Menemu Humor Gus Dur Tersimpan di Makassar

2,874 kali dibaca

Makassar dikenal sebagai kota yang bersuhu panas. Tanpa hujan, yang ada di ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan itu hanya debu kering sisa pasir pantai. Mungkin juga karena kemarau terlampau panjang.

Tapi itu hanyalah sedikit kesedihan, dibandingkan dengan banyak kesenangan yang saya dapatkan di Makassar. Makassar yang menyenangkan pada akhir Oktober tahun ini. Selain jalan-jalan dan kuliner yang istimewa, saya memiliki pengalaman khusus ketika datang ke Kota Daeng. Saya dengan sedikit “terpaksa” harus sowan ke kediaman KH Sanusi Baco.

Advertisements

Siapa KH Sanusi Baco? Saya tak tahu banyak. Tapi, Google menyelamatkan saya dengan seribu cara. Beliau adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Makassar, sekaligus Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Sulawesi Selatan.

Alasan yang paling tepat kenapa saya menemuinya adalah karena beliau sahabat Gus Dur, panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid. “Kesalahan” saya adalah saya sowan pada jam yang kurang sopan. Sekitar jam 4 sore, ketika matahari sudah mulai lingsir, tak lama lagi adzan maghrib berkumandang. Tapi apa boleh buat, Makassar tidak kalah macet dengan Jakarta. Waktu habis di jalan, tapi saya tak boleh resah. Yang penting niat untuk berkunjung sudah sah.

Saya datang tidak sendiri. Berkunjung bersama teman-teman degan berbagai latar belakang ilmu dan agama. Kami duduk di ruang tamu. Sementara menunggu, teh hangat datang menemani beberapa suguhan di atas meja. Kami duduk berjejer, menanti dengan galau kemunculan Anre Gurutta KH Sanusi Baco. Tak lama, seorang ulama kharismatik hadir di hadapan kami. Menanyakan asal dan tujuan kami hadir bertandang. Anggukan beliau memulai percakapan dalam hening.

“Sudah lama saya tidak berjumpa dengan Gus Dur,” KH Sanusi Baco mengawali ceritanya saat mengetahui latar belakang kami. “Sekitar 70 tahun yang lalu, kami bersama-sama menaiki kapal laut menuju Mesir. Waktu itu saya mendapatkan beasiswa dari Kementrian Agama untuk sekolah ke Mesir. Waktu itu Menterinya adalah Saifuddin Zuhri. Saya adalah perwakilan dari Makassar. Perjalanan menaiki kapal cukup lama, sebulan lebih. Mungkin, kalau Gus Dur tidak ada, suasana kapal akan sangat membosankan. Beliau melawak hampir setiap saat, seakan tidak pernah rela melihat teman-temannya bersedih atau bosan karena perjalanan yang cukup panjang.”

Atiqoh Fitriyah Bersama KH Sanusi Baco

Sesekali KH Sanusi Baco merenung dan melihat ke arah kami. Kami melihat kerinduan yang cukup dalam terpancar dari matanya. Gus Dur yang candanya menghangatkan setiap pribadi yang resah. Bahkan, dari pengakuan sang Anre Gurutta, belum pernah rasanya beliau menemukan sosok Gus Dur ada pada orang lain. Beberapa humor pun terlontar, membuat kami tertawa kecil, demi menjaga diri agar terlihat sopan.

“Kehadiran kalian mengingatkan saya kepada Gus Dur. Dulu sewaktu saya merenung di kamar,  kebetulan saat itu saya rindu kampung halaman karena sudah berminggu-minggu hidup di kapal,  Gus Dur hadir, bertanya kenapa kok merenung? Saya hanya terdiam dan tersenyum.”

Hening sebentar, seperti sedang bernostalgia, sang Anre Gurutta menirukan gaya bicara Gus Dur sambil bercerita

“Si, Sanusi, sini saya ceritain tentang si buta dan si bungkuk. Dulu ada si Buta yang bersahabat dengan si Bungkuk. Persahabatan mereka sangat erat. Suatu hari, si Buta bilang ke si Bungkuk bahwa ia ingin minum air kelapa. Karena sayang, si Bungkuk berusaha mengiyakan permintaan si Buta. ‘Ya sudah kamu tunggu dulu ya, biar aku ambilkan kelapanya’. Terdengar satu suara “grubuk”, lalu si Buta bilang “satu”. Tak lama dari itu “Grubuk”, si Buta bilang lagi “dua”. Hingga berkali-kali. Lalu si Bungkuk bertanya.

“Hei Buta, apa yang sedang kau hitung?”

“Tentu saja kelapa yang jatuh”

“Bodohnya, itu bukan kelapa yang jatuh, tapi aku yang jatuh”.

Sambil tertawa, sang Anre Gurutta menceritakan perihal di Bungkuk dan si Buta, kami pun ikut tertawa lepas setelah mendengarkan kisah tersebut.

Ada banyak kisah yang membuat kami tertawa lepas, hingga saat kami mau pamit karena adzan maghrib telah berkumandang. Ada pesan yang beliau sampaikan yang sangat menyentuh hati kami yang hadir diruang tamu itu.

“Saya sangat bersyukur kalian masih memegang erat tali silaturrahmi. Saat ini manusia semakin modern. Banyak hal bernilai yang seharusnya penting malah dianggap mudah. Banyak nilai-nilai yang dianggap telah bergeser. Teknologi membuat kita berpikir mudah dan terkesan meremehkan sesuatu. Padahal, sesungguhnya nilai tidak pernah bergeser, manusia dan zaman-lah yang bergeser”.

Kata-kata beliau mengakhiri pertemuan singkat ini. Singkat namun membekas. Membuat kami berpikir seribu kali untuk memahami arti nilai dari setiap langkah hidup kami.—

Multi-Page

Tinggalkan Balasan