Pahlawanku

1,388 kali dibaca

Asap dari dapur Ibu mengepul. Bisa tampak dari luar rumah karena asapnya membubung keluar melalui celah dinding anyaman bambu. Terdengar suara piring pecah dari sana. Spontan aku berlari dan sampai di dapur mendapati Ibu sesenggukan dengan Fina, adikku di gendongan Ibu.

“Ibu baik saja?” Aku mendekati Ibu. Langkahku pelan. Batinku berdoa semoga yang aku lihat salah. Selama ini Ibu selalu menyuguhkan senyumannya. Baru kali ini terlihat jelas Ibu mengusap jejak kesedihan itu. Ibu tak mau aku merasakan kesedihan yang sedang dideranya.

Advertisements

“Enggak pa-pa, Jo. Ibu baik saja. Hanya tadi piring di tangan Ibu lepas, jadi Ibu sedikit syok. Bapakmu sama siapa? Kok, ditinggal sendiri? Sana temanin,” titahnya.

Aku menuruti perintah Ibu. Sebulan terakhir ini Bapak mengidap stroke. Mulutnya tak bisa mengeluarkan kata-kata jelas. Setengah badannya lumpuh. Maka dari itu, kami selalu ada di dekat Bapak untuk melayani dan merawatnya. Termasuk, saat Bapak berjemur di luar rumah seperti saat ini. Aku bertugas menemani Bapak, sedangkan Ibu memasak di dapur.

Sebelum sakit, Bapak bekerja sebagai tukang bangunan. Setelah sakit tak ada lagi pemasukan untuk keluarga kami. Karena itu Ibu terpaksa membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami dan pengobatan Bapak. Mulai cuci baju, menyetrika baju tetangga, dan jika ada yang membutuhkan tenaga Ibu segera mengiyakan demi uang.

Sebagai anak sulung, aku bertekad untuk sekolah dengan rajin dan mendapatkan beasiswa sampai cita-citaku tercapai. Dokter. Iya, supaya bisa mengobati Bapak tanpa bayar dan mengobati rasa lelah Ibu. Masih terlihat jelas di gambaran masa laluku, Bapak begitu gagah menggendongku saat aku menangis meminta robot-robotan.

“Ayok, sini. Bapak yang jadi robotnya.” Bapak menawarkan punggungnya untuk kunaiki. Seketika tangisku berhenti. Terima kasih Bapak telah menghapus sedihku kala itu. Kini, aku akan berjuang demi lengkungan simetris di wajahmu.
***
“Jo, ini uang sakumu.” Ibu mengangsurkan selembar uang lima ribu. Mata cekung Ibu tampak jelas, menunjukkan begitu lelahnya Ibu. Ditambah adikku yang sedang demam di gendongannya.

“Tidak usah, Bu. Uang jajan kemarin masih ada, kok.”

Aku tak berniat untuk membohongi Ibu. Uang jajan kemarin aku sisihkan untuk ditabung. Jadi, untuk hari ini aku ikut membantu ibunya Bagus jualan di warungnya. Bagus satu-satunya sahabat yang bisa aku andalkan. Dari bantu-bantu di warung seusai sekolah aku dapat uang.

“Ya, sudah. Tolong temanin Bapak. Ibu mau masak dulu.”

Ibu kelihatan lusuh. Rambutnya tak beraturan. Jarang sekali aku lihat Ibu menyisir. Jangankan menyisir, kalau bisa tak mandi, Ibu tak akan mandi. Keseharian Ibu hanya dipersembahkan untuk Bapak dan bekerja untuk kami.

Tak lama setelah Ibu berlalu, kembali suara piring pecah terdengar.

“Ibu! Biar aku saja, Bu, yang memasak. Ibu istirahat di samping Bapak saja. Aku bisa masak, kok,” ucapku setelah menyaksikan Ibu kesulitan berdiri.

Tidak serta merta Ibu mengikuti saranku. Tangan Ibu masih bekerja membersihkan pecahan-pecah piring meski sudah kularang. Sepertinya akhir-akhir ini Ibu tak enak badan. Sudah dua kali piring pecah olehnya. Aku tak tega.

Aku kerap melihat Ibu memasak. Jadi, kalau hanya memasak sayur bening dan menggoreng ikan itu tak masalah bagiku. Namun, saat aku mencari garam, tak ada sedikit pun garam tersisa di tempatnya.

“Bu, garam habis, ya?” tanyaku dengan nada setengah teriak.

“Iya, minta aja dulu dengan Wak Minah. Bilang besok Ibu bayar gitu.”

“Baik, Bu.”

Terlahir sebagai lelaki, aku tak malu dan gengsi untuk memasak dan belanja ke warung. Bahkan, itu sebagai kebanggaanku sendiri. Kelak aku pun akan menjadi bapak dan suami di keluargaku. Aku mencontoh pada Bapak. Dulu sebelum Bapak sakit seperti sekarang, pekerjaan yang kata orang seharusnya dikerjakan oleh perempuan Bapak kerjakan. Seperti menyapu rumah, bersih-bersih, memasuk, belanja, dan sebagainya.
***
“Mau apa kau, Joko?” Logat Batak Wak Minah memenuhi area warung.

“Anu … Ibu memintaku untuk membeli garam, tapi bayarnya besok kata Ibu,” jelasku.

“Mak sama Anak sama aja, ya. Tukang ngutang. Utang Makmu di sini sudah menumpuk, belum dibayar. Sekarang kau pula utang lagi.” Nada meninggi itu sukses membuatku malu sekaligus geram. Harga diri Ibu dihancurkan di hadapan orang banyak.

Aku putuskan untuk pulang dulu dan mengambil sedikit tabungan untuk membeli garam. Lantas, kembali lagi.

“Ini, Wak. Aku beli garam. Kelak jika aku sudah sukses akan aku bayar semua utang Ibu. Terima kasih.” Aku memberikan satu lembar uang lima ribu dengan jantung yang masih belum stabil karena amarah.

Langkahku cepat pulang, setelah Wak Minah mengulurkan garam. Wak Minah tak mengatakan apa pun lagi. Mimik wajahnya pun seperti kaget. Mungkin, dikira selama ini aku anak kalem, penurut, dan tak pernah marah. Sejak saat itu tekatku menebal. Aku harus sukses supaya Ibu dan Bapak tak direndahkan oleh tetangganya lagi.

Beasiswa demi beasiswa bisa kuraih di setiap jenjang. Sampai dengan kuliah kedokteran. Pun dengan Fina. Kami berdua menjadi anak kebanggaan Ibu dan Bapak setelah melalui banyak hinaan di keluarga kami.
***

“Jo, ayok kita ke mall. Hari ini, kan, ulang tahun ibumu. Kita buat dia senang di sana.”

Meski Bapak belum sepenuhnya sembuh, dia orang pertama yang semangat atas hari ulang tahun Ibu.

“Siap. Lagian aku juga sudah ambil cuti dari rumah sakit dan hari ini klinik tutup. Kamu juga ikut, kan, Fina?”

“Jelas ikut, dong.” Senyum merekah khas Fina terpancar.

Aku dan Fina akhirnya bisa membuktikan kepada dunia. Orang miskin seperti kami mampu membungkam mulut-mulut tak bertanggung jawab. Utang Ibu di warung Wak Minah pun lunas sudah, bahkan aku memberi sedikit tambahan modal supaya warungnya membesar.

“Jo, terima kasih buat semuanya. Lihat itu ibumu senang sekali memilih-milih baju yang dia suka.”

Bapak tak kalah bahagia melihat Ibu bahagia sedang belanja baju ditemani dengan Fina. Sementara itu, Bapak dan aku menunggu di depan sembari melihat dua wanita beda generasi dari dinding kaca butik.

“Ini belum ada apa-apanya, Pak. Bagiku Bapak dan Ibu adalah pahlawanku. Aku wajib menghormati dan membahagiakan Bapak dan Ibu. Aku pun memeluk Bapak yang duduk di kursi roda di sampingku.
***

ilustrasi;docplayer.info.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan