Pencarian Mbok Surti

1,292 kali dibaca

Mbok Surti kebingungan hendak menaiki bus kota. Baru pertama kali, perempuan yang sudah senja itu memaksakan diri untuk pergi ke kota, mencari anaknya. Mamad, anak lelaki Mbok Surti satu-satunya, sudah tiga tahun pamit ke kota untuk mengadu nasib. Akan tetapi, sampai suami Mbok Surti meninggal dunia, Mamad tak kunjung pulang juga. Bahkan, kabar pun tak ada. Baginya, satu-satunya keluarga yang dimiliki hanya Mamad. Itu sebabnya, kini Mbok Surti mencari anak semata wayangnya itu ke kota. Dengan penun keyakinan, Mbok Surti pun pergi ke stasiun terdekat.

“Mbok, mau ke mana?” tanya salah satu sopir bus yang mendekati Mbok Surti. Wajahnya garang dengan kulit yang kecoklatan.

Advertisements

“Anu … aku mau nyari anakku,” jawab wanita berkerudung hitam itu, ragu.

“Anaknya di mana? Mbok sendirian?” tanya Nurdin.

“Eng—enggak tahu, Nak.” Suara parau Mbok Surti, tampak ketakutan karena didekati oleh lelaki dengan handuk kecil di lehernya.

“Loh, terus Mbok mau ke mana ini? Yok, saya bantu. Masuk saja ke bus saya ini, yok,” tawar pria itu.

“Ayok, enggak usah takut. Saya enggak jahat, kok. Beneran.” Nurdin berusaha meyakinkan Mbok Surti yang masih sangsi.

Mbok Surti pun terpaksa memasuki bus yang berwarna dominan biru tua itu. Langkahnya lambat-lambat, tetapi dia tetap mengikuti arahan dari Nurdin.

“Mbok duduk di sebelah saya saja, ya!” pekik Nurdin dari luar disertai jari telunjuknya yang mengarah ke kursi samping kemudi.

Tak ada pilihan lain, Mbok Surti pun mengikuti perintah sopir gembul itu. Pelan-pelan dia menuju kursi yang dimaksud dan matanya tajam memindai ke segala arah untuk menelisik jikalau ada sesuatu yang mencurigakan.

***

Bus yang ditumpangi Mbok Surti dan Nurdin tiba di halaman rumah milik Nurdin sekitar jam 10 malam. Meski sudah mengantuk berat Mbok Surti masih berusaha jaga diri. Akan tetapi, rasa was-wasnya sedikit menguap ketika seorang perempuan dengan riang menyambut Nurdin.

“Bapak! Bapak pulang!” pekik Aisyah, anak Nurdin. Dia berhambur menghampiri bapaknya.

Sementara itu, Nurdin pun lekas keluar dengan mengabaikan Mbok Surti, dan lari menghampiri putri kecilnya.

Pemandangan itu mampu melesapkan rasa khawatir Mbok Surti dari tadi. Setidaknya Nurdin mempunyai anak kecil dan menyayanginya, sehingga menurut Mbok Surti tak mungkin Nurdin berbuat yang macam-macam dan bertindak jahat.

“Ayo, Mbok turun. Ini sudah sampai di rumah saya.” Lelaki yang menggendong putrinya itu melambaikan tangannya dari luar bus.

Mbok Surti tergemap. Lantas, dia segera keluar dari kendaraan panjang itu. Mbok Surti pun mengekor Nurdin masuk ke dalam rumah sederhana itu. Mbok Surti disuguhi pemandangan yang hangat kembali ketika tiba di depan pintu rumah Nurdin. Ternyata di dalam sana sudah ada perempuan yang menyuguhi senyuman sempurna, istri Nurdin.

“Buk, kita ada tamu ini. Tolong suguhin minuman dan makanan. Ini Mbok Surti,” kata Nurdin kepada istrinya. Dia tahu nama Mbok Surti saat mereka ngobrol sepanjang perjalanan.

“Baik, Yah. Silakan duduk, Mbok. Saya tinggal ke dapur dulu sebentar, ya,” pamit Siti, lalu meninggalkan ruang tamu rumah itu.

Mbok Surti dimanjakan oleh Nurdin dan Siti layaknya tamu spesial. Teh hangat dan beberapa kudapan tersaji di meja ruangan itu. Suasana pun menghangat. Mbok Surti sudah bisa bernapas lega. Dia sudah yakin kalau Nurdin dan keluarganya adalah orang baik.

“Mbok Surti tenang saja. Silakan tinggal di sini sampai anak Mbok ketemu. Pintu rumah kami terbuka lebar buat Mbok Surti. Oh, ya, nama anak Mbok Surti siapa?” tanya Siti di tengah percakapan mereka.

“Terima kasih banyak, Nduk. Kalian baik sekali. Mbok enggak bisa membalas kebaikan kalian berdua.”

“Nama anak Mbok itu Mamad,” sambung Mbok Surti.

“Ya, sudah besok kita cari lagi. Sekarang sudah larut. Yok, kita tidur dulu,” ajak Nurdin yang kemudian membubarkan percakapan malam itu.

Mbok Surti pun menuju kamar yang sudah ditunjukkan Siti sebelumnya.

***

“Mbok ini foto siapa?” Siti tiba-tiba terkejut dengan foto yang tergeletak di lantai. Tangannya bergetar memegang kertas bergambar itu. Seketika tubuhnya luruh ke lantai.

Sejenak Mbok Surti yang sedang menyiram bunga di teras rumah pun sampai di hadapan Siti. Dia tak kalah kaget kala melihat Siti yang sedang terduduk di lantai dengan selembar foto di tangan kanan.

“Ada apa, Nduk? Itu foto anak saya yang hilang. Kamu pernah bertemu?” tanya Mbok Surti penasaran.

Siti tak menjawab. Justru dia malah memeluk elak Mbok Surti. Tetesan-tetesan bening tak dapat dia bendung lagi dari sudut matanya. Sesekali tubuhnya terguncang karena tangisannya.

“Ma—maafkan kami, Mbok.” Suara serak akhirnya keluar dari mulut Siti setelah beberapa menit.

“Maaf kenapa?”

“Anak Mbok nama lengkapnya siapa?” Siti tak menjawab pertanyaan Mbok Surti. Justru dia melontarkan pertanyaan lain yang membuat Mbok Surti semakin bingung.

“Ahmad Zainy.”

Nurdin yang baru keluar dari kamar mandi pun lekas menghampiri kedua perempuan itu, setelah mendengar nama ‘Zainy’ dari mulut Mbok Surti, lalu meraih foto anak Mbok Surti yang berada di tangan Siti. Dia pun segera mencium punggung tangan perempuan senja itu. Tangisnya tak kalah kencang dengan istrinya.

“Loh, ini ada apa, to? Kok, pada nangis begini?” Mbok Surti makin heran.

“Se—sebenarnya dia dulu menjadi kernet saya, Mbok. Dia anak baik dan pekerja keras,” jelas Nurdin.

“Terus sekarang dia di mana?” Netra Mbok Surti mulai berkaca-kaca. Perasaannya mulai tak karuan.

“Karena kecerobohanku saat itu, dia tertabrak bus yang hendak saya parkir. Seharusnya saat itu saya rem itu bus, tapi malah saya gas. Jadi, Zainy menjadi korban saat itu. Beliau meninggal. Saat itu istri dan anak saya juga berada dalam bus itu. Sekali lagi maafkan saya, Mbok.” Nurdin menciumi tangan Mbok Surti dengan napas yang masih tak beraturan.

“Ya Allah, Mamad anakku.”

Suasana ruangan itu penuh duka. Kedua suami istri itu memeluk tubuh kurus Mbok Surti yang lemas. Kini Mbok Surti tak punya siapa-siapa lagi. Hanya Nurdin yang bisa diharapkannya saat ini.

***

Riau, 5 Maret 2022.

ilustrasi: hareanto, pixabay.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan