PUISI FILOSOFI PADI

3,538 kali dibaca

PATUNG YANG KHUSYU

Sepasang patung
satunya bersarung,
satunya berkerudung.

Advertisements

Mata terpejam,
mulut bergumam.

Peci hanya hiasan,
mukena sekadar sampingan.

Yang di dalam kosong,
yang di luar menggonggong.

Apa yang terjadi?
Ada sebuah benda mati
yang tengah mengabdi.

Surabaya, 20 Januari 2021.

PADI YANG MERUGI

Kami selalu menyukai padi,
sebab padi menguning lalu mengering.
Berbeda dengan mereka yang menguping lalu menggunjing.

Kami selalu menyukai padi,
karena padi mengurai janji untuk memberi.
Lain dengan mereka yang bersumpah untuk menjadi sampah.

Kami selalu menyukai padi,
gegara padi merunduk, tak mau takluk.
Tak seperti mereka yang doyan menunjuk, rentan mengutuk.

Kami meniru padi,
merunduk.
Sialnya untuk mengangguk,
dalam jeruji busuk.

Surabaya, 20 Januari 2021.

TUMBUH YANG SALAH

Lelaki selalu salah, katamu.
Perempuan tak mau kalah, kataku.
Padahal, apa yang berbeda dari dua ungkapan itu?

Kesalahan adalah kemuliaan.
Dokter hidup, sebab pasien kesakitan.
Guru berguna, gegara ketidaktahuan.
Ulama ada lantaran kemaksiatan.
Kebersihan digaungkan karena daun-daun berguguran.

Lalu mengapa yang salah kerap dibantah?
Jika kesalahan adalah akar segala tunas kebermanfaatan.

Mari menari,
di atas negeri yang hidup dengan kesalahan yang terus dicari.

Surabaya, 20 Januari 2021.

KEKAL

Pada suatu hari nanti,
Aku ingin menyelipkan namamu

di antara batang-batang bambu
;tempatku bertaruh dengan waktu
tentang hidup dan kehidupan.

Pada suatu kali nanti,
Aku ingin mencium keningmu lalu pergi
; agar kau mengerti cintaku lebih abadi
dari detik yang berganti.

Pada suatu pagi nanti,
Tergantung sebuah janji di dekat topi jerami
; di antara dua matamu
adalah sebaik-baik tempat kembali.

Sidoarjo, 13 Agustus 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan