Nasib Pengemis

691 kali dibaca

Seorang ibu muda sedang bersepeda. Sabtu pagi ini, ia menggenjot sepedanya memutari jalan perimeter kampus Universitas Indonesia. Di belakangnya, membuntuti, dua orang anaknya, lelaki dan perempuan. Juga bersepeda. Entah di mana bapaknya kita tak perlu tahu. Mungkin ia sudah jauh di depan, tapi pengarang ingin menyingkirkannya dari cerita ini.

Sepagi itu sinar matahari sudah terasa menyengat tubuh yang lekas membuat kulit ibu muda itu berkeringat. Bercucuran. Membuat kulitnya yang putih berkilauan. Di jalan yang agak menikung dan menanjak, napasnya mulai ngos-ngosan. Tapi ia ingin sehat, dan karena itu terus menggenjot sepedanya.

Advertisements

Menyusul ibunya, kedua anak itu mengayuh sepedanya beriringan di jalan yang mulai menanjak dan berkelok. Anak yang perempuan, mungkin usianya sepuluhan tahun, kehilangan keseimbangan pada kelokan jalan itu. Kedua sepeda itu bersenggolan dan brukkk… si anak perempuan ambruk.

“Ibuuuu!”

Si ibu muda itu langsung menarik tuas remnya, secara refleks menoleh ke belakang, lalu tergopoh-gopoh menarik mundur sepedanya. Ia menyenderkan sepedanya pada sebatang tiang listrik, lalu menolong anaknya yang jatuh. Ia meminta anaknya yang laki-laki mengangkat dan meminggirkan sepeda adiknya.

Ketika si ibu muda itu sedang sibuk memeriksa kondisi anaknya yang jatuh, dengan cemas dan was-was kalau-kalau anaknya terluka, seorang perempuan paro baya menghampiri mereka. Perempuan itu membungkus tubuhnya dengan pakaian yang kumal, di sana-sini dipenuhi banyak tambalan. Seperti apa rambutnya kita tak bisa tahu karena dibungkus rapat dengan kerudung lusuh.

Ia berjalan tertatih-tatih sambil membungkuk. Tangan kanannya memegang sebuah mangkuk kosong yang terbuat dari bahan plastik.

“Kasihanilah saya, neng…,” ucapnya lirih sambil menyodorkan mangkuk kosong ke arah ibu muda yang sedang membersihkan debu-debu yang menempel pada tubuh anaknya yang baru jatuh itu.

“Kasihanilah saya, neng,” perempuan itu mengulang perkataannya ketika melihat ibu muda itu hanya menoleh tanpa ekspresi.

“Ayolah, neng… Sekadar untuk beli minum tak apa-apa. Saya haus dari kemarin belum minum.” Perempuan berpenampilan gembel itu menggoyang-goyangkan mangkuknya yang berwarna putih.

Setelah memastikan anaknya baik-baik saja, si ibu muda itu bergegas menghampiri tasnya yang tergantung pada sepedanya. Mata perempuan paro baya itu melirik berkilauan ketika ibu muda itu membuka tasnya. Tapi tarikan napasnya segera terhenti ketika ibu muda itu mengeluarkan sebotol air mineral berukuran besar dari dalam tasnya.

“Ini air buat ibu saja, masih baru, belum saya minum,” ibu muda itu menyodorkannya.

“Oh, maaf, tidak usah. Itu terlalu banyak buat saya,” perempuan paro baya itu menampiknya, tapi masih menyodorkan mangkuknya.

“Tidak apa-apa. Malah bagus ada persediaan buat minum ibu nanti-nanti.”

“Tidak. Tidak usah. Tidak apa-apa. Saya sukanya yang sedikit, yang kemasan gelas itu,” perempuan paro baya itu berkeras menolaknya, tanpa menurunkan mangkuknya. Tubuhnya masih membungkuk.

“Oh, ya sudah, bu. Saya hanya bisa memberi air minum ini. Maaf…,” ibu muda itu menutup percakapannya, lalu mengajak kedua anaknya menuntun sepeda mereka, berjalan menaiki jalan yang menanjak.

“Kenapa Ibu tidak memberinya uang?” tanya anaknya yang laki-laki, yang menuntun sepeda di samping kanan ibunya.

“Dia kan mengeluh kehausan, Nak, karena dari kemarin belum minum katanya. Makanya, tadi ibu tawari minuman,” sahut ibu muda itu sambil mengusir keringat dari lehernya.

“Dia mungkin ingin beli minuman sendiri, yang sesuai dengan keinginannya. Makanya menolak minuman yang Ibu kasih tadi,” timpal si anak perempuan yang tadi jatuh.

“Itu berarti dia menolak rezeki dari Tuhan, Nak. Pengemis, kok, menolak rezeki dari Tuhan. Itu sombong namanya. Ayo, kita gowes lagi!”

Ibu muda itu mulai mengayuh sepedanya, dibuntuti kedua anaknya. Jauh di belakang sana, perempuan paro baya itu membalikkan badannya, lalu melangkah pelan, berjalan sambil membungkuk-bungkuk. Ia terus melangkah melewati rute-rute yang biasa ia tempuh, keluar masuk ke jalan-jalan yang mengiris-iris perkampungan padat penduduk.

Ia sampai di ujung lorong buntu ketika senja jatuh. Ia berdiri mematung di sana sudah beberapa lama. Menatap mangkuknya yang masih kosong melompong. Tak seperti biasanya, sepanjang hari Sabtu ini, sepanjang rute yang biasa ditempuh, belum terdengar gemerincing suara uang logam jatuh di mangkuknya. Atau gesekan uang kertas menumpuk di sana.

Ketika gema azan maghrib didengarnya secara samar, ia duduk dengan menyandarkan punggungnya pada sebatang tiang listrik. Ia mulai merasakan kehausan yang sangat ketika kedua matanya mulai terkatup. Mungkin antara tertidur atau terjaga, tak pasti apakah dia sedang bermimpi atau benar-benar melakukannya; ia memegangi tenggorokannya sambil berucap lirih,

“Tuhan, haus sekali. Beri aku rezeki…”

Dia benar-benar berada dalam kesendirian. Tak ada seorang pun di sekitarnya yang memberinya jawaban. Dia hanya merasa ada suara samar-samar yang membelai telinganya. “Tuhan sudah memberimu rezeki, tapi kamu menolaknya.”

Dan gelap pun jatuh.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan