Menyoal “Hadis Tidur” di Bulan Ramadan

696 kali dibaca

Allah swt menyediakan pahala bagi orang yang istikamah dan rajin dalam menjalankan ibadah dan kesalehan sosial selama bulan Ramadan. Maka dari itu, bersungguh-sungguhlah dalam menjalankan aktivitas ibadah di bulan Ramadlan. Sebab, Allah akan melipatgandakan pahala tersebut dengan berlipat-lipat.

Bulan Ramadan yang tidak dihiasi dengan amal ibadah dan amal sosial ibarat menempati rumah mewah yang kosong. Sekilas memang istimewa, namun sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Apalagi jika bulan Ramadan kita jalani hanya dengan tidur-tiduran, itu sama saja seperti orang yang ingin menjadi orang kaya tapi tidak bekerja atau orang yang ingin pintar tapi tidak belajar.

Advertisements

Mana mungkin menjadi orang kaya tanpa bekerja? Menjadi orang pintar tanpa belajar? Menginginkan masuk surga namun tidak beramal? Hal yang seperti itu hanya akan menjadi angan-angan saja selama tidak ada tindakan.

Jangan sampai kita terpedaya dengan sebuah hadis yang berbunyi, Tidurnya orang puasa adalah ibadah.

Seringkali kita mendengar hadis tersebut di telinga kita, sehingga orang yang mendengar sekilas tanpa mendalami makna dari hadis tersebut pasti akan lebih memilih tidur daripada beribadah. Padahal, tidak ada satupun hadis yang berbicara tentang perintah untuk tidur ketika bulan Ramadan.

Pemahaman yang keliru dalam memaknai hadis tersebut menyebabkan penilaian yang negatif dalam masyarakat Islam, sehingga lebih banyak umat Islam yang memilih beristirahat atau tidur-tiduran ketika berpuasa daripada bekerja.

Setidaknya ada dua argumen yang ingin penulis sampaikan untuk mematahkan pemahaman yang salah dalam memaknai hadis tersebut. Pertama dari sisi sanad. Hadisnya adalah: Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni (HR Baihaqi).

Dari segi sanad, hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Aufa. Dalam rangkaian sanadnya ada Ibnu Hasan dan Sulaiman Ibn an-Nakhai. Menurut para ahli, kapabilitas Ibnu Hasan dinilai dlaif dan Sulaiman lebih dlaif lagi. Itulah sebabnya hadis tersebut tidak bisa dijadikan dalil. Sebab, dari segi sanadnya saja terdapat perawi yang dinilai dlaif dan dlaif jiddan.

Kedua, kontradiksi dengan hadis lain. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Huzaimah, Rasulullah bersabda yang artinya, Wahai manusia! Telah datang menaungi kamu bulan yang agung, bulan yang diberkahi bulan yang di dalamnya ada satu malam lebih baik daripada 1.000 bulan. Allah menjadikan puasanya sebagai kesunahan. Barangsiapa yang melakukan satu macam kebaikan di dalamnya, maka dia seperti melakukan kewajiban fardhu di luar Ramadhan. Barangsiapa yang melakukan satu kewajiban di bulan Ramadhan, maka dia seperti menjalankan 70 kewajiban di luar bulan Ramadhan. Ramadan adalah bulan kesabaran (ketekunan) dan sabar pahalanya adalah surga. Ramadan adalah bulan kasih sayang, bulan di mana rezeki orang beriman ditambah-tambah.

Dari hadis tersebut dapat kita simpulkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memperbanyak ibadah di dalam bulan Ramadan. Karena, jika kita mengerjakan satu kewajiban saja di dalam bulan Ramadan itu sama saja mengerjakan tujuh puluh kewajiban di luar bulan Ramadlan.

Maka, logika dari hadis yang pertama tadi, jika tidur saja dihitung ibadah, bagaimana jika kita melakukan amalan-amalan yang lain? Sudah tentu Allah akan melipatgandakan pahala dari amalan-amalan yang kita kerjakan tersebut.

Oleh karena itu, mari kita tingkatkan kualitas dan kuantitas amal ibadah kita dalam bulan Ramadan ini. Semoga Allah melipatgandakan apa-apa yang telah kita kerjakan. Aamiin ya Rabbal Alaminn. Wallahu Alam bi al-Showab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan