Musyawarah Para Pendekar Bahasa

1,260 kali dibaca

Sering terpikir bahwa setiap bahasa mempunyai nyawa di luar dirinya. Ia dikendalikan oleh penutur. Ia berada di ruang universal. Namun, kebanyakan dari kita masih sering memperkosa bahasa. Menyeret ke mana pun sesuai dengan keinginan penutur. Inilah yang kemudian mengilhami sosok Holy Adib untuk turun ke medan pertempuran bahasa yang cukup lentur ini.

Dalam buku Pendekar Bahasa, Holy Adib (selanjutnya ditulis HA) menyindir para pengguna bahasa Indonesia, lebih-lebih wartawan dan akademisi yang hidupnya dihibahkan untuk bahasa. Tapi, pada nyatanya masih menggunakan bahasa Indonesia serampangan. HA menggunakan diksi Pendekar Bahasa pada judul buku tersebut tidak lain merupakan inspirasi dari istilah yang dipakai Harimurti Kridalaksana untuk memberikan julukan terhadap orang-orang yang konsisten terhadap bahasa Indonesia, meskipun bukan anak bahasa dan kawan-kawannya.

Advertisements

Kumpulan esai bahasa yang ditulis HA cukup memberikan ruang diskusi di Tanah Air. Pasalnya, karena semangat menelurusi bahasa Indonesia, pencarian padanan kata, penyaduran dari bahasa Inggris dan bahasa lain, juga yang tidak kalah penting, bagaimana HA hadir dengan gagah berani mengkritik setiap pengguna bahasa Indonesia yang tidak teratur atau yang melecehkan bahasa Indonesia.

Julukan yang disematkan terhadap orang yang berjasa di setiap zaman, cukup sering kita dengar dan saksikan, baik dengan sebutan “pahlawan”, “pendekar”, “ksatria”, dan semacamnya. Istilah “pendekar bahasa” sendiri dalam buku HA lumayan berkesan seperti pahlawan, pakar, dan orang yang cukup bergelut setiap saat dengan tata bahasa. HA mengutip Harimurti Kridalaksana, begini: “Pendekar bahasa merupakan sarjana dalam bidang di luar ilmu bahasa (Indonesia), antara lain, Prof Johanes, Prof Like Wilardjo, Hadyana Pudjaatmaka, Prof Mien Rivai, dan M M Purbo-Hadiwidjoyo.” (hlm. 4).

Nama-nama di atas, dianggap sebagai orang yang sangat peduli dengan bahasa Indonesia, meskipun tidak berangkat dari ilmu bahasa. Mungkin, hari ini kita menjumpai Ivan Lanin, yang digadang-gadang sebagai pendekar bahasa. Iya, mungin karena hampir setiap hari konten yang ditampilkan di media berkenaan dengan bahasa Indonesia. Di sini, HA tidak menjelaskan definisi final tentang “pendekar bahasa”. Ia hanya membahas kiprah sang pendekar bahasa.

Dalam esai yang berjudul “Melecehkan Bahasa Indonesia”, HA menyebut bahwa salah satu cara melecehkan bahasa Indonesia melalui kegiatan literasi seperti pameran buku, diskusi, dan seminar dengan cara menamai acara tersebut menggunakan bahasa Inggris (hlm. 110). Ada banyak contoh kegiatan literasi yang menggunakan judul bahasa Inggris di acara formal. Baik yang diselenggarakan oleh komunitas literasi, kampus, maupun pemerintah. Ini bagian dari kita melakukan kebaikan tetapi dengan cara yang buruk, seperti bersedekah dari uang hasil mencuri.

Dari dua puluh sembilan esai, HA cukup intens mengobrak-abrik bahasa Indonesia yang digunakan oleh pihak-pihak terkait. Selain itu, HA mengutip Harimurti yang menyebut bahwa Ki Hajar Dewantara, M Tabrani, Soemanang, dan Soedarjo sebagai pendekar bahasa Indonesia pertama (hlm. 21). Di mana Ki Hajar menyampai prasaran tahun 1916 dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda, bahwa bahasa Melayu menjadi bahasa yang cocok dan relevan di wilayah Hindia Belanda. Inilah sumbangsih nyata dari sang pendekar untuk mencetuskan bahasa Indonesia di tengah penjajahan masih berlangsung.

Di sisi lain, M Tabrani, laki-laki berdarah Madura ini, mengusulkan nama bahasa Indonesia pada Kongres Pemuda 1 dan 2 Mei 1926. Selebihnya dua tokoh lain juga tak kalah pentingnya dalam peradaban bahasa Indonesia. Hari ini, kita tidak akan menemukan generasi emas dalam bahasa Indonesia, seperti yang dilakukan oleh empat tokoh tersebut. Bukan semata-mata kehilangan generasi cerdas dan berbakat. Melainkan, momentum Kongres Pengajaran Kolonial dan Kongres Bahasa Indonesia 1 tidak akan terulang kembali.

Maka dari itu, sebagai generasi penerus, sudah sepatutnya kita mengambil “jurus-jurus” empat pendekar tersebut untuk mengembangkan dan mengawal bahasa Indonesia. Apalagi, era digitalisasi sangat rentan dengan polemik bahasa. Alih-alih media ditempatkan untuk memperkuat identitas bangsa dengan bahasa, tetapi kita justru mengkonsumsi bahasa asing mati-matian dan melupakan bahasa Indonesia. Inilah saatnya, untuk menundukkan kepala dengan khidmat. Merenungkan perjuangan para pendekar bahasa, kemudian kita bertindak untuk melanjutkan warisan bahasa di era digital.

Selamat bermusyawarah!

Yogyakarta, 2021.

Data Buku

Judul               : Pendekar Bahasa
Penulis             : Holy Adib
Penerbit           : Basabasi
Cetakan           : Pertama, November 2019
Tebal               : 176 halaman
ISBN               : 978-623-7290-39-1

Multi-Page

Tinggalkan Balasan