Alkisah, di sebuah pesantren di ujung Pulau Sumatera. Pada suatu hari, di pengujung malam menjelang fajar. Saat suasana masih begitu hening, udara masih begitu bersih, dan bintang-bintang nampak begitu gemerlap di angkasa, seolah menyapa pada dunia. Pagi sebentar lagi tiba.
Sang Kiai pagi itu melihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30. “Sebentar lagi waktunya adzan,” gumamnya.
Lalu, Kiai menuju ke asrama untuk membangunkan petugas adzan subuh hari itu. Sebut saja Solikin, yang akrab dipanggil Kang Sol oleh kawan-kawan santri. Sebagai salah satu santri tertua di pesantren, Solikin terkenal begitu taat dan takzim pada Kiai.
Saat mendengar suara gesrekan sendal Kiai di depan biliknya, ia langsung jenggirat bangun dan mengambil kopiahnya, mengucek-ucek matanya sambil berpura-pura kalau sudah bangun dari tadi. Solikin pun keluar dari biliknya.
“Lho, sudah bangun, Kin?” tanya Kiai.
“Sudah, Bah Kiai.”
“Lha mau ke mana?”
“Adzan, Kiai,” jawab Solikin.
Padahal, sebenarnya Abah Kiai pun tahu bila Solikin baru saja bangun tidur, dan memang belum berwudhu. Tampak dari wajah kusutnya dan belek yang tertinggal di matanya.
“Solikin…?” panggil Abah Kiai pada solikin yang masih mencari-cari sendal untuk berjalan ke surau.
“Saya, Abah Kiai.”
“Orang adzan itu, walaupun tidak punya wudhu, hadast kecil, pun boleh, meskipun makruh (hukumnya). Tapi, mbok ya….”
“Tapi kenapa Abah Kiai?”
“Kalau adzan mbok ya sarungan. Masa sudah kopiahan, kemejan rapi, sarungnya ndak dipakai….”
Seketika Solikin meraba bagian bawahnya, dan benar saja, tak terasa ada kain sarung membungkus bagian bawa tubuhnya. Pahanya yang penuh bulu yang terasa saat ia sentuh. Berarti benar, teguran Abah Kiai.
Tanpa berkata lagi, Solikin segera berlari kembali masuk bilik dan segera mengenakan sarungnya. Ia hendak bergegas menuju mushola.
“Sol, ditarhimi dulu ya, adzan masih lima menit lagi,” timpal Abah Kiai sambil melihat jam di tangannya.
“Inggih, Abah Kiai.”
Sesampainya di mushola, ia langsung melantunkan sholawat tarhim. “Assholaatu wassalaamualaaaaiiiiik….Yaa imaamal mujaahidiiiiiin.”
Meski suaranya tak begitu enak didengar, namun Solikin begitu rajin bertugas sebagau muazin subuh di pesantren. Justru, karena suara sembernya itulah yang membuat santri mudah terbangun.
“Shollalloohu ‘Alaiiiiik….Wa alaaa alika waashaabika ajma’iiin,” terdengar lantunan tarhim sudah selesai. Para santri pun mulai bangun, mengenakan sarung, mengambil air wudhu, lalu berangkat ke mushola untuk berjamaah subuh.
“Allohu akbar allooohuakbar,” kini sudah waktunya adzan, dan Solikin semakin menyaringkan suaranya, membuat bising kuping para santri yang berat untuk bangun pagi itu.
“Hayya alal falaaaaaaaah… hayya alal falaaaaaaaah… assholaaatu wassalaaamualaaiiiiiik.”
Terdengar suara Solikin yang salah mengumandangkan adzan, lafadz assholatu khoirum minannauuum malah ia ganti assholaatu wassalaamualaik. Mungkin karena barusan ia membaca tarhim. Sontak, para santri yang masih di asrama, maupun yang sedang berjalan ke mushola, pun tertawa terpingkal meski baru saja bangun.
“Eh, Kang Sol, adzannya salah. Ha-ha-ha… !!”
Sementara itu, d imushola Solikin terdiam, entah karena malu hingga tak mau melanjutkan atau sebab ia benar-benar lupa, dan masih berusaha mengingat-ingat kesalahannya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak ada orang yang bisa ia tanyai. Sampai kemudian, dari bilik shaf jamaah putri terdengar suara Bu Nyai yang ternyata sedari sebelum subuh sudah berada di mushola untuk qiyamullail.
“Yang benar assholaatu khoirumminannauuuum. Lupa, to, Kin?”
“He-he, inggih, Bu Nyai,” jawab Solikin dengan rasa malu. Lalu ia lanjutkan adzannya yang terjeda karena lupa, “Assholaatu khoirumminannauuuum….”
Solikin pun melanjutkan adzannya sampai selesai, dan sesaat kemudian shaf di mushola sudah penuh para santri yang berjamaah subuh.