“Ngopi Budaya” di Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura

3,427 kali dibaca

Ada suasana berbeda di Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura, Kabupaten Sumenep, Madura, Jumat (25/9/2020) malam. Acara “Ngopi Budaya” yang membuatnya berbeda. Sesuai temanya, “Menjelang An-Nahdlah Ats-Tsaniyah, acara ini digelar untuk menyongsong satu abad keberadaan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia.

“Ngopi Budaya” yang diikuti para kiai dan santri dari berbagai pesantren ini dilaksanakan dengan gaya khas nahdliyin: santai, sederhana, gayeng tapi penuk makna. Kata KH Dardiri, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin, menyebut acara ini memang sengaja dilaksanakan dengan santuy —meminjam istilah generasi milenial.

Advertisements

Dimulai bakda isya hingga berakhir pukul 00.00 WIB, diskusi kaum santri ini diselang-selingi atraksi beragam kesenian, seperti pertunjukan pencaak silat Pagar Nusa dan seni Hadrah al-Banjari. Pertunjukan ini memberi warna tersendiri.

Keunikan Nahdliyin

“Ngopi Budaya” ini dihadiri oleh berbagai kalangan. Dari anak-anak muda hingga orang-orang yang sudah dewasa. Baik laki-laki maupun perempuan. Karena acara ini dibawa dengan santai, cair, dan familiar, para hadirin dapat mengikutinya dengan penuh antusiasme. Lebih dari itu, nara sumber juga membawakan materinya dengan santuy.

Sebagai pembicara dalam “Ngopi Budaya” ini, KH Maimun Syamsuddin, pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah, menguraikan panjang lebar tentang budaya NU dengan guyonan khas kaum nahdliyin.

Menurutnya, organisasi terbesar di Indonesia ini memiliki keunikan-keunikan yang tidak dimiliki organisasi lainnya. Misalnya, warga NU selalu datang terlambat dalam suatu acara atau kegiatan. Ini bukanlah suatu hal yang perlu dirisaukan.

Sebab, keterlambatan tersebut mempunyai arti bahwa orang NU tidak mau diatur oleh waktu. “Warga Nahdlatul Ulama tidak mau diatur waktu, tetapi waktu yang diatur oleh warga NU,” kata Kiai Maimun yang memicu derai tawa hadirin.

Masih menurut Kiai Maimun Syamsuddin, salah satu (lagi) keunikan NU adalah menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Hal ini menjadi unik dan “antic” sebab NU merupakan organisasi besar yang berkecimpung dalam keagamaan yang teguh dan kokoh.

“NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan hasil dari istikharah para ulama NU,” demikian Kiai Maimun menjelaskan tentang asas organisasi konvensional ini.

Lebih jauh, Kiai Maimun Syamsuddin memastikan bahwa ragam keunikan yang ada pada NU tidak sampai melanggar syariat Islam. Artinya, pada setiap persoalan yang ada tetap harus kita cari jalan keluarnya. Sebab, pada setiap kejelekan atau keburukan pasti ada kebaikan. Begitu juga sebaliknya, di setiap kebaikan mesti terdapat kejelekan yang patut kita pahami untuk dicarikan solusi.

Sebelum itu, A Tirmizi Mas’ud, sebagai Ketua Pagar Nusa sekaligus sebagai Ketua Organisasi Kompolan Tera’ Bulan”, dalam sambutannya menjelaskan bahwa Pagar Nusa merupakan wadah untuk kreativitas dalam berbagai kegiatan. Di Pagar Nusa terdapat kegiatan olah raga, olah batin, dan olah piker sekaligus. Karena itu, kita dapat berperan aktif dalam berbagai kegiatan demi kepentingan umat.

Selnjutnya, K M Faizi, sebagai pembicara kedua juga menjelaskan budaya ke-NU-an dengan gaya yang tak kalah santuy. Penyair dan pimpinan Pesantren Annuqayah daerah Alfurqan ini menjelaskan bahwa warga NU memiliki “kemiringan” yang tidak semua orang memahaminya. “Kemiringan” yang dimaksud adalah keunikan-keunikan yang justru menjadi karakter dari organisasi yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari ini.

Salah satu keunikan NU, menurutnya, adalah adanya organisasi besar yang anggotanya lebih dari 100 juta orang, tetapi pengurusnya tidak digaji. Sebuah organisasi keagamaan terbesar yang tidak memiliki posisi strategis di pemerintahan.

“NU adalah organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesai, tetapi tidak memiliki posisi apa-apa di pemerintahan. Bahkan, tokoh NU yang mempunyai peran di pemerintah tidak pernah membawa nama ke-NU-an,” demikian jelas Kiai Faizi yang selalu memakai sarung dan songkok.

Dalam “Ngopi Budaya” ini juga dilakukan antara nara sumber dengan hadirin. KH Munif, pengasuh Pesantren Nasy’atul Muta’allimin, memberikan pendangannya terkait kondisi msyarakat saat ini. Ia menjelaskan tentang asas pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara. Bahwa, menurut Ki Hajar, ada tiga pokok asas pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat.

“Jika ketiga elemen ini berdaya, ditambah lagi dengan lembaga pesantren, bukan tidak mungkin pendidikan Indonesai akan sangat maju dan berkualitas,” katanya.

Multi-Page

One Reply to ““Ngopi Budaya” di Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura”

Tinggalkan Balasan