Memperkaya Mufradat dengan Ngaji Kitab Kuning

485 kali dibaca

Di dunia pesantren, kitab kuning merupakan suatu hal yang tak asing. Santri, dalam kesehariannya, sangat akrab dengannya.

Istilah lain dari kitab kuning ialah kitab klasik, atau dapat juga disebut dengan al-kutub al-qadīmah. Kitab-kitab tersebut tak lain merupakan hasil elaborasi lebih dalam, luas, dan spesifik dari ijtihad ulama, yang disarikan dari dua sumber dan rujukan otoritatif utama, yakni Al-Qur’an dan Hadis.

Advertisements

Secara historis, penamaan kitab kuning dilatarbelakangi oleh ulama klasik zaman dulu yang menuangkan ilmunya dalam kertas berwarna kuning. Sebab, pada saat itu, kertas yang beredar berwarma kuning. Belum ada kertas dengan warna selain itu, termasuk warna putih.

Eksistensi kitab kuning ini sudah ada sejak abad ke-1 dan 2 Hijriyah. Dan, hingga saat ini pun orang-orang masih membukukan kitab menggunakan kertas berwarna kuning, demi untuk tidak menghilangkan ciri khas kitab kuning itu sendiri.

Sebagai salah satu pembelajaran bagi santri yang disampaikan oleh guru, kitab kuning yang kebanyakan menggunakan bahasa Arab ini dimaknai dengan bahasa daerah masing-masing. Tujuannya agar mudah dipahami dan dipelajari. Khasnya lagi, penulisan makna berupa tulisan Arab, dan ditulis di bawah lafaz dengan posisi agak dimiringkan supaya muat ditulis.

Model pembelajaran di pesantren dalam menggunakan kitab kuning, yakni mendengar dan menulis, secara tidak sadar, keterbiasaan ini mampu meningkatkan kemampuan santri menambah mufradat atau kosa kata bahasa Arab. Meski, tak jarang kendala.

Misalnya, kurangnya pemahaman makna bahasa daerah yang dianggap terlalu kuno, sehingga para santri yang hidup di zaman modern kurang mampu memahami makna tersebut. Namun, hal ini dapat pula teratasi jika guru memberikan penjelasan dengan bahasa yang mudah dipahami murid, di samping memaknai dengan bahasa daerah.

Mengaji kitab kuning secara berulang-ulang atau dalam waktu yang lama, sebetulnya, sekaligus mendapat bonus hafal mufradat. Walaupun, lebih tepatnya dapat dikatakan tidak dilakukan secara menyengaja. Mendengar-menulis, merupakan salah satu teknik menghafal dengan mengaktifkan multisensori (lebih dari satu indra). Murid mendengarkan guru memaknai kitab kuning, kemudian murid menuangkan makna yang telah didengar pada kitab kuning.

Dampaknya, di samping penguasaan terhadap ilmu alat, kekayaan mufradat yang dimiliki para santri ini kemudian dapat dipergunakan untuk membaca dan memahami tulisan-tulisan berbahasa Arab, termasuk pula kitab kuning sebagai khazanah keilmuan Islam. Upaya ini setidaknya merupakan kiprah permulaan bagi santri untuk berdakwah di masyarakat luas. Mempelajari, kemudian menyebarkan ajaran-ajaran yang terkadung dalam kitab kuning.

Tentu, proses penguasaan mufradat melalui pembelajaran kitab kuning ini pada umumnya tidak dapat dilakukan secara instan. Perlu ngadep dampar kepada guru dengan waktu yang tidak singkat, atau dalam kitab Alala disebutkan bahwa dalam menuntut ilmu harus ṭūli zamāni, dalam waktu yang panjang, sepanjang hayat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan