Membaca Ulang Gagasan Islam Nusantara

1,060 kali dibaca

Beberapa waktu lalu, saya, oleh seorang temak karib diajak mengikuti sebuah kajian yang diadakan komunitas pemuda. Komunitas ini memfokuskan diri pada kajian-kajian atau diskusi-diskusi di bidang keislaman. Mulai dari kajian Islam klasik hingga kontemporer. Juga kajiannya bersifat tematik dengan disesuaikan perkembangan zaman.

Yang menarik, pada waktu saya mengikuti kajian tersebut, kebetulan pokok pembahasannya adalah tentang Islam Nusantara. Memang, seperti diketahui bersama bahwa beberapa tahun terakhir Islam Nusantara menjadi pembahasan dan kajian yang cukup populer dan menarik. Bukan hanya di kalangan para intelektual, akademisi, dan aktivis, melainkan juga di kalangan masyarakat umum. Ini dikarenakan kehadiran Islam Nusantara dinilai mampu menjadi alternatif keberislaman di Indonesia, yang notabene masyarakatnya adalah plural dan multikultural.

Advertisements

Di tengah berlangsungnya diskusi tentang Islam Nusantara, saya mengikutinya secara bersungguh-sungguh dan khidmat. Wajar, sebagai seorang mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang “berhaluan” Nahdlatul Ulama (NU), tentu saja, saya antusias. Namun demikian, ketika nara sumber telah usai menjelaskan panjang lebar ihwal Islam Nusantara, ada salah satu peserta diskusi menyodorkan argumen, yang bagi saya cukup menggelitik.

Menurutnya, Islam Nusantara adalah ajaran Islam baru, ajaran yang tidak sesuai dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Karena itu, bagi dia, Islam Nusantara merupakan bidah dan ajaran Islam yang diada-adakan. Sehingga tidak layak untuk diadopsi apalagi diterapkan.

Seketika, saya, sontak mendengar argumen yang dilontarkan salah seorang peserta diskusi tersebut. Sebagai mantan aktivis yang berhaluan NU, tentu saja, saya tak langsung mempercayai hal ihwalnya. Kemudian dalam benak terbesit sepintas, benarkah Islam Nusantara bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi? Atau, Islam Nusantara merupakan ajaran baru sebagaimana yang dipahami salah satu peserta diskusi tersebut?

Maka dari itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman terkait Islam Nusantara sebagaimana yang disebutkan di atas; perlu kiranya kita mengetahui apa dan bagaimana Islam Nusantara.

Gagasan Islam Nusantara

Seperti diketahui bersama bahwa Islam kali pertama diturunkan Allah di tanah Arab. Tidak mengherankan, apabila Islam kerap kali diidentikkan dengan “bahasa Arab” atau hal ihwal yang berbau Arab. Begitu pula dengan Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, menggunakan bahasa Arab. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika saya membuat pernyataan, seandainya Islam diturunkan di tanah Jawa, tentulah praktik ibadah dan kitab suci-Nya juga akan menggunakan bahasa Jawa.

Dari sini, bisa dipahami bahwa Islam sejak awal penyebarannya tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan atau kultur di mana ia diturunkan. Dengan kalimat lain, agama dan budaya seakan telah saling mengikat (berkait-kelindan) antara satu sama lain, yang tentu saja, berupaya mencari titik temu antar-keduanya secara kontinu. Dengan demikian, keberadaan Islam selalu dapat diterima oleh beberapa kalangan dengan beragam kultur yang ada. Begitu pula dengan Islam Nusantara.

Mengutip pernyataan KH Said Aqil Siradj, bahwa Islam Nusantara bukanlah terminologi, sekte, atau aliran terbilang baru dan dimaksudkan untuk mengubah doktrin Islam. Namun, Islam Nusantara adalah sebuah pemikiran yang berlandaskan pada sejarah Islam yang masuk ke Indonesia yang tidak melalui peperangan, tetapi dengan jalan “kompromi” terhadap budaya lokal masyarakat setempat.

Dari sini, dapat dipahami bahwa Islam Nusantara merupakan Islam yang termanifestasi di Nusantara. Yang pada hakikatnya ajaran Islam tetap satu; sebagaimana yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Misalnya, penyebaran Islam di Nusantara, terutama di tanah Jawa yang diprakarsai oleh Wali Songo. Dalam berdakwah, para Wali Songo mendakwakan Islam yang ramah dan santun. Juga menggunakan cara-cara persuasif, bukan konfrontatif apalagi destruktif.

Artinya, anasir Arab yang tidak menjadi bagian dari ajaran Islam tak dipaksakan untuk diterapkan. Dan model serta strategi yang digunakan adalah akulturasi budaya; antara ajaran Islam dengan budaya lokal masyarakat Nusantara.

Ambillah contoh, Sunan Muria merupakan seorang wali yang lebih senang menyebarkan agama Islam di pelosok pedesaan. Menurutnya, tempat tersebut sulit terjamah bahkan sukar mendapatkan akses pengetahuan tentang agama Islam. Itulah alasan Sunan Muria lebih memilih pedesaan daripada perkotaan.

Menariknya, dalam berdakwah Sunan Muria melakukan akulturasi budaya Jawa dengan ajaran Islam. Salah satunya adalah dengan memodifikasi tradisi sesajen. Yang pada masa itu, masyarakat Jawa adalah penganut agama Hindu, Budha, dan animisme oleh Sunan Muria diajarkan untuk tidak lagi mempersembahkan makanan terhadap roh leluhur, melainkan membagi makanan kepada tetangga sekitar.

Model dan strategi dakwah para Wali Songo dengan mengedepankan nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan yang bercorak sufistik itulah yang membentuk corak keislaman yang berkembang di tanah air, yang kemudian menjadi embrio lahirnya Islam Nusantara sebagaimana kita kenal kiwari.

Juga mengutip pernyataan Bizawie, bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang khas Indonesia; dengan menggabungkan antara nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di tanah air. Karena itu, karakter dari Islam Nusantara menyinergikan antara ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang tengah tersebar dan bercokol di pelbagai wilayah Nusantara.

Dengan demikian, gagasan Islam Nusantara bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin membentuk tafsiran ajaran yang sesuai dengan ajaran universal Islam dengan berupaya mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam yang dimiliki Nusantara.

Oleh sebab itu, saya sangat sepakat terhadap konklusi yang ditawarkan Bizawie; seyogianya Islam Nusantara dijadikan alternatif untuk membangun peradaban dunia Islam yang damai dan penuh harmoni di negeri manapun, terutama di Indonesia yang beberapa tahun terakhir corak keberislaman kita semakin memprihatinkan. Walau begitu, tak harus berbentuk seperti Islam Nusantara. Karena Islam Nusantara tidak mengenal “menusantarakan Islam apalagi Nusantaraisasi budaya lian”.

Dari sini, jelas bahwa Islam Nusantara bukanlah ajaran Islam baru atau bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagaimana yang dipahami oleh salah seorang peserta diskusi tersebut. Pun juga, penting dicatat bahwa sebelum mengajukan argumentasi, seyogianya membaca terlebih dahulu agar tidak gagal paham dan bisa berimplikasi pada penyesatan, mudah menyalahkan apalagi tidak menerima tanpa argumentasi yang jelas (logis). Wallahu A’lam.

Multi-Page

One Reply to “Membaca Ulang Gagasan Islam Nusantara”

  1. Saya tidak apatis terhadap gagasan Islam Nusantara, karena, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Abd A’la Basyir, bahwa Islam Nusantara adalah sebuah ijtihad menuju sebuah kebermaknaan (Ijtihad Islam Nusantara). Namun perlu dipahami bahwa Islam lahir sebagai rahmatan lil’alamin, kasih sayang seluruh alam tanpa membeda-bedakan suku, bangsa, kawasan, dan lain sebagainya. Artinya, kemurnian Islam harus menjadi prioritas tanpa dibatasi oleh semangat kultural dan kewilayahan. Jika ini dipahami sebagai sebuah ukhuwah islamiyah, maka tidak akan terjadi dikhotomi keakuan maupun kenusantaraan.

    Menjaga sikap persatuan dalam keislaman akan lebih bermakna daripada lahirnya Islam Nusantara, Islam Jawa, Islam Indonesia, Islam Sumatera, dan Islam-Islam lainnya. (Maaf, ini hanya pandangan saya pribadi tidak ada kaitannya dengan kelompok tertentu. Saya mohon sapora atas perbedaan ini)

Tinggalkan Balasan