Di tengah arus globalisasi yang memicu fragmentasi identitas, masyarakat multikultural menghadapi dua tantangan besar, radikalisme yang mengeras dalam klaim kebenaran absolut dan Islamofobia yang menyuburkan prasangka. Keduanya menjadi ancaman serius bagi koeksistensi.
Dalam konteks ini, konsep ummah wasath (komunitas moderat) dalam Islam, filsafat toleransi Ibn Arabi, serta inisiatif seperti Dokumen Persaudaraan Manusia (2019) menawarkan perspektif segar tentang bagaimana moderasi dan dialog antaragama dapat menjadi solusi struktural.

Jalan Tengah
Konsep ummah wasath termaktub dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 143), yang menekankan prinsip keseimbangan, keadilan, dan penolakan terhadap ekstremisme.
Dalam konteks globalisasi, di mana polarisasi ideologi menguat, ummah wasath tidak sekadar jargon teologis, melainkan kerangka etis untuk merespons kompleksitas masyarakat plural.
Menurut cendekiawan seperti Abdullah Saeed, globalisasi memicu dua reaksi berlawanan. Sebagian kelompok memilih isolasi dengan menebar narasi eksklusivis, sementara lainnya larut dalam relativisme budaya. Ummah wasath hadir sebagai jalan tengah yang mengakui keragaman tanpa kehilangan identitas, serta menolak radikalisme maupun asimilasi buta.
Fungsi sosial ummah wasath terlihat dalam praktik komunitas Muslim di negara multikultural seperti Indonesia. Di sana, nilai tawassuth (moderasi) diterjemahkan dalam kerja sama antarkelompok agama, seperti pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Namun, tantangan tetap ada; bagaimana memastikan konsep ini tidak direduksi menjadi alat politik, melainkan benar-benar menjadi gerakan kultural yang melibatkan semua pihak.
Filsafat Toleransi yang Terlupakan
Pada abad ke-13, Ibn Arabi, sufi besar Andalusia, telah menggagas filosofi toleransi berbasis wahdat al-wujud (kesatuan eksistensi). Baginya, semua agama adalah manifestasi singularitas Ilahi yang sama, hanya berbeda dalam ekspresi.
Dalam Fusus al-Hikam, ia menulis, “Hati seorang beriman harus cukup luas untuk menerima semua bentuk kepercayaan.”
Pandangan ini bertolak belakang dengan narasi eksklusivis yang mendominasi wacana keagamaan kontemporer, seperti kelompok yang menafsirkan teks agama secara literal dan menafikan legitimasi keyakinan lain.
Dalam konteks tersebut, pemikiran Ibn Arabi relevan untuk menjawab radikalisme dan Islamofobia. Radikalisme sering lahir dari penafsiran dikotomis “kita” vs “mereka”. Sementara, Islamofobia muncul dari ketidaktahuan akan kompleksitas Islam.
Filosofi Ibn Arabi mengajak manusia melampaui batas formalisme agama, menemukan titik temu dalam spiritualitas universal. Namun, tantangannya adalah mengadaptasi pemikiran sufistik ini ke dalam bahasa yang mudah dicerna masyarakat modern, tanpa mengaburkan kedalaman maknanya.
Peta Jalan Dialog Lintas Agama
Pada 2019, dua pemimpin agama dunia, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Ahmed Al-Tayyeb, menandatangani Dokumen Persaudaraan Manusia di Abu Dhabi. Dokumen ini tidak hanya simbolis, tetapi juga operasional, menyerukan perdamaian, pengakuan hak-hak perempuan, serta penolakan terhadap instrumentalisasi agama untuk kekerasan. Salah satu poin krusialnya adalah penekanan pada “kebebasan berkeyakinan” sebagai hak asasi yang tak bisa dikompromikan.
Dokumen tersebut menjadi contoh konkret bagaimana dialog antaragama dapat melampaui retorika. Di Mesir, inisiatif ini diikuti dengan pembukaan gereja dan masjid secara berdampingan di wilayah konflik. Namun, efektivitasnya bergantung pada komitmen politik dan dukungan masyarakat sipil. Misalnya, di Eropa, dokumen ini bisa menjadi alat melawan Islamofobia dengan mendorong pendidikan multikultural di sekolah.
Moderasi sebagai Proyek Utama
Radikalisme dan Islamofobia adalah dua sisi yang sama. Keduanya lahir dari ketidakmampuan merayakan perbedaan. Konsep ummah wasath mengingatkan kita bahwa moderasi bukanlah sikap pasif, melainkan aksi aktif menegakkan keadilan.
Warisan Ibn Arabi mengajak manusia melihat agama sebagai jembatan, bukan tembok. Sementara Dokumen Persaudaraan Manusia membuktikan bahwa otoritas agama bisa bersinergi, bukan bersaing, era di mana algoritma media sosial memperdalam ruang gema. Tugas bersama umat beragama adalah melawan narasi kebencian dengan memperkuat literasi multikultural. Moderasi beragama bukan akhir perjalanan, tetapi kompas untuk terus bergerak menuju koeksistensi yang bermartabat.