Membaca Proses Kenabian dan Kerasulan Muhammad (2)

1,304 kali dibaca

Muatan surah al-Muddatstsir, di antaranya adalah perintah untuk bangkit memberi peringatan, mengagungkan Tuhan, membersihkan pakaian, menghindari kejahatan, dan berbuat tanpa pamrih. Demikian isi awal surah al-Muddatstsir.

Sebagaimana saya sebutkan di tulisan awal, melalui ayat-ayat tersebut, hati dan jiwa Nabi Muhammad menjadi stabil dan tenang, kemudian beliau bangkit melaksanakan perintah Tuhan.

Advertisements

Telah dijelaskan bahwa proses peralihan dari manusia biasa menjadi nabi dan rasul berjalan dalam suatu proses yang panjang dan menjadi satu kesatuan rangkaian peristiwa. Banyak sekali riwayat yang menjelaskan persitiwa tersebut, terutama saat-saat genting penerimaan wahyu di Gua Hira.

Maka dari itu, saya akan menyadur dari riwayat Imam Bukhari, selain otentik sebagai hadits, matan haditsnya pun sesuai dengan logika sejarah. Terpenting lagi, melalui riwayat Imam Bukhari, kita akan mendapat gambaran yang lebih gamblang mengenai pengalaman yang dialami Nabi sebelum peristiwa menerima wahyu.

Sebelum menerima wahyu, beliau telah mengalami peristiwa-peristiwa yang belum pernah dialami sebelumnya, sebagaimana diterangkan dalam tulisan awal. Apakah dan bagaimanakah peristiwa itu?

Mengutip hadits riwayat al-Bukhari dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah ra. Hadits ini akan dibagi menjadi beberapa paragraf untuk memudahkan pemahaman dan gambaran urutan peristiwanya.

Aisyah ra, menuturkan: “Awal mula wahyu Rasulullah saw adalah mimpi nyata yang datang seperti fajar menyingsing.”

Uraian ini erat kaitannya dengan keterangan bahwa sebelum Nabi Muhammad memasuki tahap-tahap kenabian; jiwa dan hati serta perhatiannya telah tercurah dan terpusat pada pencarian kebenaran, seperti perilaku kelompok al-Hanifiyah. Beliau mendambakan agama Nabi Ibrahim. Allah telah mengarahkan kehidupan beliau pada jalan dan nilai kehidupan; jalan yang benar, mulia, dan penuh kebajikan. Pantas bila beliau menjadi prototipe bagi kemuliaan, kebajikan, dan kebersihan dari noda-noda lahir maupun batin. Sebuah nilai yang sepatutnya ada pada orang yang akan mengemban tugas suci.

Budi pekerti atau moralitas Muhammad yang luhur, mulai dari masa pertumbuhan sampai dewasa, merupakan bagian dari rangkaian penobatannya sebagai Nabi, meski tidak secara langsung.

Seperti yang diungkap dalam riwayat tersebut, bahwa Nabi Muhammad awal mula mendapat atau berhubungan dengan wahyu adalah melalui mimpi nyata seperti fajar menyingsing. Titik tekannya ada pada “mimpi nyata” seperti fajar menyingsing, yakni matahari yang mulai terbit.

Bila kita ingin menyaksikan bagaimana suasana matahari pagi yang baru terbit, bangunlah pada pagi hari kemudian keluar rumah menuju halaman atau cukup di depan pintu rumah, cahaya kuning-keemasan akan menyeruak, menyemburat ke seluruh penjuru, alam seketika terang benderang, menjadi indah dan mempesona. Saat sinar fajar pagi menyentuh tubuh kita dengan lembut dan pelan, seketika kehangatan menjalar ke sekujur tubuh kita. Begitulah keadaan ketika Nabi mengalami mimpi nyata sebagai wahyu pertama; indah, melapangkan dada, dan menenangkan jiwa. Kaum sufi juga mengalami hal demikian.

Peristiwa atau keadaan semacam itu dialami beliau sejak umur 39 tahun, buah khalwat atau perenungan di Gua Hira atau di tempat-tempat sunyi lain.

Kita tidak bisa memastikan apa hakikat dari mimpi nyata itu. Namun, kita hanya mampu mengibaratkan bahwa sesungguhnya mimpi-mimpi yang dialami beliau adalah semacam pengetahuan emanasi, pengetahuan yang memancar dari perenungan spiritual yang melapangkan dada beliau dan melihat kehidupan terasa amat indah tatkala bangun dari tidurnya.

Dampak psikologis yang ditimbulkan oleh pengalaman semacam itu adalah kecenderungan untuk meninggalkan kegiatan-kegiatan yang kurang berarti. Meski demikian, beliau tidak kemudian menjauhi kerumunan, menjaga jarak dari orang-orang, mengurangi pergaulan. Peristiwa itu hanya suatu persiapan memasuki tahap kenabian.

Kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan kejadian tersebut, yakni falaq al-shubh, artinya fajar menyingsing mampu memberi gambaran kepada kita; orang yang malam harinya mampu tidur nyenyak dan pulas, kemudian bangun pagi-pagi sekali saat hari masih petang, kemudian keluar memandang keindahan taman atau pemandangan perbukitan dengan kehijauan yang menghampar, maka ia akan merasa dirinya diliputi cahaya sejuk ibarat cahaya fajar tatkala menyingsing.

Al-falaq sendiri merupakan terminologi yang digunakan al-Quran, seperti yang sering kita temui dalam surah al-Falaq: “Qul a’uuwdzu bi rabbil falaq.” Artinya, “Katakanlah (Muhammad), aku berlindung kepada Tuhan al-Falaq.”

Menurut para mufasir, al-Falaq berarti Allah membelah kehampaan yang gelap dengan cahaya keimanan. Cahaya semacam itulah yang dirasakan Nabi Muhammad yang meliputi dirinya usai tersadar dari mimpi-mimpi nyatanya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan