih baik dari dusta. Keadaan bisa saja mengubah sebuah postulat, sekokoh apa pun postulat itu. Jangan sampai kesembronoanku berbicara memporak-porandakan rumah tanggaku. Aku diam mencari jawaban. Jangan sampai keliru berkata di saat sensitif seperti ini.

“Engkau memang alim, Mas. Namun kepandaianmu tentang banyak ilmu serta kemampuanmu membaca psikologiku bukan berarti dapat membenarkan semua prasangkamu terhadapku. Tentang isi hatiku, sama sekali kamu salah. Aku tak mungkin mempertaruhkan kebahagiaan hidupku dengan menikahi orang yang tak kucintai. Perasaan mahabbah-ku padamu mungkin tak dapat kamu pahami, tapi sesuatu yang tak kau pahami bukan berarti tidak ada. Ubahlah sikap dinginmu itu.”

Gus Fariq seolah tak mendengar ucapanku. Ekspresinya yang tetap dingin siap membekukan siapa pun lawan bicaranya. Melihat perilakunya ini semakin membuatku bingung. Setelah kupaksa lidahku mendustai perasaanku sendiri, celakanya dia bergeming. Sepertinya ungkapan cintaku kepadanya bukanlah hal yang dia harapkan.

“Maafkan aku tak mempercayai silat lidahmu.”

Jantungku seperti mau meloncat. Dia lemparkan telepon genggamnya di hadapanku. Dan di saat itu pula langkah kakinya berayun meninggalkanku. Dengan tangan gemetar kuraih HP itu. Kupertajam pandangan mataku. Aku kucek hingga berkali-kali. Dan tubuhku terasa lunglai. Berakhir sudah hidupku.

Di HP itu kulihat jelas fotoku yang tengah telanjang bulat. Rasa takut, sedih, marah memelukku dengan sangat hingga menyesakkan batinku. Ingatanku menyelusup kejadian sekitar sebulan yang lalu. Hari kelabu yang memberangus hidupku. Detik di mana ketika aku terbangun, kutemukan tulisan di HP menyertai foto-foto telanjang itu. Bahwa jika aku melapor kebejatannya memperkosaku, foto itu akan disebarnya di internet. Namun, kini foto itu telah disebarnya walau mulutku bungkam tak pernah menguak kebejatannya. Lelaki bejat itu sungguh setan berwujud manusia.

Mentaraman, 19 Januari 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan