Kaji Sangit

3,072 kali dibaca

Tiba-tiba aku sedih, dan hati terasa perih seperti tersayat sembilu. Hari ini aku mendengar kabar, di kota yang sudah sesak oleh masjid ini, sebuah gedung sekolah dasar akan digusur karena di sana akan dibangun sebuah masjid baru, masjid agung —masjid yang akan diagung-agungkan karena mungkin tak akan kalah mentereng dibandingkan masjid di kota lainnya yang baru dibangun dengan biaya lebih dari setriuliun rupiah. Lalu, murid-murid sekolah dasar itu akan dipindahkan ke sekolah-sekolah lain hingga mereka akan belajar berdesakan di ruang-ruang kelas yang sempit.

Duh. Betapa sedihnya aku. Sebab, jika kabar itu benar, berarti orang-orang telah lebih bergairah beribadah di masjid-masjid yang megah ketimbang menyuburkan taman-taman ilmu untuk anak cucu.

Advertisements

Duh. Betapa sedihnya aku. Kabar itu membuatku teringat akan sebuah cerita berjudul Kaji Sangit. Tentu saja cerita ini didasarkan pada kisah setengah nyata; kenapa orang-orang menjuluki sosok dalam cerita kita ini dengan sebutan Kaji Sangit.

Nama sebenarnya adalah Soleman. Karena sudah berhaji ke tanah suci Mekkah, tentu saja ia dipanggil Kaji. Harusnya orang-orang memanggilnya Kaji Soleman. Tapi, di belakang punggung sosok dalam cerita kita ini, orang-orang menyebutnya Kaji Sangit dengan cara berbisik-bisik. Setengah takut setengah mengejek. Sebab, orang-orang sudah membayangkan bahwa kelak, meskipun sudah berhaji, Kaji Soleman akan menjadi kerak neraka karena kebakhilannya.

Itulah kenapa ia dijuluki Kaji Sangit —karena bau hangusnya ketika menjadi kerak neraka seakan sudah bisa tercium di dunia ini. Luar biasa!

***

Orang paling kaya di desa itu adalah Kaji Soleman. Tapi bagi banyak orang, ia juga dikenal sebagai orang yang paling kikir. Sebab, jika ada orang yang datang ke rumahnya meminta sumbangan untuk pembangunan masjid atau musala, orang tersebut selalu pulang dengan tangan hampa.

Salah seorang yang menjadi korban kekikiran Kaji Soleman adalah Kusni, pengurus salah satu masjid di desa itu. Suatu sore, sehabis menjadi imam salat ashar, Kusni bertandang ke rumah Kaji Soleman. Kusni sebenarnya tahu, berdasarkan cerita-cerita yang ia dengar dari orang-orang suruhannya, Kaji Soleman sudah sering menolak permintaan sumbangan. Tapi, dengan kedudukannya sebagai pengurus masjid, Kusni akan mencoba meluluhkan hati Kaji Soleman.

Setelah beruluk salam dan berbasa-basi, Kusni menyampaikan hajatnya bertamu ke rumah Kaji Soleman. “Dibandingkan dengan masjid-masjid lain, masjid kita ini sudah terlalu kecil Pak Kaji. Dan, hmmm, sudah terlihat jelek, kusam. Apa tak malu kita sama Tuhan. Ini rumah Tuhan loh, harus megah.”

“Ya, ya, saya paham. Tapi mohon maaf, saya belum bisa membantu dana untuk membesarkan dan memegahkan masjid kita. Maklum, saya masih banyak keperluan yang lain,” jawab Kaji Soleman.

Sehabis salat isya, Kusni mengumpulkan pengurus masjid, mengabarkan penolakan Kaji Soleman. Mereka meriung di teras masjid. Di sana juga ada Parno, kepala desa yang ditemani beberapa perangkatnya. “Kenapa orang sekaya itu tak mau menyumbang untuk membangun masjid. Apa dia tak menginginkan surga dengan beramal jariyah,” kata Kusni membuka percakapan.

“Bakhil benar dia,” sahut yang lain.

“Kikir.”

“Pantas jadi kerak neraka!”

“Dasar Kaji Sangit!”

Ada yang menggerutu. Ada yang terkekeh. Tapi, sejak saat itu, orang-orang mulai menjuluki Kaji Soleman sebagai Kaji Sangit.

***

Lama-lama orang-orang mulai menyadari ada orang asing yang makin sering berkelebatan di desa itu. Kadang terlihat berjalan cepat di sebuah tikungan dan sekejap menghilang. Kadang terlihat duduk-duduk sendirian di sebuah gardu di pinggir sawah. Kadang sekelebat terlihat keluar dari pintu rumah seseorang, tapi si empunya rumah ketika ditanya tetangganya malah bilang tak ada orang bertamu.

Orang-orang mulai khawatir dan curiga akan keberadaan orang asing itu ketika ada seseorang mengaku kemalingan. Suatu sore, saat duduk-duduk berdiam diri di gardu pinggir sawah, orang asing itu ditangkap dan dibawa ke kantor desa. Di sana ia diinterogasi oleh Parno dan dirubung beberapa orang Hansip.

Sepanjang interogasi, orang asing itu hanya mengaku begini: ia bukan pencuri. Ia hanyalah seorang musafir. Karena geram, seorang Hansip meninju wajah orang asing itu hingga hidungnya berdarah.

Kabar penangkapan orang asing itu menyebar dari mulut ke mulut dengan cepat. Orang-orang mulai berdatangan ke kantor desa untuk melihat siapa orang asing yang ditangkap aparat desa itu. Termasuk Kusni.

Duh pengeran… itu, kan…,” Sumarni nyaris teriak histeris ketika mengenali orang asing yang hidungnya berdarah itu. Di tengah kerumunan, tangan janda yang memiliki dua anak ini bergetar mengatup wajahnya.

Beberapa orang mulai beralih memandangi Sumarni penuh keheranan. “Loh, memang kamu mengenal dia.”

“Memang siapa dia?”

“Iya, siapa dia, Marni?” Parno akhirnya mendekati Marni.

Setelah kebingungan dan menoleh ke kanan dan kiri, Marni akhirnya buka suara. Suaranya bergetar. “Saya tidak tahu namanya, dan dari mana asalnya. Tapi setahun lalu ia bertamu ke rumah saya, dan pergi begitu saja meninggalkan uang untuk biaya sekolah anak-anak saya. Anak-anak saya bisa sekolah karena dia.”

Pengakuan Sumarni makin membuat orang-orang terheran-heran dalam kebisuan. Mereka hanya saling menoleh, kemudian memandang ke arah orang asing itu.

Di tengah keheningan itu, seseorang akhirnya ikut buka suara. “Orang itu juga pernah datang ke rumah saya. Malam-malam. Ia ngasih tanah garapan, dan hasilnya bisa saya pakai membangun gubuk tempo hari itu. Sekarang saya punya rumah sendiri.”

Akhirnya susul menyusul, beberapa orang memberikan kesaksian, bahwa orang asing itu, entah siapa namanya dan dari mana asal-usulnya, adalah orang yang sama yang sekali waktu mendatangi rumah mereka untuk menawarkan bantuan. Bantuannya bermacam-macam, bisa berupa tanah garapan, atau pekerjaan yang mendatangkan penghasilan, atau pinjaman uang atau modal usaha tanpa batas waktu pengembalian.

Atas bantuan orang asing itu, kehidupan orang-orang kurang beruntung di desa itu mulai berubah. Tak ada lagi anak-anak yang tak bisa sekolah. Tak ada lagi orang-orang yang hatinya selalu gelisah karena tak punya rumah atau gubuknya mau rubuh. Tak ada lagi orang yang khawatir kelaparan karena tak punya pekerjaan atau penghasilan.

Setelah mendengarkan kesaksian beberapa orang itu, Kusni dan Parno secara bersamaan menghampiri orang asing itu, dan melanjutkan interogasinya. “Jujurlah, saudara ini sebenarnya siapa? Biar tak ada sak wasangka di antara kita,” pinta Kusni sambil memegangi tangan orang asing itu. Semua terdiam menunggu jawaban orang asing itu.

“Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya utusan Kaji Soleman…”

“Hahhh?! Kaji Sangit?!”

***

Bagian akhir dari cerita Kaji Sangit itu tak boleh dilewatkan. Sepulang dari berhaji, Kaji Soleman mampir ke rumah Kiai Chudori. Di sana ia minta nasihat, amal apa yang mesti didahulukan di desanya.

Sebelum memberi nasihat, Kiai Chudori bertanya bagaimana kondisi desa Kaji Soleman. “Syiar Islam maju, Pak Kiai. Masjidnya saja sudah ada sepuluh. Malah masih mau bangun lagi satu masjid agung yang megah,” jawab Kaji Soleman.

“Tetangga-tetanggamu bagaimana kehidupannya?”

“Ya begitu, Pak Kiai, masih banyak yang miskin. Banyak yang tak mampu menyekolahkan anak. Banyak yang tak punya tempat tinggal layak. Banyak yang menjadi gelandangan di kota,” jawab Kaji Soleman.

“Itulah ladang amalmu,” kata Kiai Chudori.

“Nanti masjid agungnya tak jadi dibangun bagaimana Pak Kiai?”

“Masjid agung urusan nanti. Makmurkan dulu hati tetangga-tetanggamu, karena sesungguhnya masjidmu ada dalam hatimu. Kalau hatimu makmur, masjidmu akan makmur dengan sendirinya. Tak perlu kamu makmur-makmurkan. Tak perlu kamu agung-agungkan.”

“Tapi bagaimana caranya Pak Kiai, saya khawatir jadi bahan gunjingan kalau saya tak nyumbang bangun masjid, tapi malah nyumbang yang lain-lain?”

“Ada santriku yang ingin berkelana. Ajak dia tinggal di desamu. Biar dia yang nanti ngurus amalmu.”

Sejak saat itu, di desa Kaji Soleman alias Kaji Sangit selalu berkelebatan sesosok orang asing, yang tak lain adalah santrinya Kiai Chudori.

***

Benar, hatiku benar-benar sedih dan perih mendengar kabar di kota ini ada gedung sekolah mau digusur karena di sana akan dibangun masjid agung. Lalu aku teringat cerita Kaji Sangit itu, dan aku menoleh ke kanan dan ke kiri, siapa tahu ada santri Kiai Chudori di sini.

ilustrasi: facebook.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan