Perang Jalan Jihad?

1,948 kali dibaca

Perang sebagai upaya dakwah Islam sering dimaknai sempit oleh beberapa kalangan umat Islam. Mereka menganggap perang merupakan jalan jihad yang paling mulia dalam rangka mencari rida Allah.

Hal ini juga tak lepas dari pengaruh sejarah dakwah Islam Rasulullah yang beberapa kali melakukan peperangan dengan kaum kafir. Sejarah ini yang kemudian menimbulkan persepsi bahwa perang adalah suatu kebolehan bahkan keharusan dalam upaya meninggikan bendera Lailaha illa Allah sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan kaum muslimin pada masa itu.

Advertisements

Tak khayal sekarang ini banyak bermunculan gerakan radikalisme yang secara terang-terangan menyatakan perang terhadap non-muslim, terlebih ‘janji surga’ yang mereka jadikan umpan dalam rangka memperluas gerakannya agar berhasil merekrut banyak umat Islam untuk ikut serta menjadi succesor dalam gerakan tersebut. Bahkan dari mereka ada yang sampai merelakan harta bendanya terkuras habis dalam misi dakwah tersebut. Padahal, perang dalam Islam harus dipahami secara komprehensif agar tidak menimbulkan persepsi bahwa Islam adalah agama yang berkembang hasil dari kekerasan dan tumpah darah.

Perang dalam Al-Qur’an

Salah satu firman Allah perihal perang terdapat dalam QS. al-Baqarah ayat 216, yang bunyinya:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Artinya: Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Kata “كُتِبَ” dalam ayat ini menunjukkan bahwa perang merupakan sebuah kewajiban. Namun, kewajiban di sini perlu dikaji bersama dalam keadaan bagaimana perang itu diwajibkan, sama halnya haji yang menjadi wajib ketika seseorang telah mampu untuk melaksanakannya.

Kemudian, kalimat “وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ” mengisyaratkan bahwa kaum muslimin pada masa Rasulullah sebenarnya tidak menyukai peperangan, karena dalam peperangan pasti banyak yang akan dikorbankan seperti tenaga, harta, bahkan nyawa.

Kemudian, terkait dalam keadaan bagaimana perang itu diwajibkan dapat dihubungkan dengan ayat QS. al-Baqarah ayat 190, yakni

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa suatu keadaan di mana perang itu diwajibkan adalah ketika musuh menyerang terlebih dahulu. Perang dalam konteks yang demikian dapat diartikan sebagai upaya pembelaan dan perlindungan diri, yang mana membela dan melindungi diri dari bahaya atau musuh juga merupakan kewajiban.

Selain itu, di dalam ayat ini Allah juga melarang umat Islam melampaui batas dalam hal memerangi musuh. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kemanusiaan. Jika perang bisa dicegah, maka itu lebih baik. Jika perang harus dilakukan, jangan sampai berbuat yang melewati batas.

Etika Perang Rasul

Nabi Muhammad SAW pun menetapkan kode etik dalam peperangannya saat melawan kaum kafir.  Salah satunya adalah tidak menyerang ketika musuh dalam keadaan lemah. Sewajarnya ketika musuh dalam keadaan lemah adalah momentum yang tepat untuk melumpuhkan musuh. Namun, tidak dengan Rasulullah SAW, yang justru melarang pasukannya menyerang ketika musuh dalam keadaan lemah. Rasulullah SAW berprinsip bahwa perang dapat dilakukan ketika keduanya sama-sama memiliki kekuatan, tinggal siapa yang lebih kuat yang akan memenangkan peperangan tersebut.

Selain itu, terhadap tawanan perang, Rasulullah SAW memperlakukan mereka dengan baik seperti memberi mereka makanan yang layak dan tidak melakukan kekerasan. Bahkan, dari mereka ada yang dibebaskan oleh Rasulullah SAW tanpa tebusan. Hal ini menunjukkan begitu murahnya hati Rasulullah SAW sehingga walaupun dalam dakwahnya Rasulullah SAW sering mendapat cemooh, kekerasan dan intimidasi dari kaum kafir tidak membuat Rasulullah SAW memiliki sifat dendam terhadap kaum kafir. Akibat dari sikap Rasul yang demikian banyak di antara tawanan tersebut dengan sukarela masuk Islam, salah satunya adalah Tsumamah bin Atsal.

Bukan Satu-satunya Jihad

Ada sebuah kisah di mana datang seorang laki-laki kepada Nabi dan dengan semangatnya berkata,  “Nabi, aku baru saja masuk Islam, izinkan untuk ikut hijrah dan berjihad bersama Nabi.” Nabi Muhammad SAW kemudian bertanya, “Apakah kamu masih punya orang tua?” Kemudian seorang sahabat tersebut menjawab, “Masih ya Nabi.” Setelahnya Nabi berkata, “Jika kamu ingin pahala yang lebih besar, kembalilah kepada kedua orang tuamu, layanilah mereka, pada mereka sajalah kamu berjihad.” Kemudian seorang sahabat tadi pulang dan mengurungkan niatnya untuk ikut hijrah dan jihad bersama Nabi.

Dari kisah tersebut dapat diambil hikmah bahwa jihad tidak terbatas pada perjuangan untuk membela Islam saja, namun jihad juga bisa kita lakukan dengan melakukan hal-hal sederhana yang ada disekitar kita, misalnya berbakti kepada orang tua, mencari ilmu, mengajarkan ilmu, berbuat baik kepada orang lain, membantu orang lain dan sebagainya. Hal-hal sederhana yang demikian justru menurut Nabi pahalanya lebih besar.

Kita ambil contoh seseorang yang mengajarkan ilmu kepada orang lain, kemudian orang lain tersebut juga mengajarkannya kepada orang lain lagi dan seterusnya, berapa banyak pahala yang akan terus mengalir kepada kita bahkan ketika kita sudah meninggalpun pahalanya akan terus mengalir.

Kesimpulan

Dari uraian tersebut, mulai dari prinsip-prinsip perang dalam Al-Qur’an kemudian sejarah dakwah Rasulullah serta etika perang Rasulullah, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa perang yang dilakukan Rasulullah bukanlah merupakan jalan jihad yang utama dalam rangka mencari rida Allah. Perang yang dilakukan Rasulullah merupakan pilihan yang ditempuh untuk melindungi kehormatan, keberlangsungan hidup, serta sebagai upaya agar tidak adanya halangan untuk berdakwah.

Maka, di zaman sekarang ini yang mana umat Islam sudah tidak lagi mendapat perlakuan buruk serta bebas untuk menjalankan ajaran agamanya, sudah sepatutnya kita sebagai umat Islam dalam upaya meninggikan kalimat lailaha illa Allah harus dengan jalan jihad yang baik, jangan sampai dalam berjihad kita melakukan arogansi yang hanya menciptakan citra buruk terhadap Islam. Jihad bisa kita lakukan dengan melakukan hal-hal sederhana yang ada di sekitar kita, misalnya berbuat baik kepada orang lain.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan