NU dan Islam Nusantara

1,210 kali dibaca

Islam Nusantara bukanlah sebuah aliran baru atau ajaran baru, akan tetapi sebuah metode memahami agama dalam interaksinya dengan kebudayaan Nusantara. Konsep Islam Nusantara merupakan ajaran Aswaja yang “dalam bidang akidah mengikuti Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam fikih mengikuti mazab empat, dan dalam tasawuf mengikuti Al-Ghazali dan AlJunaid Al-Baghdadi.”

Paham ini dibawa oleh para penyebar agama Islam di Nusantara, terutama Wali Songo, yang kemudian terus dikembangkan oleh ulama-ulama pondok pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) hingga mewujud dalam bentuknya saat ini.

Advertisements

Para pembawa Islam yang masuk ke bumi Nusantara ini, terutama Wali Songo, merupakan para ulama sufi sebagai pengamal ajaran tasawuf. Ini yang kemudian terus dikembangkan oleh ulama-ulama pesantren dan NU, yang pada akhirnya menjadi cikal bakal dari lahirnya konsep Islam Nusantara. Jadi tidaklah berlebihani bila penulis berpandangan bahwa sebuah keniscayaan kalau Islam Nusantara terbangun dari ajaran tasawuf sebagai fondasinya.

NU dan Islam Nusantara

Wali Songo dengan ajaran Aswaja yang dibawanya berhasil mendialogkan ajaran Islam yang berasal dari Arab dengan tradisi masyarakat Nusantara. Jelasnya, tidak mengubah tradisi masyarakat yang sudah ada dan berlangsung, tetapi mewarnai sehingga melahirkan tradisi baru keislaman masyarakat Nusantara.

Maka tak heran jika Clifford Gertz menyebut Wali Songo itu bukan sekadar dai yang menyebarkan ajaran Islam, tetapi juga sebagai cultural broker, makelar kebudayaan. Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari kemudian merumuskan Aswaja sebagai: “dalam bidang akidah mengikuti Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam fikih mengikuti mazhab empat, dan dalam tasawuf mengikuti Al-Ghazali dan Al-Junaid AlBaghdadi.”

Pada masa itu, munculnya gerakan puritan Wahabi pada awal abad ke-18 dengan slogan kembali kepada Al-Quran dan sunnah meniscayakan penolakan terhadap pengikut-pengikut mazab empat yang mayoritas di dunia Islam. Gerakan ini menyebar ke seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia. Maka, Hadratussyeikh menegaskan kembali tentang pengertian Aswaja, untuk membentengi umat Islam Nusantara dari pengaruh gerakan Wahabi.

Pada awalnya di Indonesia hanya sebagai gerakan agama, namun perlahan gerakan Wahabi dengan ideologi puritannya memasuki wilayah politik Indonesia. Muncullah gerakan-gerakan yang ingin mengganti Pancasila (yang juga dirumuskan oleh para ulama) sebagai ideologi negara dengan negara Islam. Pada pihak yang berlawanan, kelompok nasionalis berusaha mewujudkan negara sekuler. Selain itu, ada lagi pihak ketiga, yaitu PKI yang ingin mengubah bentuk negara dengan ideologi komunis, namun bersembunyi di balik figur Bung Karno. Bangsa yang masih muda ini di ambang perpecahan dan perang saudara karena pertentangan ideologi politik yang kian memanas.

Maka, KH Wahab Hasbullah sebagai Rais Am PBNU pada waktu itu, merumuskan garis politik kebangsaan. Politik kebangsaan adalah politik yang tidak memisahkan antara nasionalisme dan agama. Keduanya selaras, bahkan saling menguatkan. Garis politik kebangsaan yang dirumuskan oleh Mbah Wahab berangkat dari nilai tawazun atau keseimbangan dalam ajaran Aswaja.

Kosep tawazun dalam politik dan sosial ini diperkuat kembali oleh KH Ahmad Siddiq dengan gagasan tri ukhuwah-nya yang terkenal, yakni ukhuwah islamiah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathoniah (persaudaraan sebangsa dan setanah air), dan ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia). Konsep tri ukhuwah ini menjadi landasan NU dalam konteks berbangsa dan bernegara. Konsep ini adalah upaya NU dalam menjaga keutuhan NKRI.

Pada periode berikutnya konsep Aswaja NU senantiasa berkembang. Pada tahun 1990-an, KH Sahal Mahfuzh menelurkan gagasan fikih sosial dan fikih maslahat. Fikih sosial maksudnya adalah studi tentang fikih (hukum Islam) tidak hanya berkutat pada persoalan-persoalan normatif keagamaan, tetapi lebih jauh melangkah pada persoalan-persoalan sosial dan pemecahannya. Metode fikih sosial berangkat dari konsep maqashid asy-syariah, yakni filosofi penggalian hukum Islam yang senantiasa berpijak pada kemaslahtan umat manusia, sebagai upaya menjaga agama, jiwa, akal, kelangsungan hidup, dan harta benda.

Maka, mau tidak mau metodologi pengambilan hukum Islam dalam tubuh NU, yang selama ini mengambil pendapat ulama-ulama di kitab kuning, harus beralih menggunakan metodologi manhaji. Selain itu, juga tidak lagi hanya berpijak pada mazab syafi’i an. Teori maslahat dalam dalam ilmu ushul fiqh adalah kemaslahatan di satu tempat boleh jadi berbeda dengan di tempat lain. Di tangan KH Sahal Mahfuzh, Aswaja dalam bidang fikih telah berkembang dari yang awalnya hanya mengikuti dan menyesuaikan realitas sosial dengan pendapat-pendapat para ulama dalam kitab kuning.

Sebelum KH Sahal Mahfuzh mengeluarkan gagasan fikih sosial, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) telah menerjemahkan metode dakwah Wali Songo ke dalam gagasan pribumisasi Islam dan multikulturalisme. Gagasan pribumisasi Islam pada dasarnya ialah persenyawaan antara ajaran Islam dengan kultur masyarakat Nusantara, namun tanpa mengubah prinsip-prinsip dasar agama Islam. Dalam bahasa Gus Dur, “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk aku jadi ana, sampeyan jadi antum. Kita pertahankan milik kita, kita harus filtrasi budayanya, tapi bukan ajarannya…” Dalam bahasa KH Said Aqil Siradj, menjadikan Islam bukan sebagai aspirasi, tetapi menjadi inspirasi untuk membangun peradaban.

Gagasan Gus Dur ini disambut oleh anak-anak muda NU dengan penuh gairah. Di masanya, Gus Dur melihat upaya arabisasi Indonesia sangat kental, hingga menyebabkan sebagian kalangan Islam hilang kebanggaannya dengan kebudayaan sendiri.

Namun perlu diingat, gagasan pribumisasi Islam Gus Dur bukanlah menolak Arab, tetapi mengajarkan umat Islam untuk kritis dengan memisahkan mana ajaran Islam dan mana budaya Arab tempat lahirnya agama Islam yang mempengaruhi perkembangan agama ini. Dalam bahasa kaidah fikih sering diungkapkan dengan “al-adah muhakkamah”, tradisi bisa menjadi landasan hukum. Dalam pandangan Gus Dur pula, agama merupakan ajaran yang memanusiakan manusia, bukan ajaran yang merendahkan martabat manusia.

Jadi, seorang muslim adalah seorang yang menghormati sesama manusia, bukan justru melakukan kekerasan atas nama agama. Sekembalinya KH Said Aqil Siradj dari studinya di Mekkah, ia langsung memaknai Aswaja sebagai manhajul fikrah (metodologi berpikir). Aswaja di tangan Kang Said, bukan lagi hanya sebuah pemahaman kegamaan, tetapi pandangan hidup seserang dalam menyikapi berbagai macam persoalan: sosial, politik, ekonomi, dan kebangsaan yang bertumpu pada metode tawasuth, tawazun, tasamuh.

Dan pada masa Kang Said menjadi Ketua Umum PBNU pula konsep ini berkembang menjadi Islam Nusantara. Islam Nusantara bukanlah aliran baru, bukan ajaran baru, tetapi sebuah metode memahami agama dalam interaksinya dengan kebudayaan Nusantara. Konsep Islam Nusantara merupakan ajaran Aswaja yang dibawa oleh Wali Songo kemudian terus dikembangkan oleh ulama-ulama NU di atas hingga mewujud dalam bentuknya saat ini.

Gagasan Islam Nusantara tersebut mulai menjadi porsi bahasan tersendiri yang serius pada diskusi Pra-Muktamar ke-33 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 2015 yang bertema “Islam Nusantara sebagai Islam Mutamaddin Menjadi Tipe Ideal Dunia Islam.” Saat itu panitia menghadirkan sejumlah nara sumber, antara lain pakar ushul fiqh yang juga Katib Syuriah PBNU KH Afifuddin Muhajir, guru besar filologi Islam UIN Jakarta Oman Fathurrahman, sejarawan Agus Sunyoto, pakar tasawuf KH Mustafa Mas’ud, dan Prof DR Azhar Ibrahim Alwee dari National University of Singapore.

Oman yang setuju dengan istilah itu mengatakan, ada kesalahpahaman ketika sejumlah orang menolak pelabelan “Nusantara” terhadap Islam. Menurut mereka, Islam adalah Islam, tak perlu labelisasi. “Padahal yang kita maksud bukan Islam yang normatif, tapi Islam empirik, yang terindegenisasi,” katanya. “Oleh kerena itu kita mencoba merumuskan sebuah kalimat, Islam Nusantara itu adalah Islam Nusantara yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia,” imbuhnya.

Menurut Oman, Islam Nusantara ada namun minim data thabaqat (biografi) yang komprehensif para tokoh muslim Nusantara setidaknya sejak abad ke-16. Hal ini berbeda dari fakta yang ada di Arab dan Persia, yang mengakibatkan bangunan sejarah keduanya sangat kokoh lantaran kekayaan sumber literasi tentang itu.

Sementara Kiai Afif yang menyoroti Islam Nusantara dari sudut pandang fikih mengatakan, istilah “Islam Nusantara” memang agak ganjil didengar lantaran Islam memang sumbernya satu dan bersifat ilahiyah. Tapi, katanya, harus diperhatikan bahwa Islam juga terealisasi dalam praktik keseharian. Artinya, selain ilahiyah, Islam juga bersifat insaniyah (manusiawi).

Karena itu, Kiai Afif menilai jika ada Islam Nusantara maka ada juga fikih Nusantara. “Fikih Nusantara adalah paham dan prespektif keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika teks-teks syariat dan budaya, juga realitas di (daerah) setempat,” papar pengarang kitab Fathul Mujib al-Qarib ini. Salah satu wakil pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo ini menekankan adanya pemahaman kontekstual terhadap teks suci dengan mempertimbangkan adat lokal (urf) demi kemaslahatan tak hanya dari segi ukhrawi tapi juga duniawi.

Lebih jauh Azhar Ibrahim dari Universiti Nasional Singapura memandang Islam yang terbangun di Indonesia bisa menjadi teladan kepada negara-negara Muslim lain, termasuk warga dunia yang lebih besar. Ia mengatakan, sarjana dan pemerhati telah membayangkan bahwa Islam Nusantara akan menjadi daerah paling cerah dalam dunia Islam. Sebab, kehidupan mayoritas Muslim di Timur Tengah, Benua Kecil India, Afrika Utara dan Afrika Tengah, sedang terimpit oleh konflik dan keganasan.

Jadi dengan sederhana Islam Nusantara adalah Islam yang berciri khas Nusantara, Islam yang menghargai keberagaman, bukan Islam yang menekankan keseragaman dalam persatuan, Islam yang memiliki paham kemasyarakatan yang tasamuh, tawazun, tawashut, dan i’tidal. Serta Islam Nusantara adalah sebagai perwujudan dari Islam yang rahmatan lil alamin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan