Pesantren dan Radikalisme

1,111 kali dibaca

Maraknya radikalisme dan terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan mengusung panji-panji Islam sedikit banyak membuat posisi umat Islam terpojok. Karena kemudian muncul stigma bahwa ajaran Islam, juga kaum muslim, memang mengakomodasi radikalisme dan terorisme.

Sebagai pusat lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren pun kemudian kena getahnya. Sampai ada kampanye ke pesantren-pesantren akan bahayanya radikalisme dan terorisme. Padahal itu salah kaprah. Juga salah alamat.

Advertisements

Kenapa? Jika mendalami tradisi pesantren yang sudah berlangsung berabad-abad, rasanya tidak memungkin dari lembaga pendidikan tertua di Indonesia seperti ini lahir apa yang kini dikenal sebagai radikalisme dan terorisme. Setidaknya ada dua hal yang mendukung pernyataan ini, yaitu tradisi keilmuan dan pendidikan karakter (character building) di pesantren.

Tradisi Keilmuan

Selama ini ada stereotip, pendidikan di pesantren itu tradisional, jumud, statis. Karena itu, orang-orang pesantren, yang disinisi dengan julukan “kaum sarungan”, dipandang berpikiran kuno dan ndeso, tertutup, kaku, dan tidak modern. Stereotip itu kemudian diperhadapkan dengan kelompok-kelompok muslim lain yang hidup di perkotaan dan bersekolah di sekolah-sekolah modern.

Simplifikasi dari stereotip itu: orang-orang pesantren adalah Islam tradisionalis, ciri menonjolnya adalah sarung, sendal, peci; di luarnya adalah Islam modernis, diklaim sudah berpikiran modern dan maju dengan ciri sudah bercelana, berjas, berdasi.

Meskipun tampakan luarnya bisa jadi demikian adanya, tapi kategori “Islam tradisionalis” dan “Islam modernis” itu sudah sesat dan menyesatkan. Produk dari tradisi keilmuan pesantren yang nanti akan membuktikannya.

Apa pun sistem atau model pendidikan yang diadopsi, pesantren memiliki tradisi keilmuan yang sangat kuat melalui pengajian dan pengkajian kitab-kitab kuning, terutama dari khazanah keilmuan ulama terdahulu, yang mencakup berbagai bidang keilmuan, lengkap dengan keragaman dan perbedaan pemikiran dari para ilmuwan muslim. Mulai dari bidang ilmu tata bahasa, tafsir Quran, ilmu hadits, fikih, tasawuf, teologi, muamalah, hingga sejarah. Dari tingkat paling dasar hingga yang tertinggi.

Dengan tradisi keilmuan seperti itu, sedari dini seorang santri sudah dibiasakaan dengan beragam pemikiran dari berbagai disiplin ilmu, disiplin ilmu yang tidak hanya mewarnai peradaban Islam, tapi juga yang pernah menjadi suluh bagi lahirnya peradaban dunia modern. Dengan itu, stereotip bahwa pesantren jauh tradisi ilmiah dan kaum santri berpikiran tertutup atau sempit, kaku, dan tidak modern terbantahkan dengan sendirinya.

Dengan tradisi keilmuan di pesantren seperti itu, maka bisa dipastikan santri menjadi kelompok masyarakat muslim yang paling siap menerima dan berhadapan dengan perbedaan pemikiran dan keyakinan. Karena, dari tradisi keilmuan yang dipelajari di pesantren, orang-orang pesantren akan paham benar bahwa perbedaan pemikiran itu, perbedaan keyakinan itu, bukan perkara benar-salah belaka, bukan perkara halal-haram belaka, melainkan perkara ijtihad, sebuah proses keilmuan untuk mencapai pada kebenaran. Dan diketahui, tidak ada pemutlakan kebenaran dalam dalam ijtihad.

Tradisi keilmuan itulah yang membuat “berbeda itu perkara biasa” di lingkungan pesantren.

Pendidikan Karakter

Era 1980-an adalah masa kejayaan Ellyas Pical, petinju legendaris Indonesia kelahiran Sapurua, Maluku. Pada 3 Mei 1985, ia naik ring melawan petinju Korea Chun Ju-do untuk merebut gelar juara dunia IBF Kelas Bantam Yunior (Kelas Super Terbang). Demam Ellyas Pical melanda seantero negeri. Pertarungan itu disiarkan langsung melalui televisi.

Saat itu, saya menjalani tahun kedua berada di pondok pesantren. Pak Kiai saya, yang saban malam mengajak santrinya berzikir dan manaqiban Syekh Abdul Qadir Jaelani, ini mengajak para santri nonton bareng Ellyas Pical naik ring. Yang mengejutkan saya, sebelum pertarungan dimulai, Pak Kiai mengajak para santrinya berdoa, mendoakan Ellyas Pical agar menang dan menyabet gelar yang diimpikannya.

“Agar Ellyas Pical mengharumkan nama Indonesia,” kata Pak Kiai, yang kemudian memimpin doa. Ellyas Pical tentu tak kenal Pak Kiai saya. Dan sebaliknya. Agama dan kepercayaannya pun juga berbeda. Tapi itu tak menghalangi Pak Kiai saya untuk mendoakannya. Semuanya demi Indonesia.

Itulah contoh kecil bagaimana pendidikan dan pembentukan karakter (character building) di pesantren dilakukan. Ketika mendoakan Ellyas Pical, Pak Kiai saya sedang mempraktikkan tradisi pendidikan karakter yang dilakukan di pesantren-pesantren di seluruh negeri. Salah satunya adalah bahwa perbedaan, termasuk perbedaan suku dan agama, tak menghalangi manusia untuk menjalani hidup bebrayan. Lebih-lebih untuk keindonesiaan.

Salah satu unsur terpenting dalam pendidikan karakter di pesantren adalah menghargai dan menghormati perbedaan. Dan tidak hanya diajarkan melalui kitab-kitab atau buku-buku, tapi juga dipraktikkan langsung dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan pesantren. Karena itulah, terbukti kini, orang-orang pesantren tergolong sebagai kelompok masyarakat yang paling siap dan terbuka menerima perbedaan dan keragaman.

Penyusupan Radikalisme

Dengan tradisi keilmuan dan pendidikan karakter seperti itu, maka jaringan radikalisme dan terorisme akan sulit untuk bisa menyusup ke dalam lingkungan pesantren. Memang, belakangan ada satu-dua pesantren yang terembesi paham radikal atau pesantren baru yang memang sengaja didirikan untuk mewadahi jaringan radikalisme dan terorisme. Tapi itu cuma beberapa, sangat kecil dan tidak signifikan jika dibandingkan dengan jumlah pesantren yang mencapai sekitar 30 ribu di seluruh Indonesia. Dan, setiap pesantren juga masih bisa ditelusuri geneologi dan sanad keilmuannya.

Karena sulit menembus benteng pesantren, maka benih-benih radikalisme itu ditabur di “sumur-sumur dangkal”, pada lembaga-lembaga pendidikan umum dan kelompok masyarakat atau orang-orang “yang masih dangkal” pengetahuan agamanya. Sejumlah penelitian membuktikan, jejaring radikalisme dan terorisme banyak menyusup di universitas-universitas ternama, juga SMA-SMA favorit di berbagai kota. Mereka juga menyusup ke berbagai lembaga pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta.

Target mereka adalah “sumur dangkal” itu, kelompok-kelompok masyarakat atau orang-orang yang masih belum memiliki pemahaman ilmu agama yang dalam, namun memiliki gairah beribadah yang wah. Di sana mereka merekrut dan melakukan kaderisasi, membangun jejaring, dan terus-menerus menyuburkan radikalisme.

Terbukti, dari sanalah kemudian suara-suara atau wacana pendirian Negara Islam atau gerakan menegakkan Khilafah Islamiyah muncul untuk menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pernahkah kita mendengar, misalnya, ada pondok pesantren yang menyerukan atau bahkan memelopori gerakan pembentukan Negara Islam atau Khilafah Islamiyah?

Karena itu, salah kaprah dan salah alamat jika mengkampanyekan gerakan anti-radikalisme dan anti-terorisme di lingkungan pondok pesantren. Yang justru harus dilakukan adalah mengajak orang-orang pesantren untuk mengkampanyekan gerakan anti-radikalisme dan anti-terorisme di luar pesantren.

Misalnya, menghadirkan orang-orang pesantren di perguruan-perguruan tinggi umum baik sebagai dosen agama atau pun sebagai nara sumber untuk kajian-kajian dan kegiatan-kegiatan keagamaan. Model seperti ini juga bisa dilakukan untuk lembaga-lembaga pendidikan lain setingkat SMA, atau kajian-kajian keagamaan di lingkungan kantor-kantor pemerintahan. Yang terjadi selama ini, juga berdasarkan hasil penelitian, yang diberi peran seperti itu justru kebanyakan dari jejaring radikalisme dan terorisme itu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan