Kasak-kusuk Malam Hari

1,723 kali dibaca

Akhir-akhir ini Desa Suka Makmur sering dimasuki oleh maling. Padahal jelas sudah ada papan pengumuman di perbatasan desa yang bertuliskan: “Pemulung dan Pencuri Dilarang Masuk ke Desa Suka Makmur”.

Entah karena tak bisa baca tulisan yang di pasang warga itu atau karena memang tak acuh, terjumlah sampai sekarang ada empat rumah yang sudah disatroni pencuri. Ada yang kehilangan televisi, uang, bahkan emas simpanan juga lenyap digasak oleh maling.

Advertisements

Hal itu mengakibatkan Pak Gugun, sebagai kepala desa, menghimbau warganya untuk mengaktifkan kembali ronda malam. Sudah lama kegiatan berjaga-jaga di malam hari itu tak dilakukan karena tak ada lagi warga yang mengapresiasi seperti, memberi minuman, makanan ringan, dan memberi beberapa obat nyamuk. Jadi, warga semakin enggan untuk ronda malam.

Malam ini, ronda malam mulai diaktifkan kembali. Jadwal sudah disusun sendiri oleh Pak Gugun sesuai dengan hari. Untuk hari pertama ini ada tiga orang yang bertugas, Pak Memed, Pak Udin, dan pak kepala desa itu sendiri.

“Pak, ini ada ada kopi. Silakan, diminum dulu,” kata Pak Memed yang baru saja datang berikut dengan teko dan seplastik makanan di tangannya.

“Kamu ini. Yang lain sudah di sini, kamu baru datang,” omel Pak Gugun setelah menyadari keterlambatan Pak Memed yang tidak sesuai dengan jam yang ada di jadwal ronda.

“Maaf, Pak. Tapi, kan, aku bawa minuman dan gorengan ini.” Lengkungan sempurna di wajah Pak Memed sebagai senjata pemungkas lelaki itu untuk menarik perhatian Pak Gugun.

Sogokan dari Pak Memed yang terlihat menggiurkan, sukses membuat kedua lelaki yang sudah berada di pos ronda terlebih dahulu itu memaafkan keterlambatannya.

“Ya, ayok. Kita makan sama-sama ini,” timpal Pak Udin yang sudah tak sabar mau mengambil bakwan, makanan kesukaannya.

Gorengan yang disuguhkan Pak Memed itu tak sampai lima menit lesap semua oleh ketiga orang itu. “Ngomong-ngomong. Pak Hardi yang beberapa bulan lalu baru pindah ke sini, kok, nampaknya jarang keluar rumah, ya? Apa pekerjaannya, Pak?” tanya Pak Udin seraya menyesap kopi yang masih tampak mengepul dari gelasnya.

“Kalau dari KTP yang saya terima kemarin saat pindah domisili, sih, tertulis karyawan kalau enggak salah, ya,” jawab si kepala desa Suka Makmur itu.

“Tapi, kok, sepertinya enggak pernah keluar rumah untuk bekerja, ya. Emangnya bekerja di mana?” Pak Memed tak kalah penasaran juga.

“Aku juga enggak tahu, Pak. Atau yang selama ini menjadi pencuri adalah ….” Pak Gugun mendadak berubah serius memandang kedua warga di depannya itu. Dia sedikit mencondongkan badannya. Sementara itu, Pak Memed dan Pak Udin mengangkat bahunya, menyiratkan ketidaktahuan mereka tentang kabar burung yang sedang mereka bahas.
***
Malam ini Pak Hardi yang semalam digunjingkan oleh sejumlah warga mendapat jatah meronda dengan Pak Memed dan Pak Udin lagi. Akan tetapi, ia belum juga nongol batang hidungnya. Sedangkan, kedua warga yang lainnya sudah hadir di pos ronda desa.

“Aku tebak, Pak Hardi tak akan datang. Aku curiga seperti yang dituduhkan Pak Kades tadi malam. Jangan-jangan dia ….”

Belum usai menyelesaikan ucapannya, sosok yang sedang dibicarakan Pak Udin tiba-tiba muncul. Lelaki itu mengumbar senyumnya dari kejauhan. Di tangannya ada tentengan, tetapi bukan berupa makanan untuk teman rondanya kali ini.

“Assalamualaikum, Pak Memed, Pak Udin,” sapa pria yang baru saja mengikis jarak dengan Pak Memed dan Pak Udin.

“Waalaikumussalam.” Kedua lelaki yang sejak tadi duduk di sana menjawab salam secara bersamaan.

“Wah. Apa itu, Pak Hardi?” tanya Pak Memed penasaran.

“Ini untuk bapak-bapak.” Lelaki bertubuh tinggi itu mengangsurkan barang yang dibawanya untuk Pak Memed dan Pak Udin secara bergantian.

Wajah Pak Udin seketika semringah, tangannya hendak meraih barang itu. Akan tetapi, memorinya memaksanya mengingat perkataannya kepada Pak Memed tadi. Tangannya yang sudah terulur mau mengambil barang dari Pak Hardi pun diurungkannya. Dia berbisik sebentar kepada rekannya yang ternyata bisikan itu sampai juga ke telinga Pak Hardi.

“Tenang saja, Pak. Ini bukan hasil maling, kok. Ini salah satu barang jualan online saya. Saya menjadi dropshipper dari beberapa toko besardi kota. Jadi, barang dikirimkan langsung dari toko tersebut ke pelanggan saya, bukan dari saya sendiri. Makanya tak ada banyak barang dagangan di rumah saya. Pekerjaan saya ini membutuhkan waktu berjam-jam di depan komputer. Sebab itu, saya jarang sekali keluar rumah. Mohon maaf, kalau sudah membuat bapak-bapak berprasangka yang tidak-tidak tentang saya. Kausnya kalau tidak mau, ya, saya ambil lagi.” Pak Hardi dengan nada yang tenang menjelaskan kesalahpahaman Pak Udin dan Pak Memed.

“Eh, jangan diambil lagi, Pak. Kami mau, kok. He-he-he,” Pak Memed menyambar kembali baju baru yang sudah kembali di tangan Pak Hardi. Dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan mendapatkan kaus baru gratis dari Pak Hardi.

Sementara itu, Pak Hardi hanya mengulas senyum dan menggeleng pelan. “Dulu saya memang seorang karyawan di salah satu perusahaan. Tapi, setelah melihat peluang menjadi dropshipper bagus dan kerjanya pun sesuai dengan hobi saya di depan komputer, saya memberanikan diri untuk keluar dan fokus menjadi dropshipper seperti sekarang ini.”

“Oh.” Mulut Pak Udin terbuka lebar. Kasak-kusuk tentang Pak Hardi yang dia dengar dari mulut-mulut warga desa selama ini ternyata keliru. Setelah sadar lelaki itu pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Malu.

Semenjak ronda malam diaktifkan kembali, tak ada satu pun warga yang melapor kehilangan. Desa pun aman. Kepala desa pun memutuskan untuk selalu menjalankan ronda malam itu. Tentang kudapan yang disediakan untuk peronda pun sudah disusun dengan rapi oleh kepala desa, sehingga setiap malam tak pernah kosong dari makanan pos ronda itu. Para langlang pun dengan semangat melaksanakan kewajibannya.
***
Riau, 3 Desember 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan