Menyelami Kehidupan Pesantren

1,253 kali dibaca

Saya terkadang masih heran, kenapa banyak orang tua yang memilih pendidikan pesantren untuk anak-anaknya. Dipaksa hidup dengan segala peraturan yang ketat, tidak ada ruang untuk berekspresi, dan menjadikan mereka sebagai bahan percobaan sebuah sistem pendidikan. Lagi pula, apa sih istimewanya pesantren?

Mungkin, pilihan orang tua memasukkan anaknya ke pesantren supaya tidak salah bergaul. Hidup di lingkungan yang baik akan membawa mereka menjadi baik. Mengerti ilmu agama, tahu tata krama, dan bisa menjadi seorang ustaz dan diharapkan bisa membawa keluarga mereka kepada status sosial yang lebih tinggi.

Advertisements

Pikiran seperti itu pernah mengganggu saya selama satu tahun pada saat duduk di bangku kelas tiga madrasah tsanawiyah. Bagaimana tidak? Saya dipaksa untuk tinggal di pesantren salaf yang lokasinya hanya satu kilometer dari rumah selama tiga tahun sambil sekolah. Cukup menjengkelkan, memang. Pikiran negatif soal pesantren terus menghantui setiap saat. Sebab, melihat teman sejawat di usia perkembangan yang bisa melakukan banyak hal dan mengetahui banyak hal membuat iri.

Pada masa-masa itu, sempat terpikir kalau cita-cita saya tidak akan pernah terwujud karena paksaan orang tua itu. Saat itu, pesantren hanya mengajarkan bagaimana cara memasak dan memakai sarung. Hampir setiap malam selesai salat isya, sisanya, hanya mendengarkan cermah-ceramah soal keagamaan.

Perubahan yang cukup signifikan mulai terasa saat menginjak bangku sekolah menengah. Banyak menemukan hal baru dan sudut pandang baru soal pesantren. Ada perasaan unik di mana ketika hidup berdampingan bersama banyak orang dengan karakter, suku, dan budaya yang berbeda-beda.

Dengan model pendidikan pesantren semi modern, santri diajarkan soal ilmu-ilmu pengetahuan umum dan soft skill lewat kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka, Paskibra, Bela Diri, IT, Paduan Suara, Protokoler, dan yang lainnya. Selain itu, ada kegiatan mingguan yang harus dilaksanakan oleh semua santri untuk mengasah mental berbicara di depan umum, yaitu muhadarah.

Banyak kegiatan yang bisa dipilih oleh para santri. Saya lebih senang mengikuti kegiatan protokoler, pramuka, dan marawis. Selain belajar ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama, kebutuhan untuk menunjang skill pun bisa terpenuhi. Selain itu, santri tidak perlu repot-repot memasak, karena sudah disediakan makan sebanyak tiga kali dalam sehari. Sempat terpikir, barangkali model pesantren seperti ini lebih baik dibandingkan pesantren salaf di kampung.

Hal yang paling mengejutkan saya temukan ketika duduk di bangku kuliah. Tinggal di pinggiran ibu kota membuat saya sedikit khawatir. Sebab, stigma soal ‘pergaulan bebas’ di kota masih sangat kental dengan nilai-nilai negatif bagi orang-orang kampung. Oleh karena itu, memilih mukim di pesantren adalah alternatif terbaik. Namun, model pesantren seperti ini baru saya temukan.

Meskipun menggunakan sistem pesantren salaf¸ tapi seluruh santrinya adalah mahasiswa aktif yang punya banyak kegiatan di luar pesantren. Ada sudut pandang baru yang akhirnya bisa saya temukan setelah bertemu dengan banyak orang dan melihat lebih luas soal pesantren.

Pertama, setiap pesantren mempunyai ciri khas yang berbeda-beda. Tapi tetap dalam koridor yang sama, sama-sama mendidik santri untuk bisa mengerti ilmu agama. Kedua, meski setiap pesantren punya sistem pendidikan yang berbeda, yang sekarang orang lazim menyebutnya sebagai pesantren model salaf dan pesantren modern (khalaf), kedua sistem itu saling berkaitan satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan. Ketiga, pesantren merupakan miniatur kehidupan sosial dalam ruang lingkup yang sedikit lebih kecil, dan akan berguna untuk kehidupan sosial dalam skala besar di masyarakat nanti.

Kini, stigma negatif tentang pesantren telah berubah menjadi sebuah harapan segar. Selain ilmu agama, ilmu sosial, dan pengetahuan umum, saya juga bisa mendapatkan ilmu bagaimana cara memakai sarung yang baik dan benar supaya tidak gampang merosot. Ilmu lain yang tidak pernah saya pikirkan, bisa mencintai tanpa pernah bertemu dengan orang tersebut. Sangat mengherankan.

Banyak nilai-nilai yang sangat berarti untuk kehidupan sosial yang diajarkan oleh kebiasaan di pesantren. Misalnya mengantre, memahami orang yang berbeda, mentaati peraturan yang ada, menghormati orang yang lebih tua, atau menguatkan mental diri.

Jadi, bagaimanapun pesantren harus bisa menyesuaikan dengan keadaan, kebutuhan, dan perkembangan zaman. Supaya semua nilai-nilai soal kehidupan bisa tersampaikan. Bisa jadi, peradaban selanjutnya bisa berawal dari tahlilan, bagaimana cara memakai sarung, atau bagaimana cara menebarkan cinta kepada orang-orang meskipun tidak bertemu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan