Marak Seminar Poligami dan Pranikah, Bagaimana di Mata Santri

1,329 kali dibaca

Pada umumnya, visi seseorang dalam berdakwah adalah untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam. Tujuan ini menjadi dasar bagi para dai dalam berceramah, yang sejalan dengan hadits riwayat Bukhari Nomor  3202 (dari Abdullah bin Umar) sebagai berikut,

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً…

Advertisements

Artinya: “…Sampaikanlah dariku sekalipun satu ayat…

Pada kenyataannya, dakwah sekarang ini bisa dilakukan dengan metode dan media yang bermacam-macam. Materi dakwah yang ditawarkan juga cenderung “acak” dan “bervariatif”, tidak terkonsep dengan baik. Fenomena ini tampak pada maraknya pengajian yang mengangkat isu-isu tertentu, seperti kajian mengenai pranikah dan seminar poligami oleh beberapa penceramah.

Tentu ini berbeda dengan metode dari institusi pendidikan keagamaan semisal pesantren. Di pondok pesantren, para kiai yang benar-benar mempunyai otoritas dalam kecakapan di bidang agama, menyampaikan materi dengan metode berjenjang dan terstruktur melalui kitab atau turats yang dijadikan literatur resmi. Sehingga, apabila dirujuk pada pernyataan sebelumnya, maka pengajaran mengenai pernikahan dan poligami akan dibahas pada tahap lanjut, menyesuaikan dengan kebutuhan dan keperluan para santri.

Kajian Nikah dalam Turats

Penulis memberi contoh pada kitab Matn az Zubad fi Ilm al Fiqh ‘ala Madzhab al Imam asy Syafi’i (Maktabah ats Tsaqofah: Makkah al Mukarromah) karya Syaikh Imam Ahmad bin Ruslan asy-Syafi’i. Di dalamnya memuat bahasan-bahasan fikih yang dirangkai berdasar nazham menurut ketentuan madzhab syafiiyah.

Dalam kitab ini, kajian mengenai bab nikah berada pada halaman 83, yang memuat materi mulai dari maskawin/mahar hingga perwalian. Apabila dilihat, bahasan kitab nikah ini berada setelah 8 kajian fikih yang ada dalam kitab tersebut, seperti bab Thoharoh, Shalat, Janaiz [pengurusan jenazah], Zakat, Puasa, Haji, Jual Beli, dan Faroidh. Hal ini menunjukkan bahwa bab nikah baru dibahas setelah bab-bab inti dan mendasar.

Selain itu, jauh sebelum membahas Matn az Zubad tersebut, biasanya para santri diperkenalkan dengan kitab fikih yang lebih sederhana, semisal kitab Matn Safinah an Najah (Darul Manhaj: Jeddah) karya Syaikh Salim bin Sumair al Hadhromiy. Dalam kitab ini, secara spesifik tidak membahas mengenai bab nikah. Ini bisa dilihat dari fihris (daftar isi) di halaman akhir kitab. Dan kitab ini umumnya dikaji para santri pada tahap awal dan mendasar.

Setelah itu, para santri mengaji kitab Fathul Qarib al Mujib (Dar Ibn Hazm: Beirut) karya Syaikh Muhammad Qashim bin Muhammad al Ghaziy. Kitab ini merupakan syarh atas karangan Syaikh Akhmad bin Husain bin Ahmad al Asfihani yang bertajuk Matn Ghayah wa at Taqrib (biasa disebut dengan kitab Taqrib). Dalam kitab Fathul Qarib, pembahasan mengenai nikah pun berada pada halaman 224 yang diawali dengan hukum nikah dan diakhiri dengan hukum perwalian. Kajian nikah dalam kitab ini dilakukan setelah 7 kajian fikih awal, yakni Thaharah, Shalat, Zakat, Haji, Jual beli; Muamalah, dan Faroidh.

Pada tahap selanjutnya, para santri biasanya melanjutkan kajiannya dengan kitab-kitab yang lain. Kitab yang dimaksud adalah dengan bahasan fikih yang cenderung sama, namun dengan kerumitan dan muatan yang lebih tinggi (mendalam). Contohnya adalah I’anah ath Tholibin, Fath al Mu’in, Fath al Wahab. Dalam hal ini, pembahasan mengenai nikah juga diteruskan hingga kajian Quratul ‘Uyun, Fath al Izar, dan masih banyak yang lain.

Fenomena Seminar Poligami dan Nikah Muda

Dalam tulisan singkat ini, sebenarnya penulis ingin menyampaikan dilema saat atas maraknya majlis pengajian tentang poligami dan pranikah. Berdasar pada pengalaman pribadi, cerita para sohib, serta informasi di banyak media online, terutama Youtube, pembahasan mengenai dua tema tersebut hanya berkutat pada pemberian motivasi dan dorongan untuk nikah muda dan sukses dalam berpoligami.

Memang, sering dijumpai hadits yang berbicara mengenai anjuran untuk menikah. Muatan di dalam hadits-hadits tersebut adalah bentuk pencegahan terhadap naiknya hawa nafsu, terjaminnya rezeki saat menikah, hingga terpenuhinya separo agama. Tentu ini sangat baik dan dianjurkan apabila memang didasarkan pada dalil yang jelas dan shahih. Akan tetapi, penulis tidak ingin membahas lebih dalam mengenai hal ini, yang banyak penceramah nisbahkan terhadap pernyataan ‘Sunnah Nabi’ tersebut.

Namun, dalam hal ini, banyak dijumpai bahwa penyampaian dakwah pada majlis-majlis yang penulis maksud, hanya menerangkan sebagian kecil dalam lingkup pernikahan dan poligami secara luas. Para penceramah cenderung memberikan narasi-narasi yang persuasif namun dibungkus dengan bahasa yang agamis. Narasi ini menurut penulis kurang begitu solutif terhadap remaja muslim yang diliputi berbagai problematika, namun dialihkan pada sugesti bahwa jalan keluar yang terbaik adalah dengan menikah atau berpoligami.

Selain itu, kekhawatiran terhadap si penceramah pun perlu ditengok. Hal ini berkaitan dengan konsep otoritas keagamaan seseorang. Kebanyakan para penceramah berasal dari kaum remaja dewasa yang lebih dulu melaksanakan praktik tersebut. Tentu ini hanya akan menjadi sebuah sharing session dan berbagi pengalaman belaka, apabila tidak disertai dengan kajian-kajian mendalam seperti yang penulis ungkap dalam lingkup pengajian pesantren.

Bijaknya, konsep pengajian mengenai pranikah ataupun poligami seharusnya memang dibahas secara mendalam dan fundamental, dengan mempertimbangkan segala kemungkinan dari berbagai perspektif semisal Sirah Nabawiyah, hadits, hingga fikih. Sehingga, konsep kajian ini menjadi sangat solutif bagi pendengarnya, dan tidak hanya berputar pada lingkup motivasional belaka. Mengingat sebagian besar para pendengar masih awam terhadap permasalahan seperti ini, sehingga perlu bagi mereka untuk mengetahui seluk-beluk yang menyeluruh tentang pernikahan maupun poligami.

Sebagaimana para santri di pesantren yang setidaknya memakan waktu lama dalam mengenyam fondasi kehidupan yang cukup dari ‘ngaji-nya kepada para kiai. Sehingga mereka dibekali dengan modal keagamaan yang proporsional dan seimbang, apabila mereka suatu saat dihadapkan pada sebuah situasi yang berbeda. Yang mana, situasi ini tidak seindah dengan apa yang disampaikan penceramah dalam seminar pranikah dan poligami.

Wallahu A’lam bi as Showaab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan