MISALKAN PAGI KITA DI GUNUNG

1,410 kali dibaca

MISALKAN PAGI KITA DI GUNUNG

Misalkan pagi kita di gunung
Kau pandangi mentari seperti terbit di belakang punggung
Misalkan sore kita di lautan,
Kau pandangi mentari seperti tenggelam menuju kelam

Advertisements

Maut kini seumpama gelombang saat malam tiba;
Datang bergantian seperti sudah biasa,
Tetapi pagi di sini amatlah tenang
berbaris sajak tertulis, meski perasaan datang dan terbuang

Cerita di lautan tak akan surut
meski keadaan sedang pasang,
nelayan bercerita tentang kematian
bukan hanya nyawa, namun juga perihal nasib,

tetapi lihatlah. . .
Orang-orang dengan tenang
membuang kesialan di atas terumbu karang,
lalu diombang-ambingkan gelombang

Jangan hujan dulu di pantai kami
Puisi belum terbuat dan kau sudah pergi
Biarlah senja mengambang di sore hari
Kau nikmati dan pandangi, sampai tiba kau kembali–ke surga yang abadi.

RUMAH TANGGA

Kita senantiasa kesulitan mengungkapkan perasaan melalui kata-kata;

“Lebih baik pulang sebelum hujan tiba,
dari pada berteduh setelah terlanjur basah”

Kita saling berbagi kisah–perihal kehidupan dengan ungkapan dan perasaan masing-masing,
Meski dengan nada dan bahasa yang paling asing

Kita saling bertukar problematika–dengan penyelesaian masing-masing,
Meski jalan keluarnya berputar-putar bagai gasing

Kita sudah saling membuka pintu ketika pagi tiba,
tatkala mentari memancarkan sinarnya

Kita sudah saling membuka jendela, tatkala pelangi tampak, seusai hujan reda

Kita sudah sama-sama menyiram dan merawat harapan-harapan, agar langkah ke depan tak mencekam

Kita sudah saling menulis dan membaca dengan apa yang sudah kita tulis dan kita baca.

Aku menulis tentang gerimis
dan kau membaca tentang senja.

Kita sudah belajar tentang bagaimana menyelesaikan permasalahan–tidak dengan hati yang panas, tapi dengan kepala yang dingin.

Harusnya kita tidak selalu menyalahkan takdir, untuk hanya hal-hal yang merugikan,
tapi tidak dengan hal yang menguntungkan, sebab takdir berjalan mengikuti iramanya.

Kita bukan lagi engkau dan aku yang bersatu–sebagaimana dahulu.

Tapi kata ‘kita’ sudah saling menempuh jalan masing-masing,
Takdir sudah mengubah ke jalan keyakinan.
Kau dengan kebahagiaan dan kesedihanmu sendiri.

Kau tempuh di jalan yang lain, kau tulis dalam cerita yang lain, kau buka pintu dan jendela yang lain, kau rawat harapan yang lain.

Katamu, ada rumah yang lebih indah dari rumah yang kita buat dalam cerita-cerita kita,
; yaitu rumah tangga

Raja akan bertemu ratu
Pangeran akan bertemu tuan putri
Akan jadi kegoncangan jika tidak sekufu
dalam pertalian sanad kerajaan

Dan cerita telah benar-benar berakhir.

KONFRONTASI DHOHIR BATIN

Tak ada yang patut diperbincangkan
dalam sore kita yang dingin ini,

Kehangatan di bulan-bulan lalu
lenyap begitu saja, berganti desember
dengan dingin berangin,
dengan lubang-lubang menganga,

dengan luka-luka terbuka,
dengan syukur yang apa adanya,
dengan keluh kesah
yang luar biasa adanya,

Begitu sudah nampak biasa, kita melihat

pemandangan orang membangun,
dan merobohkannya begitu saja, orang menyucikan, dan menodainya dengan darah.

Mengapa kau masih saja
menghadapkan wajahmu ke barat,
menanti senja
di tengah hujan badai,

Sudahlah, ini hanya ilusi,
konfrontasi dhohir batin.

ilustrasi: wayan wirawan, kompas.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan