Mensyiarkan Bidah Tahun Baru Hijriah

1,015 kali dibaca

Hari ini umat Islam sedunia merayakan tahun baru Hijriah 1443 yang dianggap sebagai tahun baru Islam. Penetapan tahun baru Hijriah ini sebenarnya tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad. Artinya, pada zaman Nabi tidak ada tahun Hijriah. Beberapa data sejarah menunjukkan, penetapan tahun baru Hijriah baru dilakukan pada masa Khalifah Ummar Bin Khattab.

Bermula dari Sahabat Abu Musa Al-Asy’ari yang kebingungan saat menerima surat yang tanpa tahun. Kemudian, Abu Musa al-Asy’ari, yang saat itu menjadi Gubernur, mengirim surat kepada Khalifah Umar menanyakan masalah tersebut: “Engkau mengirim surat kepada kami tetapi tanpa ada tahun di dalamnya,” demikian antara lain bunyi surat tersebut.

Advertisements

Merespons surat dari Abu Musa, Khalifah Umar kemudian mengumpulkan para sahabat untuk mendiskusikan masalah tersebut. Para sahabat yang hadir, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Saad bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auf, Thlahah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam.

Mereka berdisksusi untuk menyusun kalender Islam. Singkat cerita, akhirnya mereka sepakat kalender Islam dimulai dari tanggal 1 Muharram dengan perhitungan mengikuti perputaran bulan (qamariyah), bukan perputaran matahari (Syamsiyah).

Sebelum penetapan tahun baru Hijriah, tradisi penanggalan bangsa Arab selalu merujuk pada peristiwa besar dan menumental. Dijelaskan oleh Imam Ibn Jauzi dalam al-Muntazham fit Tarikhil Mulk wal Umam, juz 4; 226-227, pada masa sebeum Nabi Mushammad penanggalan dihitung dari peristiwa besar atau kemunculan seorang tokoh. Misalnya, penanggalan dimulai dari peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim sampai diutusnya Nabi Yusuf. Penanggalan ini berakhir sampai munculnya Nabi Musa sebagai utusan. Demikian seterusnya.

Pada zaman Nabi Muhammad, tradisi menetapkan penanggalan dan nama tahun berdasarkan kejadian monumental ini tetap dilakukan, sebagaimana tercermin dalam nama tahun kesedihan (‘amul Khuzny), yaitu tahun untuk menandai wafatnya orang-orang terkasih Nabi; tahun Khandaq untuk menandai peristiwa perang Khandaq; tahun Gajah untuk menandai peristiwa penyerbuan raja Abrahah ke Makkah untuk merusak Kah’bah dengan pasukan Gajah. Di tahun ini pula Nabi Muhammad lahir. Meski tidak ada penetapan tahun, namun perhitungan kalender pada saat itu menggunakan patokan peredaran bulan (qamariyah), sebagaimana tercermin dalam beberapa ayat Al-Quran yang menggunakan hilal sebagai patokan dalam melakukan ibadah.

Jelas di sini terlihat bahwa penetpan tahun baru Hijriah tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad, tetapi oleh para sahabat di masa Khalifah Umar bin Khattab, dengan mengambil peristiwa menumental hijrahnya Nabi sebagai nama tahun. Yang menarik, peristiwa hijrah Nabi sebenarnya bukan terjadi pada bulan Muharram, tetapi pada bulan Shafar. Namun demikian, atas pertimbangan banyaknya peristiwa monumental-religius yang terjadi pada bulan Muharram, akhirnya ditetapkan bulan Muharram sebagai bulan pertama tahun Hijriah. Beberapa fakta sejarah ini juga menunjukkan bahwa penetapan tahun Hijriah ini juga tetap berlandaskan pada peristiwa monumental.

Jika penetapan tahun baru Hijriah tidak dilakukan oleh Nabi, maka jelas-jelas hal ini adalah suatu bidah. Jika hal ini suatu bidah, maka siapa saja yang mengikutinya jelas akan masuk neraka, sesuai dalil “kullu mukhdatsatin bid’ah, wa kullu bid’atin dhalalah, wa kullu dhalatin finnar” (setiap sesuatu yang diada-adakan (baru) adalah bidah, setiap bidah adalah sesat, dan setiap kesesatan akan masuk neraka.

Maka, jika berpijak pada pola pikir kaum Wahabi yang tekstual-puritan, maka jelas perayaan tahun baru (Hijriah) merupakan bidah yang bisa membawa siapa saja yang mengikutinya masuk neraka.

Untuk memperkuat argumen dalam menafsirkan hadis tersebut, kaum tekstualis-puritan Wahabi membuat pernyataan: “Kalau sesuatu itu baik menurut agama, Nabi pasti sudah melakukan.” Ini adalah argumen mereka untuk mengunci setiap argumen yang dilakukan pihak lain dalam melakukan amalan agama yang menurut mereka tidak pernah dilakukan Nabi.

Jika logika kaum Wahabi digunakan, maka penetapan tahun baru Hijriah ini jelas bukan sesuatu yang baik, karena Nabi tidak melakukan hal tersebut.  Kalau penetapan tahun baru Hijriah ini baik, tentunya Nabi sudah melakukan hal tersebut.

Sepintas, logika kaum stektualis-piritas Wahabi ini benar dan akurat. Namun, jika dicermati lebih lanjut hal ini justru bertentangan dengan Islam dan dapat mamatikan Islam. Karena Islam menjadi statis, beku, dan mati. Sebagaimana kita ketahui, realitas adalah sesuatu yang dinamis dan rumit (complicated). Setiap saat akan terjadi perubahan yang menampilkan hal-hal baru dalam kenyataan hidup.

Jika umat beragama dipaksa menjalankan kehidupan yang sesuai dengan konstruksi sosial abad ke-7 Masehi, ini sama saja dengan mengajak manusia tidak bergerak, dan ini artinya agama menjadi mesin penghenti waktu dan penjara kreativitas. Jelas ini bertentangan dengan kredo dan spsirit agama (Islam) itu sendiri yang memerintahkan pemeluknya untuk menggunakan akal dan berpikir kreatif.

Dinamika kehidupan dan perkembangan realitas menuntut manusia melakukan perubahan, termasuk dalam hal tata cara dan pola ibadah, terutama dalam ibadah ghairu maahdlah, yaitu ibadah yang praktik ritualnya  tidak ada juklak dan juknisnya secara baku. Pada ritual ibadah jenis ini manusia boleh berkreasi sesuai zamannya. Inilah yang dilakukan oleh para ulama sehingga lahir ilmu fikih, tasawuf, akhlak, dan sebagainya yang memberikan rumusan-rumusan mengenai praktik ritual ibadah ghairu mahdlah.

Sebaliknya, pada ibadah mahdlah, yaitu ibadah yang praktik ritualnya sudah ada ketentuan pasti, seperti salat wajib, puasa ramadhan, haji, maka tidak boleh dilakukan pembaharuan. Misalnya, mengubah salat wajib menjadi enam waktu, mengubah arah kiblat salat ke Tugu Monas, atau haji dipindah ke Petamburan, dan sejenisnya.

Dengan adanya ruang gerak pembaharuan (bidah) pada ibadah ghairu mahdlah, eksistensi Islam dapat terjaga hingga saat ini, dan umat Islaam dapat melaksanakan ibadah dengan mudah. Sebaliknya, tanpa adanya bidah, agama akan mati dan sulit diamalkan, karena manusia dipaksa menjalani hidup sesuai dengan kondisi abad ke-7.

Jelas di sini terlihat bidah merupakan keniscayaan dalam kehidupan, karena dengan adanya bidah, maka beragama menjadi mudah. Melalui bidah, agama jadi indah. Bidah adalah kreativitas beragama yang membuat umat beragama menjadi kreatif dalam mengekspresikan ajaran agamanya. Tanpa bidah, tak ada tahun baru Hijriah. Oleh karena itu, dalam tahun baru Hijriah, sebaiknya umat Islam mensyiarkan bidah demi menciptakan maslahah dan menjaga hidayah agar agama menjadi semakin indah dan meriah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan