Membuat Coretan Demokrasi

835 kali dibaca

“Para kader, mengapa saya harus turun gunung menghadapi Pemilihan Umum 2024 mendatang? Saya mendengar, mengetahui, bahwa ada tanda-tanda Pemilu 2024 bisa tidak jujur dan tidak adil,” kata SBY saat berpidato di acara Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat, Kamis (15/9/2022).

Pada Selasa malam, saya menonton (tidak sengaja) terkait dengan pernyataan SBY di sebuah stasiun televisi TV, TV-One. Sebuah acara “Catatan Demokrasi” yang dihadiri oleh Boni Hargens (pengamat politik), Adian Napitupulu (politisi PDIP), Mamang Abdurrahman (politisi Golkar), Chusnul Mar’iyah (mantan Komisaris KPU), Jansen Sitindaon (politisi PD), dan Mardani Alisera (politikus PKS).

Advertisements

Ada banyak hal yang didiskusikan terkait dengan pernyataan SBY tentang “turun gunung”. Sebagimana jalannya diskusi yang merupakan bagian dari demokrasi, ada pembelaan pun juga ada penyanggahan.

Bagiu saya, pernyataan SBY tidak memiliki efek apa pun. Maksudnya, saya tidak terlalu peduli dengan pernyataan-pernyataan politik. Ini (mungkin) disebabkan karena saya tidak memiliki misson di dalam perpolitikan. Tetapi bukan berarti saya apatis terhadap politik, karena di dalam siyasah itu sendiri bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan (baca: kekuasaan).

Jika kemudian Mukhlisin membuat catatan tersendiri terkait dengan SBY turun gunung, saya melihat bahwa Saudara Mukhlisin ini memiliki ketertarikan khusus terkait politik. Atau jangan-jangan, ia adalah politikus senyap, yaitu politisi yang tidak terungkapkan ke permukaan. Sorry, hanya sebuah reaksi atas catatan yang berjudul “Turun Gunung” di web duniasantri.co. Apalagi, jika dikaitkan dengan referensi yang Mukhlisin miliki, How Democracies Die, karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Sebuah buku yang tidak bisa dibilang mudah, baik cara mendapatkannya maupun teknis memahaminya (?).

Adapun poin yang dapat saya cerna dari Catatan Demokrasi tersebut, bahwa setiap praktisi partai politik memiliki legalitas untuk mengungkapkan keinginannya. Itu artinya bahwa tidak sedikit praktisi partai atau politikus yang memberikan statemen tanpa dasar yang pasti. Pada akhirnya akan terjadi ambiguitas sebagaimana dicerna oleh banyak pengamat. Hal ini tentu bukan hal biasa yang mesti dibiasakan. Meskipun pada akhirnya, seorang politisi akan mempunyai jawaban terkait dengan pernyataannya.

Sebagimana dijelaskan oleh Jansen (politisi PD), bahwa yang dimaksud dengan pernyataan SBY bahwa akan terjadi kecurangan dan ketidak-adilan pada Pemilu 2004 adalah sebagai bentuk preventif, pencegahan agar tidak terjadi kecurangan dan ketidak-adilan. Sehingga sejak awal, sebelum pesta demokrasi digelar, hal-hal yang terkait dengan ketidak-jujuran harus diantisipasi.

Sementara itu, Adian Napitupulu dari partai penguasa (PDIP) mengatakan bahwa pernyataan SBY yang menegaskan bahwa dirinya mendengar, mengetahui, melihat indikasi kecurangan di Pemilu 2004 adalah pernyataan yang harus disertai data. Dan jika memang hal itu ada, maka wajib dilaporkan ke pihak berwenang sebagia impilikasi dari sebuah aplikasi hukum.

Sementara itu, Mardani Alisera, dari politisi PKS mengatakan, “Jika kontestan pemilu dibatasi hanya dua calon bukan terjadi secara alamiah, maka hal tersebut termasuk kecurangan pemilu.” Hal itu karena kontestan yang dibangun atas kepentingan golongan tertentu akan menciderai pesta demokrasi yang semestinya jujur dan adil.

Sementara, Mamang Abdurrahman dari politisi Golkar, mengatakan, “Pernyataan SBY adalah ungkapan politik. Maka ketika sebuah ungkapan masuk ke ranah politik itu menjadi sebuah kewajaran. Tidak masalah ketika hal itu ditanggapi juga dengan pernyataan politik.”

Namun, ketika hal itu ditanggapi orang awam, sebagaimana juga disetujui oleh Mukhlisin, maka hal itu akan melahirkan kegaduhan dan kekisruhan. Tentu pernyataan-pernyataan seperti itu harus dibatasi karena di saat ini sarana informasi begitu mudah dijangkau oleh berbagai kalangan.

Sedangkan Boni Hargens, pengamat politik yang menulis buku “10 Dosa SBY” mengatakan, bahwa pernyataan SBY termasuk blunder dan harus diluruskan. Pengamat yang begitu keras mengkritik kepemimpinan SBY selama 10 tahun ini tidak segan-segan mengatakan bahwa banyak hal yang harus dibenahi pada saat SBY menjadi penguasa. Apa yang diungkapkan oleh Boni melalui riset ilmiah, sehingga segala sesuatu yang tidak sejalan harus diformat atau ditanggapi dengan cara ilmiah pula.

Terakhir, apa yang saya dapatkan dari Catatan Demokrasi, adalah apa yang dijelaskan oleh Chusnul Mar’iyah, Komisioner KPU 2004, bahwa sebenarnya jika diinginkan terjadi perubahan teknis dalam pelaksanaan pemilu, yang perlu dilakukan adalah amandemen undang-undang pemilu. Chusnul mengatakan, “Saya menginginkan bahwa partai yang boleh mengusung calon presiden adalah 0%. Sehingga setiap partai politik dapat mengusung calon sesuai dengan kemauannya.” Tentu hal ini tidak mudah karena harus mengubah dulu peraturan yang ada saat ini.

Sekali lagi, saya bukan politisi dan tidak memiliki mission perpolitikan. Ini hanya sebuah coretan yang dibuat terkait dengan demokrasi. Terkadang saya suka menonton perdebatan-perdebatan terkait dengan politik. Seperti yang terjadi tadi malam, Selasa, 20 September 2022, saya menyukai berbagai kontra poin idealisme dengan pernyataan-pernyataan ilmiah yang kadang-kadang terjadi saling menegangkan urat leher. Hal ini saya sukai karena diformat dalam forum diskusi yang diatur oleh moderator. Intinya, mari kita tanggapi sebuah pernyataan politik dengan sanggahan atau tanggapan politik lainnya. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan