Merindukan Pendidikan Inklusif di Pesantren

4,586 kali dibaca

SECARA BEBAS, inklusivitas dapat dipahami sebagai sebuah pengakuan, penghargaan atas eksistensi serta penghormatan atas perbedaan dan keragaman. Dengan demikian, masyarakat yang inklusif dapat diartikan sebagai sebuah masyarakat yang mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan mengakomodasinya ke dalam berbagai tatanan masyarakat.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan keberagaman adalah keragaman budaya, bahasa, tingkat ekonomi, termasuk juga perbedaan kemampuan fisik/mental yang selanjutnya disebut dengan difabilitas. Prinsip-prinsip inklusivitas sebenarnya telah ada sejak dahulu dalam tatanan masyarakat kita. Nilai-nilai kegotong-royongan, tenggang rasa, serta toleransi tumbuh dan diajarkan oleh leluhur kita. Nilai-nilai tersebut adalah prinsip-prinsip dasar masyarakat inklusif untuk menjamin terpenuhinya hak-hak difabel, di antaranya hak untuk memperoleh pendidikan inklusif.

Advertisements

Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang tidak diskriminatif. dalam setting pendidikan inklusif, anak mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan, termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pasal 40 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, menegaskan, bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi pendidikan untuk penyandang disabilitas di setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai kewenangannya.

Pemenuhan hak itu dilakukan melalui pendidikan inklusif dan pendidikan khusus. Selain mendirikan sekolah luar biasa di berbagai daerah, pemerintah juga menetapkan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusi. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi adalah sekolah-sekolah umum yang menerima dan memberikan layanan kepada ABK . Penulis memandang bahwa difabel merupakan salah satu kelompok masyarakat yang belum terwakili suaranya secara adil dalam dunia pendidikan pesantren, khususnya penyandang disabilitas fisik yang dalam kesehariannya menggunakan alat bantu jalan.

antara

Penulis pernah menampung keresahan salah satu ABK –sebut saja F asal Salatiga, Jawa Tengah. F menggunakan kursi roda dan tahun ajaran ini masuk ke jenjang SMU kelas X setelah menamatkan belajar di sebuah SMP inklusi dan SDLB di Surakarta. F mengalami dilema karena sangat berharap bisa masuk pondok pesantren agar bisa mendapatkan pendidikan agama yang baik, namun tidak ada pondok pesantren di Solo Raya yang dapat menerimanya karena keterbatasan akses. Sarana penunjangnya minim dan tidak memenuhi syarat untuk kemandirian dan kebutuhan sehari-hari F. Sedangkan, pondok pesantren yang memiliki sarana yang memadai dan membuka program inklusi terlalu jauh dari kota asal keluarganya.

KH Sahal Mahfudz (alm) dalam sebuah seminar “Memahami Karakter Islam di Pesantren” Yogyakarta 2005 menyampaikan pandangan bahwa ada empat karakter yang dimilki pesantren yaitu: 1) Teguh dalam hal aqidah dan syariah; 2) Toleran dalam hal syariah dan tuntunan sosial; 3) Memiliki dan dapat menerima sudut pandang yang beragam terhadap sesuatu permasalahan sosial; 4) Menjaga dan mengedepankan moralitas sebagai panduan sikap dan perilaku keseharian.

Dunia pesantren mengajarkan para santri untuk toleran, mandiri, bijak dalam mengambil keputusan, selalu menerima perbedaan, dan bersikap moderat. Nilai-nilai yang diajarkan di pesantren tersebut sangat sesuai dengan tujuan pendidikan inklusif untuk mensukseskan pendidikan untuk semua atau dikenal dengan Education For All (EFA), yaitu pendidikan yang merata untuk semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, pendidikan di pesantren seharusnya juga disadari oleh semua –termasuk pengelola pondok pesantren— sebagai hak mendasar yang sudah semestinya menjadi hak semua anak, tanpa kecuali ABK. Menurut paradigman baru pendidikan sekarang ini, bahwa inklusivitas dalam pembelajaran berhasil meningkatkan mutu sekolah.

Mengakhiri tulisan ini, penulis berpandangan bahwa secara mendasar, prinsip-prinsip yang melandasi terwujudnya masyarakat inklusif telah menjadi bagian dari tatanan masyarakat Indonesia dan pesantren. Dengan demikian, membangun lingkungan pesantren yang inklusif bagi difabel tidaklah rumit, karena nilai-nilai inklusif sudah menjadi nilai yang diajarkan pesantren selama ini. Ranah yang harus disiapkan untuk terwujudnya inklusivitas adalah kebijakan yang mendukung serta memberikan jaminan sarana dan prasarana untuk mewujudkan harapan atas kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan