Misteri Beras Mbah Wali

1,401 kali dibaca

Tak ada yang tahu pasti dari mana Mbah Saben berasal. Pakaiannya yang compang-camping itu selalu membikin aku penasaran. Aku berspekulasi bahwa ia adalah seorang wali. Sebagai orang lapangan, aku tahu sedikit banyak tentang aktivitasnya. Setiap malam, ia selalu datang ke rumah-rumah orang miskin, menaruh sekantung beras di setiap teras rumah.

Zaman terlampau hedonis seperti ini, siapa yang mengira masih ada orang seikhlas Mbah Saben yang memberi tanpa ada keinginan untuk diketahui seorang pun? Aku pun, andaikata Mbah Saben tahu bahwa aku telah mengetahui aktivitasnya itu, tak lama pastilah ia akan pindah tempat.

Advertisements

Sebab, jauh hari sebelum aku menyaksikannya membagi-bagikan beras itu, ia berkata: “Aku hanya seorang gelandangan, Le. Bila aku menetap di sebuah tempat dan ada yang mengetahui kesejatian diriku, atau paling tidak tahu tentang kebaikanku, tak lama aku akan pindah dari tempat itu.”

Maka aku memilih untuk berlagak tidak mengerti.

Perkataan itulah yang membuatku penasaran tentang sosoknya. Sejak itu, setiap malam aku menjaga pos ronda sambil memerhatikan aktivitas Mbah Saben. Itupun dengan sembunyi-sembunyi. Sudah sekitar tiga bulan ini aku selalu menyaksikannya membagi-bagikan beras tiap malam.

Malam itu, bersama teman-teman, aku duduk di pos ronda sambil menyaksikan pertandingan sepak bola antara Manchester United dan Real Madrid. Kami saling teriak membabi-buta. Dan di tengah kebisingan teriakan itu, kulihat Mbah Saben berjalan membelakangi kami. Ia mengenakan baju hitam bercelana hitam, dan sebagaimana biasa; rambutnya yang putih tak beraturan itu menyembul menambah kewibawaannya.

“Mbah,” sapaku padanya dengan suara agak keras. Baru malam ini aku berani menyapanya semenjak tiga bulan lalu meyakini bahwa Mbah Saben bukanlah orang sembarangan. Ia tidak sekadar orangtua dan gelandangan seperti perkataannya, tetapi orang yang berhati malaikat.

Mbah Saben diam saja sembari tetap berjalan.

“Mbah…!” Aku menyapanya lagi dengan suara lantang karena mungkin dia tidak mendengar.

Ia menolehkan wajah kepadaku. Dari sorot matanya, dia terlihat gugup. Sebentar sekali ia menoleh, dengan cekatan, lalu kembali menatap tanah dan berjalan lagi tanpa mengindahkanku. Kali ini, ia berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Aku dibuat penasaran dengan tingkah Mbah Saben.

Aku ingin mengetahui dari mana ia mendapatkan beras dan dibagi-bagikan kepada orang miskin di desa. Setahuku, ia tidak pernah bekerja. Selama tiga bulan menetap di masjid, ia diam saja di teras masjid tanpa pernah sekalipun mengajak warga bicara.

Sebenarnya, warga dekat masjid telah dibuat geram oleh tingkah Mbah Saben karena ia tidak ramah sama sekali. Jangankan ramah, tersenyum pada warga yang melemparkan senyum padanya saja ia tidak mau.

Pernah pada suatu siang, ketika kemarahan warga sekitar masjid telah memuncak, Pak Ragio, kepala RT, mewakili kegeraman warga mengusir Mbah Saben secara terang-terangan.

“Kamu ini manusia apa bukan? Pendatang baru di kampung orang mbok yang punya tatakrama dan adab!”

Tak kepalang tanggung, banyak warga yang menyaksikan pengusiran itu. Mereka juga bersorak-sorak seiring suara Pak Ragio meninggi. Tak ada ketakutan barang sedikitpun, Mbah Saben diam sama sekali. Wajahnya menunduk menatap lantai masjid.

Aku yang sedang menonton acara televisi di rumah karena mendengar sorak-sorak ramai pun keluar dan mendekati sumber suara. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat mereka sedang meneriaki Mbah Saben. Kuamati Mbah Saben yang lunglai menghadap ke lantai itu.

Apakah Mbah Saben merasakan kesedihan? Atau, memang seperti ini tindakan desa-desa sebelumnya yang dikunjungi Mbah Saben? Batinku bertanya-tanya. Kulihat di sekitarnya. Duh, Tuhan, mengapa di antara sekian banyak warga yang ikut serta dalam pengusiran ini adalah orang-orang miskin yang tidak menyadari bahwa beras yang setiap pagi mereka nikmati itu adalah pemberian Mbah Saben? Seperti inikah memang lazimnya manusia; tak menyadari kebaikan orang lain sebab terhalang oleh pikiran busuknya sendiri?

“Gara-gara orang tua itu, anakku tak mau ngaji lagi di masjid!” teriak salah satu warga.

“Suamiku juga tak mau jemaah di masjid!”

Semakin lama, yang keluar dari mulut mereka kian tak terkendalikan. Tetapi, Mbah Saben diam saja. Aku terpaku. Aku bimbang antara mau mengatakan kebenaran ini atau tidak. Akhirnya, aku diam seribu bahasa. Mematung dan terkatung di antara kebimbangan. Jika aku mengatakan kebaikan Mbah Saben, maka bisa dipastikan Mbah Saben akan pindah dari desa. Tiada masalah bagiku. Tapi bagi orang-orang miskin? Bagaimana nasib mereka nantinya ketika tak ada beras lagi dan mereka tidak memiliki stok beras? Susah, bukan? Kawan, apa yang akan kau lakukan ketika berada di posisi sepertiku saat ini?

Tapi keadaan memaksaku untuk mengatakan kebenaran itu, Kawan. Aku tidak kuat melihat Mbah Saben diam mematung seperti itu. Aku kemudian menghampirinya dan memeluknya. Warga yang melihatku seakan-akan membela Mbah Saben pun terdiam. Tak ada sorak sebentar. Pada hening yang sebentar itu, aku melantangkan suara: “Kalian harus tahu! Kalian Harus tahu!” Aku tak kuat melihat Mbah Saben lunglai. Air mataku pecah.

“Beras yang ada di depan rumah kalian adalah pemberian Mbah Saben!” Bodoh! Bodoh kalian semua memperlakukan Mbah Saben seperti ini….” Aku benar-benar menangis. Sejadi-jadinya. Mungkin, itu adalah tangisan paling histeris dalam hidupku.

“Omong kosong!”

“Omong kosong!”

Begitulah tanggapan warga yang semakin banyak jumlahnya. Perkara pengusiran Mbah Saben pada hari itu ternyata membuat hampir seluruh warga desaku berkumpul di depan masjid.

Aku lemas. Ternyata kebenaran yang kusampaikan tidak dapat meredakan kebencian warga kepada Mbah Saben. Aku sangat muak sekali dengan perlakuan ini. Dan yang harus kujunjung tinggi jauh melebihi kemuakan adalah empatiku pada orang-orang miskin. Pikirku: Aku tidak punya banyak harta untuk kusedekahkan pada mereka, tetapi apa salah bila bila aku memperjuangkan ini?

Ketika sedang bergelut dengan pikiran itu, Mbah Saben menepuk pundakku. Ia bangkit dari duduknya dan mengisyaratkan agar aku mendekatkan kepala. Aku mendekatkan kepala. Ia dekatkan bibirnya pada telingaku. “Tiga hari lagi, tolong, gubukku setiap jam satu malam, Le,” bisiknya lirih. Aku tidak paham maksud perkataan Mbah Saben karena suara sorakan warga yang semakin keras.

“Apa Mbah? Saya tidak mendengarnya. Berisik,” timpalku dengan suara keras.

“Tiga hari lagi, tolong ambil beras di bawah gubukku setiap jam satu malam. Kamu bagikan pada orang-orang yang membutuhkan, Le.” Kali ini aku mendengarnya. Mbah Saben lalu beranjak berjalan menjauhiku dan kerumunan warga yang mengusirnya.

“Setiap hari, Le!” teriaknya dari jarak yang belum jauh dariku.

Dan siang itu, Mbah Saben telah benar-benar pergi.

***

Malam ketika sedang berziarah di salah satu makam waliyullah, aku melihat Mbah Saben tersenyum kepadaku. Sontak aku berteriak memanggilnya. Ia melambaikan tangannya. Aku berlari mendekatinya. Tak jauh dari jaraknya melambaikan tangan, tiba-tiba sudah hilang dari pandanganku. Dan alangkah kagetnya aku karena tepat di bawah bekas Mbah Saben berdiri adalah sebuah makam tua. Nisannya telah tertutupi tanah. Aku menggosoknya. Terpahat di nisan itu: Abdullah bin Nur alias Mbah Saben.

Begitulah kemudian aku menceritakan cerpen ini sebagi bentuk karomah dari beliau. Sedang beras wasiatnya hingga kini masih bisa dinikmati orang-orang miskin di desa kami. Duh, siapa sebenarnya Engkau, Mbah?

ilustrasi: detik.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan