Lubang-Lubang Rayap di Kitab Kiai Hamdani

3,969 kali dibaca

Kiai Hamdani adalah pengasuh Pondok Parakan, sebuah pesantren kecil di Desa Parakan. Kiai itu mewarisi keilmuan serta kharisma bapaknya. Tak pelak, banyak orang tua tertarik mengirimkan anaknya belajar ilmu agama ke pondok itu. Apalagi setelah seorang juragan tebu membangun sekolah MTs tidak jauh dari pondok itu. Pondok Parakan pun kian ramai.

Dan seiring berjalannya waktu, MTs Parakan dan Pondok Parakan semakin solid. Tak lain karena ketokohan Kiai Hamdani di jajaran pengurus yayasan MTs Parakan yang sangat besar pengaruhnya. Bersamaan dengan itu, nama Kiai Hamdani juga ikut terangkat. Tamunya sekarang tidak hanya orang-orang dari kalangan bawah. Tokoh masyarakat, bahkan para pejabat, sering bertamu ke rumah kiai muda itu. Kepribadian agung yang dibingkai dalam perangai sederhana membuat sosoknya dihormati sekaligus dicintai banyak orang.

Advertisements

Sebenarnyalah Kiai Hamdani merupakan seorang yang sederhana. Selain menjadi pengasuh pondok, dia juga seorang petani yang menanam berbagai jenis tanaman. Tak hanya menafkahi keluarga, Kiai Hamdani juga menghidupi santri-santri yang kurang mampu. Putra mendiang Kiai Hamid itu merupakan sosok yang istiqomah dalam mengajar santri. Sore dan malam jadwal mengajarnya di pondok itu tak pernah ia tinggal. Seusai mengaji kitab Mukhtarol Ahadits bakda subuh dia selalu berdzikir di surau pondok hingga waktu dhuha tiba. Setelah itu dia langsung berangkat ke sawah. Ketika pagi, Kiai Hamdani tidak pernah menengok apakah istrinya sudah masak ataukah belum karena sudah bertahun-tahun pengasuh Pondok Parakan itu puasa mutih.

Seperti biasa, matahari baru sepenggalah naik ketika Kiai Hamdani berangkat ke sawah. Rerumputan di jalanan setapak yang ia lalui juga masih basah oleh embun. Langkahnya cepat melewati jalan berliku di antara pematang sawah. Ketika sampai, kiai muda itu langsung turun ke sawah. Dan bulir-bulir keringat segera membasahi bajunya. Tangannya yang kekar mengayunkan cangkul membuat parit kecil untuk mengaliri pematang paling bawah yang sering tidak kebagian air ketika hujan mulai jarang turun.

Untuk pekerjaan-pekerjaan ringan memang Kiai Hamdani tak pernah menyuruh santrinya. Tapi jika ada pekerjaan yang tidak cukup dikerjakan sendirian maka para santri akan diajaknya turut serta. Ketika musim tanam padi misalnya, sebagian besar santri putri diajak turun ke sawah. Sedangkan musim panen biasanya dikerjakan oleh para santri putra. Santri-santri itu juga diajari cara menanam sayur-sayuran. Tak heran jika santri alumni Pondok Parakan rata-rata pandai bertani.

Setelah selesai membuat parit kecil tadi Kiai Hamdani beralih menengok tanaman sawi, terung, cabai, dan beberapa jenis sayur lainnya. Hasil jerih payah santri-santrinya itu ternyata tidak mengecewakan. Tanaman hijau itu tumbuh dengan suburnya. Nantinya, sebagian sayur-sayuran itu akan dikonsumsi sendiri oleh para santri. Adapun jika ada lebih, maka akan dijual. Dan uang penjualan hasil pertanian itu kemudian dimasukkan ke kas pondok untuk membayar listrik dan air. Kiai Hamdani memang telah menyediakan sepetak lahan khusus yang dikelola untuk kepentingan pondok dan para santri.

Kiai Hamdani lantas beristirahat di gubuk, memandang pematang-pematang sawah yang menghijau seraya memutar tasbih dalam sanubarinya. Putra Kiai Hamid itu membisikkan dzikir lirih. Dan hatinya bertambah khusyuk menyenandungkan rasa syukur tatkala memandang keindahan ciptaan-Nya. Tak berapa lama kemudian dari kejauhan tampak seorang santri berjalan menuju ke arahnya. Santri itu berjalan sambil menyingsingkan sarung untuk menghindari basahnya embun rerumputan. Detik berikutnya dia telah sampai ke gubuk. Santri yang masih belia itu menyalami Kiai Hamdani dengan tubuh membungkuk.

“Kenapa menyusul ke sini Kang Rouf?” dengan kalem Kiai Hamdani bertanya.

“Maaf mengganggu istirahat Kiai. Ada sesuatu yang hendak saya sampaikan,” tukasnya.

“Apa?”

“Ada tamu bapak-bapak yang hendak bertemu, Kiai.”

“Ada keperluan apa?”

“Dia ingin memondokkan dua anaknya. Tapi, ketika saya cek ke seluruh pondok sudah tidak ada kamar kosong lagi Kiai. Pondok sudah full,” lurah pondok itu lantas menunduk lagi, menanti jawaban Kiai Hamdani.

“Apa anaknya itu sambil sekolah MTs?” tanya Sang Kiai.

Nggeh,” Kang Rouf menjawab singkat.

“Semoga niatnya benar. Bukan mondok untuk numpang tidur,” ucap Kiai itu seraya mengedarkan pandangan ke hamparan sawah.

Nggeh Kiai, amin.”
Kiai Hamdani lantas terdiam. Dan Kang Rouf sibuk menerka apa gerangan yang sedang dipikirkan oleh gurunya itu.

“Tapi hidayah memang bisa datang kepada siapa saja,” gumam Kiai Hamdani kemudian. Ada sesungging senyum yang tiba-tiba merekah di sudut bibirnya. “Termasuk bagi santri yang niatnya mondok hanya untuk mencari tempat berteduh. Ketika memulai suatu hal niatnya mungkin ada yang tidak baik, namun bisa saja di tengah jalan Allah memberinya hidayah. Bahwa mencari ilmu agama itu harus dinomorsatukan. Menuntut ilmu di bangku sekolah adalah pelengkap. Sedangkan mengaji ilmu agama di pesantren adalah sebuah kewajiban, dan salah satu jalan untuk merengkuh keridhaan-Nya.”

Tak berapa lama kemudian Kiai Hamdani pulang. Kang Rouf mengikuti tidak jauh di belakangnya. Dan dua santri baru itu akhirnya diterima sebagai santri Pondok Parakan. Pesantren kecil itu semakin dipenuhi santri yang juga nyambi sekolah di MTs Parakan. Hal itu menjadi penyebab sepinya suasana pondok di pagi hari, hampir semua penghuni pondok itu berada di sekolah.

Bersamaan dengan penerimaan siswa baru di MTs, Pondok Parakan pun terus dibanjiri santri. Tiga hari berikutnya ada tiga santri baru yang mendaftar dalam sehari. Kang Rouf mengecek seluruh kamar untuk mencari ruang bagi tiga santri baru itu. Sayang sekali, semua ruang di Pondok Parakan telah terisi penuh. Bahkan sekarang banyak santri yang tidur di serambi masjid ketika malam datang. Kamar atau bilik-bilik santri telah penuh sesak. Dengan raut takut Kang Rouf melaporkan kondisi pondok yang sudah tidak muat lagi. Dan dengan berat hati Kiai Hamdani kemudian menolak pendaftaran santri baru.

Hingga larut malam Kiai Hamdani tidak bisa tidur. Pikirannya bertaut dengan kemungkinan-kemungkinan. Matanya menerawang langit-langit kamar yang seolah mengajaknya bicara. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya. Beban pikiran yang sedang menyesakinya telah mengganggu keikhlasan dalam menyukuri nikmat-Nya. Keadaan finansial yang pas-pasan seolah menutup keinginan baiknya menampung banyak santri.

Saat kemauan tak sesuai dengan kemampuan itulah dia semakin sadar, bahwa tak ada satu kebaikan pun tanpa anugerah-Nya. Tak mampu menghentikan alur deras pikirannya, Kiai Hamdani kemudian beranjak dari ranjang. Ia ambil air wudhu untuk kemudian melakukan salat sunnah. Ia tumpahkan segala keluh kesah pada Sang Pencipta kehidupan.

Keesokan harinya datanglah juragan tebu yang memiliki yayasan MTs Parakan.

“Kudengar Kiai sudah tidak mau menampung lebih banyak santri lagi. Bahkan tetangga saya harus pulang dengan menelan kekecewaan karena tak diterima menjadi santrimu, Kiai. Apa santrinya terlalu banyak? Pondoknya sudah tidak muat lagi?”juragan tebu mencecar tanya. Mengumbar kata.

Tampak ada gundah di wajah Kiai Hamdani. Ketegarannya menghadapi pernak-pernik kehidupan seolah sedang diuji.

“Kali ini mohon Kiai mau menerima uluran tangan saya. Biar saya punya bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Biarkan anak-anak yang ingin memahami agamanya tidak lagi ditolak untuk nyantri di pondok ini. Terimalah amplop ini Kiai, untuk kebaikan dan kelangsungan agama ini,” halus kata-kata juragan tebu itu meluluhkan hati Kiai Hamdani.

Amplop tebal berisi uang itu teronggok di atas meja. Kiai Hamdani memandangnya ragu. Matanya mengikuti langkah kaki juragan tebu yang juga merupakan pejabat di kabupaten itu semakin jauh meninggalkannya.
Hingga beberapa saat lamanya pengasuh Pondok Parakan itu terdiam di ruang tamu, ditemani seonggok amplop tebal yang juga membisu.

Pikirannya sedang bimbang. Pondoknya memang sedang memerlukan banyak uang untuk memperbesar bangunan. Namun pesan mendiang bapaknya terus terngiang-ngiang di telinganya. “Jangan sekali-kali menerima uang dari pejabat biar pondok ini tetap barokah. Santri sedikit kalau barokah lebih baik daripada banyak tapi keberkahannya telah hilang,” ucap Kiai Hamid menjelang wafat beberapa tahun yang lalu.

Pikirannya terus berkecamuk. Namun dia kemudian teringat sebuah kaidah ushul fiqih, al-hukmu yaduuru ma’a illatihi, bahwa sebuah hukum bisa berubah mengikuti keadaan yang menyertainya. Kaidah itu lebih tepat untuk perkara halal-haram. Dan apa yang sedang mengganggu pikirannya ini bukanlah perkara halal-haram, melainkan baik atau tidak. Barokah atau tidak. Keadaan saja bisa mengubah yang haram jadi halal, apalagi baik dan buruk? Ia kemudian tersenyum. Sebuah keputusan harus diambil. Sudah saatnya strategi dakwah berubah mengikuti pola kehidupan.

Beberapa waktu kemudian Pondok Parakan telah bergeliat. Material-material bangunan berdatangan. Pesantren kecil itu berbenah. Pondok itu berkembang pesat. Kamar-kamar santri ditambah jumlahnya. Taman-taman pondok didesain begitu indah. Jumlah santri pun semakin bertambah. Ketika dana pembangunan habis, datanglah salah seorang kader partai politik berbasis keagamaan membawa bantuan. Pembangunan pondok pun kembali berlanjut. Dan waktu terus berganti. Pondok Parakan kini bukanlah pesantren kecil lagi. Sekolah jenjang SD hingga SMA telah dibangun di area pesantren sebagai bagian dari unit pondok. Bersamaan dengan itu banyak ustadz-ustadz jebolan pesantren ternama direkrut. Kiai Hamdani pun kian sibuk. Dan ketika dirinya sedang berada di luar pondok majelis pengajiannya bisa diampu oleh para ustadz itu.

Bergaul dengan banyak orang dari berbagai kalangan membuka wawasan Kiai Hamdani. Semakin luas cakrawala berpikirnya, semakin tersingkap pula kesadarannya dalam melihat ketimpangan-ketimpangan yang ada dalam masyarakat. Dan melihat suatu hal yang berada tidak semestinya membuat pikirannya resah. Harus ada cara untuk mengubah yang tidak ideal menjadi ideal. Sosok Kiai Hamdani yang semakin bersinar di berbagai ranah kehidupan membuat kehadirannya di setiap kegiatan selalu dinantikan. Berbagai partai politik berebut menggaetnya sebagai kader. Dia memang potensial dalam merebut suara di kancah pertarungan politik. Dan rupanya Kiai Hamdani semakin menikmati perannya. Dia telah terpilih sebagai wakil rakyat. Pondok Parakan pun semakin sering ditinggalkannya.

Suatu sore yang muram datanglah seorang lelaki membawa pertanyaan yang hendak diajukan pada sang kiai. Kiai Hamdani sedang bercengkrama dengan anak serta istrinya ketika tamu itu datang. Sebenarnya Kiai Hamdani merasa terganggu dengan kehadirannya karena siang tadi dia baru datang dari kota guna menghadiri rangkaian acara sebagai pejabat. Sebagai seorang wakil rakyat pergi ke kota memang sudah kesehariannya. Waktunya bersama keluarga semakin terkikis, apalagi waktu bersama dengan para santrinya. Hampir semua jadwal ngajinya telah dilimpahkan pada para ustadz.

“Maaf Kiai, kehadiran saya kemari karena ingin mengajukan sebuah pertanyaan,” ucap tamu itu membuka perbincangan.

“Iya. Ada masalah apa, Pak?” sahut Kiai Hamdani penasaran.

“Begini Kiai. Di kampung saya yang muslimnya minoritas ada permasalahan ketika waktu salat Jumat tiba. Ada yang mengatakan tidak perlu salat jumat karena jemaahnya tidak sampai empat puluh orang. Sebagian yang lain tetap bersikukuh untuk salat jumat dengan jumlah jemaah yang sedikit itu. Nah, orang-orang yang bersikukuh salat Jumat itu pun masih juga sering berselisih pendapat. Sebagian menambah dengan salat dzuhur sesudahnya. Sebagian tak menambahi dengan salat dzuhur setelah salat Jumat itu. lalu, yang benar yang mana Kiai?” panjang lebar tamu itu mengurai tanya.

“Daerahmu memang mayoritas non-muslim ya, Pak?” sahut Kiai Hamdani. Tamu itu mengiyakan disertai anggukan kecil.

“Salat Jumat yang diperselisihkan keabsahannya memang sunnah ia’dah salat dzuhur, Pak. Salat dzuhur bahkan wajib dikerjakan setelah jumatan manakala salat Jumat itu memang tidak sah. Misalkan karena ada dua masjid yang mengerjakan jumatan dalam satu kampung dan takbiratul ihramnya berbarengan antara kedua masjid itu. Kālau dalam kasus di kampungmu itu sebaiknya salat Jumat saja. Dan jika mau mengulang dengan salat dzuhur juga baik. Karena dalam madzhab Syafi’i pun ada yang membolehkan jumatan kurang dari empat puluh orang,” papar Kiai Hamdani.

“Owh jadi seharusnya salat Jumat ya, Pak Kiai. Mungkin Pak Kiai bisa tunjukkan siapa ulama’ Syafi’i yang berpendapat demikian, atau di kitab apa penjelasannya, biar nanti saya mudah menjelaskannya pada jemaah saya,” tukas tamu itu.
Kiai Hamdani terdiam. Dahinya mengernyit mengerahkan daya ingat.

“Hmm. Seingat saya itu pendapat Imam Bulqini, pembesar Madzhab Syafi’i yang juga menjadi gurunya Ibnu Hajar. Tapi sebentar, saya cek dulu di kitabnya,” Kiai Hamdani beranjak meninggalkan tamunya itu.

Ketika sampai di perpustakaan pribadi berisi kitab-kitabnya dia segera mengambil kitab Fathul Mu’in. Seingatnya, penjelasan masalah salat Jumat yang memuat pendapat Imam Bulqini ada di kitab itu. Namun tangannya langsung gemetar ketika melihat apa yang terjadi pada kitabnya. Tulisan dalam kitab itu tak terbaca lagi karena lembar demi lembarnya telah dipenuhi lubang-lubang rayap. Rumah rayap pun berhamburan seiring tangannya membolak-balik kitab kuning itu. Tubuhnya mendadak lunglai. Teringat ia pada kata-kata mendiang bapaknya. “Menjadi seorang ahli ilmu harus mulazamah muthala’ah kitab. Jika sampai suatu hari nanti kamu menemukan kitabmu bolong-bolong karena dimakan rayap, waspadalah! Berarti saat itu kamu bukan lagi ahli ilmu. Itu berarti hatimu telah digerogoti nafsu dunia!!!”
Kiai Hamdani terduduk lemas. Air matanya meleleh. Pesan mendiang bapaknya itu terus terngiang-ngiang. Telah lama memang dia meninggalkan pondok dan para santri-santrinya. Nafsu dunia yang terbingkai dalam semangat berjuang telah melalaikannya dari apa yang telah diwasiatkan oleh bapak serta guru-gurunya. Selama ini dia merasa ihlas berjuang, tapi ternyata itu adalah wujud dari hubbud dunya, cinta dunia. Dalam tubuhnya yang sedang gemetar kemudian mengalir bisikan-bisikan istighfar.

Bantur, 16 Juni 2020.

Multi-Page

One Reply to “Lubang-Lubang Rayap di Kitab Kiai Hamdani”

Tinggalkan Balasan