Ketika Chairil Anwar Bertemu Tuhan dalam Puisinya

1,296 kali dibaca

Teman-teman yang saya sayangi, perkenalkan saya Atiqoh ([email protected]). Dalam tulisan singkat ini, saya hendak berbagi kegelisahan dalam menafsirkan puisi-puisi Chairil Anwar. Keterbatasan bacaan dan pengetahuan yang saya miliki bisa menjadi dasar acuan bagi kita untuk saling berdialog; bertukar pikiran. Untuk mengenang seabad Chairil Anwar (26 Juli 1922- 26 Juli 2022), mari kita dengan gembira merayakannya dengan amal jariyah yang Chairil wariskan: Ilmu.

Bertemu Tuhan dalam Puisi

Advertisements

Aku ingin hidup seribu tahun lagi” sepertinya merupakan salah satu doa Chairil Anwar yang tak dikabulkan. Akhir puisi yang melegenda itu menjadi bagian paling menukik dalam setiap pembacaan puisi “Aku”.

Menziarahi Chairil anwar artinya ikut tenggelam dalam puisi-puisinya yang masyhur. Kepulangannya pada usia yang sangat muda dan kegetiran hidup nampaknya menuntun kata-kata menjadi bagian yang paling purna dalam hidup Chairil.

Chairil bukan lagi binatang jalang yang seperti yang disebut-sebut oleh banyak orang. Jika ingin tenggelam dalam puisi-puisi Chairil, ada banyak cinta dan duka yang saling berkelindan memenuhi ruang hidup Chairil. Sebagai lelaki yang terlahir dari keluarga kaya dan terpandang, tidak sepantasnya Chairil menghidupi hidupnya dengan kemiskinan. Namun siapa sangka melalui kegetiran itu, Chairil menemukan hidupnya, bahkan setelah kematiannya.

Pada 1942, puisi Chairil dimuat untuk pertama kalinya dengan judul Nisan. Itu setelah 20 sajak mengalami penolakan karena dianggap tidak layak berdasarkan pertimbangan kantor pusat kebudayaan Jepang yang kala itu diketuai oleh Sanusi Pane dan komite sastra yang diketuai oleh HB Jassin. Karya-karya Chairil dianggap sangat individualis dan tidak sesuai dengan semangat kebangunan Asia Timur Raya. Namun, ke-20 puisi tersebut didokumentasikan dengan baik oleh HB Jassin, karene ia sadar bahwa karya Chairil bukanlah karya yang bisa dipandang sebelah mata.

Sebagai salah satu pelopor angakatan Pujangga Baru, Chairil mendobrak tatanan Bahasa Indonesia yang saat itu masih sangat berumur muda. Chairil benar-benar menampakkan aspek kelisanan dalam setiap kata yang ia rangkai menajadi sebuah karya.

Berbeda dengan tradisi menulis kala itu yang cenderung menggunakan Bahasa Melayu Tinggi yang baku seperti yang ditulis oleh, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Kelisanan yang menjadi ciri khas dalam karyanya menampakkan autentikasi kehidupan nyata yang Chairil selami.

Untuk menulis “Nisan”, Chairil mengalami ritual ziarah kubur nenekandanya. Begitu pula dengan sajak-sajak cinta, patah hati, pertemuan dengan para pelacur, bahkan sajaknya yang menampakkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan. Melalui sajak-sajak tersebut, Chairil menulis segala pertemuannya. Apakah Chairil juga menemui Tuhan dalam beberapa puisinya?

Menatap Tuhan Melalui Puisi

Puisi/syair merupakan mukjizat paling mulia yang diturunkan oleh Tuhan. Bahkan dalam Al-Qur’an terdapat surat As-Syu’ara yang memiliki arti para penyair. Penyair memiliki eksistensi yang penting dalam tananan sosial budaya orang Arab. Hal tersebut dikarenakan penyair dikenal sebagai sosok yang mampu menemukan hakikat hidup yang tidak dapat diungkap oleh masyarakat lain pada umumnya. Bahkan tiap tahunnya para penyair Masyhur berlomba-lomba untuk menciptakan syair. Beberapa Syair terbaik dikumpulkan dan dikenal dengan al-Muallaqot. Syair-syair tersebut digantung di dinding Ka’bah sebagai bentuk persembahan agung. Sebagai sebuah titik peradaban, puisi juga bagaikan sebuah rumah bagi masyarakat Arab sesuai dengan semboyan bangsa Arab asy-syi’ru diwanul arab (puisi adalah rumah bagi bangsa Arab).

Keindahan puisi tak terelakkan adanya. Bahkan HB Jassin pada tahun 1993 menuai banyak kontroversi karena dengan berani menerbitkan terjemah Al-Qur’an dengan judul Al-Qur’an Berwajah Puisi. Terlepas dari kontroversi yang hadir, Al-Qur’an Berwajah Puisi telah memberi sumbangsih besar terhadap khazanah perkembangan tafsir di Indonesia. Abdurrahman Wahid justru memberi dukungan penuh terhadap ide HB Jassin untuk menyusun Al-Qur’an Berwajah Puisi. Bahkan BJ Habibie memberikan sumbangan dana pribadinya sebesar Rp 150 juta demi terlaksananya penerbitan Al-Qur’an Berwajah Puisi.

Karya sastra adalah penggambaran kehidupan yang nyata. Sebagaimana pula dengan puisi-puisi Chairil yang menggambarkan betapa dalam ia menyelami kehidupannya sendiri, menemukan dirinya, dan menemukan penciptanya. Sebagaimana Rabiah al Adawiyah, yang menemukan Tuhan dalam kesengsaraan hidupnya. Atau Syekh Siti Jenar yang menggaungkan Manunggaling Kawulo Gusti. Apakah sejauh itu Chairil Anwar berkontemplasi menemui Tuhan melalui puisi-puisinya?

Chairil mengalami pengalaman berfilsafat dengan mengungkapkan pertanyataan kehidupan melalui sajak-sajak yang ia ciptakan. Empat puisi Chairil menyeru dengan gamblang bahwa ia “menemui Tuhan”. Dalam puisi “Nisan”, “Di Mesjid”, “Do’a”, dan “Kepada Kawan” Chairil seperti mengungkap betapa ia sadar bahwa Tuhan merupakan sang pemilik hidup. Bahkan dengan tersurat puisi-puisi tersebut menyiratkan kesadaran Chairil akan terhadap kehidupan yang fana. Melalui puisi tersebut Ia membuktikan bagaimana pengembaraannya untuk menemukan suaranya sendiri.

NISAN

untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.

Oktober 1942

Nisan merupakan puisi pertama chairil Anwar yang lolos cetak pada tahun 1942 oleh kantor kebudayaan Jepang. Kematian sang nenek menjadi latar belakang dalam penulisan karya yang memiliki satu bait dan 4 baris tersebut.

Dalam sebuah kematian, terdapat beberapa hal yang membuat Chairil termangu penuh haru menghadapi kenyataan bahwa kematian merupakan tamu yang entah kapan datangnya, namun pasti kehadirannya. //Bukan kematian benar menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba//.

Keharuan yang paling menusuk hati Chairil adalah keridaan sang nenek menerima takdir mengenai ajalnya. Maka ajal harusnya menjadi sebuah momen berharga sang hamba menemui sang pencipta karena kesadaran mengenai segala yang bernyawa pasti menemui ajalnya adalah sebuah keniscayaan (Q.S.al-Fajr [89]: 27-28). //Tak kutahu setinggi itu atas debu /dan duka maha tuan bertakhta//. Duka yang luar biasa dirasakan oleh Chairil sebab kehilangan sang nenek yang sangat ia cintai.

Perenungan Chairil mengenai kematian ialah tentang keridaan makhluk terhadap takdir Tuhan. Hidup dan mati adalah suatu yang harus diimani bahwa Tuhan berhak memberi atau mencabutnya tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Kesedihan memang akan selalu hadir bagi siapa saja yang ditinggalkan atau meninggalkan. Namun dengan keikhlasan dan keridhaan akan segala takdir, maka setiap kesedihan akan lebih mudah untuk dilalui.

Kesadaran akan ajal juga disebut oleh Chairil dalam puisinya berjudul “Kepada Kawan”. Kata Ajal beberapa kali disebut dengan lantang. Puisi Chairil yang ekspresif dengan kata-kata yang lugas menemukan caranya sendiri untuk mengajak pembaca mengalami hal serupa dengan apa yang dialami Chairil dalam puisinya.

KEPADA KAWAN

Sebelum Ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada, tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam, layar merah terkibar hilang dalam kelam, kawan, mari kita putuskan kini di sini:

Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu, Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi, Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!

30 November 1946

Kesadaran Chairil terhadap Ajal yang memang bisa datang kapan saja terlihat sangat jelas. Dengan tidak membenamkan semangat hidup, Chairil ingin mencoba mengajak para pembaca (kawan) untuk terus hidup berpacu dengan semangat yang tinggi. Menggali pengalaman tiada henti. // Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan / Tembus jelajah dunia ini dan balikkan//, Menimba pengetahuan tanpa ada batasnya.

Puisi “Kepada Kawan” sarat akan pesan-pesan kehidupan dengan ekspresi semangat yang tinggi. Perenungan tersebut secara tersirat menyampaikan bahwa ajal yang pasti datang tidak akan pernah menyurutkan semangat untuk hidup. Bukan hidup untuk ingat Mati, tapi ingat Mati untuk selalu Hidup.

Spiritualitas Chairil Anwar jelas terlihat dalam beberapa puisinya. Meskipun dalam beberapa sumber menyebutkan bahwa Chairil bukanlah seseorang yang religius. Tapi satu hal yang harus kita sadari, bahwa setiap insan pasti pernah memiliki kesadaran akan suatu hal yang lebih besar darinya; Zat yang Maha Agung. Momen seperti itu dikenal dengan Muhasabah. Dalam puisi “Do’a”, Chairil menyadari keberadaannya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan, tanpa daya dan upaya Chairil tak bisa melakukan apapun tanpa pertolongan Tuhan.

DOA
kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

Muhasabah merupakan momen berkontemoplasi dengan memusatkan perhatian ke dalam diri masing-masing. Dalam puisi “Do’a”, Chairil menemukan Tuhan yang Maha Agung. Kesadarannya yang penuh akan kelemahannya sebagai makhluk mengantarkan dirinya menatap kebesaran Tuhan. Keliaran Chairil dalam hidupnya tak membuat dirinya melupakan Tuhan. Jalan hidup yang ia pilih untuk menjadi seorang penyair yang luar biasa menunjukkan kegigihannya. Kerumitan-kerumitan hidup yang ia dapati menuntunnya menghadap cahaya Ilahi.

SUARA MALAM

Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan, “Kebakaran Hutan”
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda?

Mati.

Barang kali ini diam kaku saja
dengan ketenangan selama bersatu
mengatasi suka dan duka
kekebalan terhadap debu dan nafsu.
Berbaring tak sedar

Seperti kapal pecah di dasar lautan
jemu dipukul ombak besar.
Atau ini.
Peleburan dalam Tiada
dan sekali akan menghadap cahaya.
……………………………………………….
Ya Allah! Badanku terbakar — segala samar.
Aku sudah melewati batas.
Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

Februari, 1943

Puisi “Suara Malam” yang ia ciptakan menggambarkan bagaimana ia harus bertahan melawan hidup dalam pengembaraannya sebagai makhluk. Badai dan topan kehidupan ditemuinya dalam setiap langkah. Kegetiran yang dirasakan oleh Chairil tidak lantas menjadikannya menyerah dan putus langkah. Dalam kesadaran penuh, Chairil menyebut Tuhannya; tanda bahwa puncak kegelisahan hamba adalah kesadaran ketika tiada lagi yang bisa menolong kecuali Tuhannya. Tuhanlah penolong hambanya, dan Tuhan adalah sebaik-baiknya tempat untuk bersandar (QS. Ali Imran:173).

Beberapa coretan di atas merupakan tafsir terbatas mengenai puisi-puisi Chairil yang dapat saya tuliskan sebagai bahan pengantar dialog kita bersama pada pagi hari ini. Keterbatasan dapat mengantar kita kedalam alam berpikir yang penuh tanda tanya. Oleh karena itu, besar harapan saya kepada teman-teman untuk ikut terlibat dalam kegelisahan dan akan lebih baik jika ikut terjebak dalam alam tanda tanya seperti yang saya alami.

Salam, Terimakasih.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan