Maulid Nabi

2,825 kali dibaca

Hadits itu hanya berbunyi: man a’dzoma maulidy dakholal jannah (Barang siapa yang menghormati [hari] kelahiranku, maka ia akan masuk surga). Begitu besar balasan menghormati hari kelahiran Nabi Muhammad. Jika janji itu benar, bayangkan hanya dengan menghormati hari kelahiran saja, kita dapat voucer masuk surga (tujuan dan impian setiap muslim di hari akhir). Belum lagi kita dapat mengimajinasi, karena sering diajari sejak kecil, bagaimana enaknya hidup di surga: ada sungai susu, bidadari cantik, istana pribadi yang mewah, dan sebagainya. Semua itu bisa kita “barter” dengan mengadakan perayaan maulid, misalnya.

Mengomentari hadits itu, seorang teman dari Pesantren Darul Hikam Kediri, Jawa Timur, berseloroh: “Wah, kalau begitu, setiap bulan rabiul awal, Tuhan mengobral murah dan membanting harga surga”. Sebuah komentar yang meski rasional, tetapi sulit di-iya-kan. Memangnya, Tuhan berdagang? Tetapi, kata bijak Arab menegaskan: al-Ajru bi qadri al-ta’ab (upah dan pahala tergantung kualitas dan kuantitas usaha dan susah payah). Salat jamaah ke masjid saja, semakin jauh dan berliku jalannya, semakin besar pahalanya, ungkap kitab-kitab fiqh. Bukankah ini logika berdagang?

Advertisements

Coba bayangkan, kalau hadits di atas kita artikan secara harfiah, setiap presiden Indonesia, wapresnya, dan para menteri akan masuk surga, karena secara rutin merayakan Maulid Nabi di Istana Merdeka. Demikian pula setiap Sultan di Yogyakarta dan Cirebon yang selalu menyelenggarakan sekaten di bulan maulid. Bahkan, tak terkecuali pemirsa televisi dan pengunjung sekaten, termasuk pada pedagangnya yang menyesaki alun-alun.

Itulah masalahnya. Nabi sendiri tak menjelaskan secara difinitif apa artinya menghormati, mengagungkan, dan merayakan. Seolah – atau memang sebenarnya – Nabi mempersilakan kepada umatnya untuk menerjemahkan sendiri-sendiri sesuai dengan sosio-kultural masing-masing. Yang terpenting adalah niat suci, ikhlas, dan melakukan dengan khusyu’ (rendah hati), tafakkur (kritis), dan tadabbur (kontemplatif). Di Arab sendiri, tradisi memperingati hari lahir, haflat liyaumi al-millad baru muncul ketika bangsa Arab telah berinteraksi langsung dengan dua bangsa dan budaya besar, Parsi dan Romawi. Tak ada bukti yang memperlihatkan bahwa di masa Nabi maupun khulafaurrasyidin peringatan hari lahir Nabi dalam bentuk perayaan dan sejenisnya terselenggara.

Mungkin karena itulah kaum Wahabi yang berkuasa di Arab Saudi melarang keras berbagai macam peringatan maulid Nabi, karena dianggapnya bid’ah-khurafat, karena itu sesat, dan karena itu pula masuk neraka. Kalau begitu, para presiden, wapres, menteri berikut istri, para sultan, para pemirsa televisi, para pengunjung dan pedagang di alun-alun Yogya dan Cirebon seluruhnya tak jadi masuk surga, dan akan digiring ke neraka. Karena mereka telah melakukan bid’ah-khurafat.

Problematis, bahkan paradoks sekaligus membingungkan. Nabi menjanjikan masuk surga bagi yang menghormati dan mengagungkan hari lahirnya tanpa memastikan bentuk, sementara artikulasi penghormatan dan pengagungan yang dikreasi menurut sosio-kultural setempat diancam masuk neraka.

Atau mungkin al-Jannah di dalam hadits itu murni metafor. Surga yang dimaksud bukanlah surga di alam abadi, melainkan surga di sini, di alam raya. Barangsiapa yang mengagungkan kelahiranku, ia akan memperoleh kepuasan psikologis, kepuasan batin, entah karena telah mendapatkan siraman rohani, karena telah melakukan ritual tertentu, dan entah karena memperoleh inspirasi baru dari renungan tertentu.

Tetapi, jika rekaan itu benar, maka yang memperoleh surga paling konkret adalah para dai, para pejabat, dan para pedagang. Para dai dapat melakukan panen raya sepanjang bulan maulid (ceramah setiap malam dengan honor yang melimpah), meski mereka baru saja menanam. Para pejabat akan memanen legitimasi dari kalangan pendukung politiknya, dan para pedagang seperti di alun-alun Yogyakarta danm Cirebon akan lebih banyak memperoleh keuntungan finansial.

Jika soalnya adalah khilafiyah (pemaknaan diskursif) dan jika soalnya adalah surga dunia, mengapa kita harus bertengkar? Mengapa kreativitas suatu kaum untuk mengartikulasikan rasa hormatnya kepada Nabi, yang itu telah diberi ruang bebas oleh Nabi sendiri, harus dicaci-maki dan dihalang-halangi? Mengapa Muadhu Lompoa di Sulawesi Selatan, Endhok-endhokan di Banyuwangi, dan berbagai versi maulid Nabi di banyak tempat di Indonesia harus dibidah-khurafatkan, dimusyrikkan, difatwai haram, bahkan di-sweeping dan dibubarkan? Jangan-jangan hanya karena, dengan membiarkan kreativitas itu, panen raya akan terkurangi bahkan tak didapatkan. Jangan-jangan pula kita terperosok ke dalam: man qodzafa kufron fahua kufrun (barangsapa yang menuduh [orang lain] kufur, maka dia sndirilah yang kufur).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan